Inpas Online, 5/5/09
Pada tanggal 13 September 2008, InPAS mengundang Adnin Armas, MA dalam sebuah diskusi ilmiah rutin dua bulanan. Pada kajian tersebut Adnin diminta membahas tentang fenomena maraknya sebagian kelompok yang menghujat Al-Qur’an. Diskusi yang diadakan di Masjid Al-Akbar Surabaya (MAS) ini diikuti oleh para aktifis Islam Surabaya. Tema yang diangkat adalah “Jawaban terhadap Para Penghujat Al-Qur’an”.
Tema ini sengaja diangkat karena banyak pemikir muda Indonesia berlatar pendidikan agama (Islam) melontarkan gugatan dan hujatan terhadap Al-Qur’an.
Beberapa kasus sudah terjadi, misalnya penginjak-injakan lafadh Allah oleh Sulhawi Ruba di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 5 Mei 2006, penulisan buku berjudul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar” oleh Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan (staf pengajar pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang merupakan murid Nasr Hamid Abu Zayd, secara tidak langsung juga kasus penghujatan Tuhan di IAIN Bandung September 2004, dan kasus-kasus lainnya.
Dalam sebuah kesempatan, Adnin mengatakan kasus-kasus tersebut hanyalah fenomena ‘gunung es’. Apa yang sebenarnya terjadi jauh lebih gawat.Dalam materinya, Adnin menyebut setidaknya dua gugatan (baca: hujatan) terhadap Al-Qur’an. Pertama, tentang Al-Qur’an sebagai teks yang sama dengan produk budaya lain. Kedua, tentang otensititas Al-Qur’an yang diragukan.Kritik terhadap Al-Qur’an di Indonesia diawali oleh Taufik Adnan Amal, dosen ulumul Qur’an UIN Alauddin Makasar. Ia berpendapat dalam tulisan Edisi Kritis al-Qur’an bahwa proses pemantapan teks dan bacaan Al-Qur’an masih menyisakan masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaan. Ia kemudian menggagas perlunya upaya penyuntingan edisi teks kritis Al-Qur’an. Lebih jauh, Luthfi Assyaukanie dalam website JIL menyatakan bahwa keyakinan Muslim tentang Al-Qur’an sebagai kata-kata Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dan bahwa Al-Qur’an yang dibaca Muslim saat ini adalah persis sebagaimana yang diterima Rasulullah sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis yang dibuat ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
Padahal, hakikat dan sejarah penulisan Al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang rumit dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa. Celakanya, pernyataan-pernyataan semacam itu bukanlah hal baru, kata Adnin. Hal yang sama pernah didendangkan Mohammed Arkoun, guru besar pemikiran Islam Universitas Sorbonne Perancis, Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir Mesir yang lari ke Belanda. Al-Qur’an, kata mereka, sama dengan teks lainnya. Teks-teks agama adalah teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks lain dalam budaya. Karena itu, seorang ateis pun bisa menafsirkan Al-Qur’an. Pendapat seperti itu pun ternyata umum di kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery (1959).
Dalam hal otentisitas Al-Qur’an, ada upaya dari para pemikir muda Islam untuk mempertanyakan yang berujung meragukan akan keaslian Al-Qur’an yang kita baca sekarang. Adnan Amal misalnya, menyebut Al-Qur’an zaman Abu Bakar dan Umar bukanlah mushaf resmi. Mustafa Mandur dari Mesir menambahkan bahwa motivasi yang mendorong kedua sahabat utama itu adalah perasaan rendah diri.Keraguan semacam itu sudah dilontarkan para orientalis seperti Leone Caentani (1935), Friedrich Schwally (1919), Arthur Jeffery, Regis Blachere, dan lainnya. Mereka menulis antara lain ditolaknya hadits tentang dihimpunnya Al-Qur’an pada zaman Abu Bakar. Kalau pun ada teks yang dikumpulkan Abu Bakar hanyalah koleksi pribadi dan bukan teks resmi dengan berbagai alasan.
Richard Bell, seorang orientalis, sampai pada kesimpulan bahwa Al-Qur’an resmi pada kekhalifan Abu Bakar tidak ada. Hadits tentang itu hanya dielaborasi untuk menjustifikasi tindakan Utsman bin Affan dalam menghimpun Al-Qur’an di kemudian hari.Di sisi lain, Al-Qur’an versi Mushab Utsmani diklaim sebagai bukan satu-satunya versi mushaf. Ada mushaf Ibnu Mas’ud yang tidak menyertakan Al-Fatihah, An-Nas dan Al-Falaq. Mushab Ali bin Abi Thalib yang tidak memasukkan surat ke-13, 34, 66, dan 96.
Ahmad Baso, direktur Yayasan Desantara, sebuah LSM yang bergerak pada liberalisasi pemikiran Islam, bahkan menyatakan bahwa mushaf Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap Al-Qur’an dengan mengabaikan sumber-sumber yang lain. Dan yang paling keras adalah kritik dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang, edisi 23 th XI (2003). Di dalamnya ditulis,…yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Utsman bin Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat yang lain. Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy…Di dalam makalahnya, Adnin Armas menjawab satu demi satu hujatan itu. Direktur Eksekutif INSIST itu memberikan hujjah yang panjang lebar sembari menegaskan bahwa semua pemikiran kaum muda Islam itu tidak lebih dari sekadar membebek dan bersumber dari pandangan hidup Yahudi-Kristen.
Dengan menggunakan tafsiran baru kepada sumber dari dalam tradisi Islam, para orientalis itu membangun teori baru yang bukan saja berbeda tetapi bertentangan dengan para ulama. Sayangnya banyak pemikir Muslim terpengaruh mereka, yang ujungnya adalah penggugatan dan penghujatan kepada Al-Qur’an. Dan mereka tidak akan pernah berhenti sebelum kita mengikuti millah mereka.Adnin menyarankan, sudah saatnya para ulama meneliti karya para orientalis secara serius. Dengan membongkar akar-akar pemikiran sekuler-liberal diharapkan ranting pemikir Muslim yang terbaratkan akan dengan sendirinya roboh. (mm)