Jilbab, Khilafiyah? (Kritik Terhadap Quraish Shihab)

Written by | Gender

Kritik Atas Pandangan Quraish Shihab tentang Jilbab

Quraish Shihab menganggap bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita (Q.S. 33:59, 24:31) mengandung aneka interpretasi. Sedangkan hadits-hadits yang merupakan rujukan untuk pembahasan tentang batas-batas aurat wanita, terdapat ketidaksepakatan tentang nilai ke-shahihannya. Dengan demikian, kesimpulan Quraish, ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.[5]

            Sebenarnya, berdasarkan kedua ayat di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajibnya jilbab bagi muslimah. Dan hal ini sebenarnya nampak di dalam paparan buku Quraish Shihab sendiri, yaitu pada bagian pandangan ulama masa lalu. Di sana dapat dilihat bahwa di antara ulama, tidak ada yang berpendapat bahwa jilbab itu tidak wajib. Perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara mereka hanya pada batas aurat wanita, apakah seluruh badan dengan menutup semua wajah, tangan dan kaki ataukah dengan membuka ketiganya (wajah, tangan dan kaki) dalam batas-batas tertentu?.[6] Tidak ada di antara mereka yang mempermasalahkan tentang rambut, leher, dan dada. Karena memang mereka sepakat bahwa ketiga anggota tersebut harus ditutup.

Ibn Hajar al-Asqallani dalam bukunya Fath al-Bari menulis bahwa: “Di sini terdapat peringatan bahwa tujuan hijab adalah ketertutupan agar tidak nampak sesuatu dari badan wanita.[7]

Lalu, mengapa Quraish Shihab berpendapat bahwa tejadi khilafiyyah dalam masalah jilbab? Itu karena di dalam bukunya, dikutip pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang menganggap bahwa jilbab itu tidak wajib. Kaitanyya dengan itu, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab dulu, yaitu: mengapa Quraish Shihab menggunakan istilah cendekiawan ketika menyebut cendekiawan kontemporer? Tidak menggunakan istilah ulama sebagaimana yang dia gunakan untuk menyebut ulama masa lalu? Lalu, apakah ada perbedaan makna antara ulama dan cendekiawan? Dan apakah ada perbedaan syarat atau kriteria di antara keduanya? Kalau memang ada perbedaan, sejauh mana? Dan mana yang harus kita ikuti pendapatnya? Dan apa saja kriteria cendekiawan yang dikutip pendapatnya? Serta mengapa Quraish tidak membandingkan saja antara ulama masa lalu dengan ulama kontemporer?

Sayangnya Quraish tidak menjelaskan sama sekali tentang pertanyaan-pertanyaan di atas. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting supaya tidak masuk dalam kesalahan mengambil narasumber karena ketidaksesuaian antara materi yang dibahas dengan keahliannya; dan supaya terhindar dari kesalahan membandingkan nara sumber yang tidak sepadan, untuk mengambil kesimpulan bahwa hal yang dibahas itu termasuk khilafiyah atau tidak. Sebagai ilustrasi, apakah bisa diterima pendapat seorang pakar ekonomi ketika ia menyampaikan analisa tentang kesehatan dan penyakit seseorang? Tentu pendapatnya tidak bisa diterima. Dan bagaimana hasilnya apabila kita membandingkan pendapat murid SMA dengan ulama tentang hukum suatu masalah? Tentu jawaban mereka sangat mungkin akan berbeda. Lalu apakah dari perbedaan itu kemudian bisa diambil kesimpulan bahwa hukum masalah itu termasuk khilafiyah?

Quraish Shihab di dalam bukunya, membagi cendekiawan kontemporer menjadi dua kelompok, yaitu:

1.              Kelompok pertama, mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan atau kalaupun ada, maka itu sangat lemah lagi tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dan disiplin ilmu agama. Hal semacam itu tentu saja tidak dapat diterima. (kalimat ini merupakan kalimat Quraish Shihab sendiri)

2.              Kelompok kedua, merujuk kepada kaidah-kaidah keagamaan yang juga diakui oleh para ulama, hanya saja dalam penerapannya antara lain dalam konteks pakaian/aurat, tidak mendapat dukungan ulama terdahulu dan sebagian ulama kontemporer.[8]

Quraish, meskipun sudah menulis bahwa pendapat kelompok pertama tidak dapat diterima, namun  tetap menulis pendapat-pendapat mereka. Hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, karena pendapat mereka tidak bisa diterima menurut kaidah ilmu agama dan juga tidak bisa dibandingkan dengan pandangan para ulama untuk membuat suatu kesimpulan apakah jilbab masuk wilayah khilafiyyah atau tidak.

Tentu ini bisa menjadikan pembaca berkesimpulan bahwa memang banyak cendekiawan kontemporer yang berpendapat bahwa jilbab itu tidak wajib. Padahal apabila semua pendapat cendekiawan kontemporer yang termasuk kelompok pertama dihapus/dihilangkan dari bukunya Quraish Shihab, maka cendekiawan kontemporer yang berpendapat jilbab itu tidak wajib hanya seorang, yaitu ‘Asymawi. Bisakah diambil kesimpulan bahwa jilbab adalah masuk wilayah khilafiyyah padahal para ulama sepakat akan kewajibannya dan yang berbeda dengan mereka hanya seorang, yaitu .Asymawi? Dan itu pun ada “catatan pribadi” dan kritik atas pendapat ‘Asymawi.

            Siapa sosok Sa’id ‘Asymawi itu? Nirwan Syafrin dalam bukunya, Kritik terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam,[9] menulis bahwa Sa’id al-‘Asymawi adalah cendekiawan muslim Mesir yang keras menentang penerapan syari’at.

            Dengan mengetahui sosok Asymawi dan pemikirannya, seharusnya kita tidak mengambil pendapatnya. Lebih-lebih ketika pendapatnya bertentangan dengan ijma’ ulama mulai zaman sahabat hingga sekarang. Bagaimana mungkin tentang hukum agama kita lebih memilih pendapat dari orang yang terkenal sebagai penentang penerapan syari’at Islam dan mengabaikan pendapat para sahabat dan para ulama yang sudah terkenal berjuang membela agama? Dan seharusnya kita juga tidak membandingkan pendapatnya dengan pendapat para ulama yang otoritatif untuk menafsiri al-Qur’an dan istimbatul hukm. Wallohu a’lamu.


[1] M Qurais Shihab, 2004, “Jilbab pakaian Wanita Muslimah , Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer”, Jakarta: Lentera Hati, hal. 189.

[2] Ibid., hal.4-5.

[3] Ibid, hal. 180.

[4] Ibid., hal. 180.

[5] Ibid., hal. 179.

[6] Ibid., hal. 55-122.

[7] Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqallani,____, “Fath al-Bari”, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet. II., jilid VIII, hal. 530; sebagaimana dikutip M Quraish Shihab, op. cit., hal. 63-64.

[8] M. Quraish Shihab, op cit., hal. 127-128.

[9] Nirwan Syafrin, 2007, “Kritik terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam“, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, hal. 28-39.

Last modified: 17/03/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *