Oleh Dr. Dinar Dewi Kania
(Peneliti INSISTS)
Dunia modern diartikan sebagai dunia dimana Tuhan, jiwa dan hal-hal yang bersifat metafisik diceraikan dari kehidupan dan alam pikir manusia. Manusia modern adalah manusia-manusia yang mengandalkan kekuatan diri sediri dan ilmu pengetahuan (sains) yang empirik dan “rasional” dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Namun anehnya, ketika berhadapan dengan cinta, banyak manusia modern yang terjebak dalam tindakan irasional, seperti bunuh diri karena putus cinta, membunuh karena cemburu, mendatangi dukun untuk memikat lawan jenis, menggadaikan iman demi cinta, dan masih banyak lagi tindakan yang keluar dari kontrol logika. Bagaimanapun kerasnya usaha untuk merasionalkan cinta, namun secara hakikat, cinta terkait erat dengan hal-hal metafisik yang tidak mungkin dijelaskan tanpa bantuan wahyu yang termanifestasi dalam ajaran agama yang lurus.
Jadi jangan pernah bermimpi untuk menemukan cinta sejati tanpa melibatkan agama di dalam pencarian itu. Jangan pula berharap untuk bisa memberikan cinta apabila tidak pernah mengenal Sang Pemberi Cinta. Disinilah pentingnya kita mengkaji konsep cinta seorang Imam besar bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058 – 1111M) yang bergelar Hujjatul Islam. Cinta dalam pandangan orang-orang sholeh adalah kekuatan dasyat yang dapat menembus bumi dan langit serta menerobos ruang dan waktu. Cinta yang jauh dari kendali syahwat dan sesuai dengan fitrah manusia sehingga hasilnya adalah ketenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Jalan Cinta Sang Imam
Imam al-Ghazali merupakan seorang ulama besar yang dianugrahi kemampuan untuk dapat menguasai berbagai disiplin ilmu. Ia seorang pemikir jenius sekaligus ahli ibadah yang tekun. Namun ada sebagian orang berpendapat bahwa konsep cinta dalam pandangan Imam al-Ghazali terlalu transenden serta mengabaikan realitas fisik atau keduniaan. Jika menyimak jalan cinta yang diuraikan dalam tulisan-tulisannya, kita seolah diajak untuk menjauhkan diri dari segala urusan duniawi agar dapat menapaki jalan ruhani, sehingga sebagian orang menjadi salah paham dan menuduhnya telah menyimpang dari ajaran Islam. Anggapan tersebut tentunya tidak mendasar dan berlebihan karena jalan cinta sang Imam tidak pernah terlepas dari syariat dan akidah Islam.
Dalam beberapa karyanya, Imam al-Ghazali memang mengisyaratkan bahwa potensi ruhani manusia tidaklah sama, sehingga kadar cinta manusia kepada Allah SWT akan berbeda-beda pula. Ada manusia yang hatinya lebih terbuka ke alam fisik namun ada juga yang pintu tersebut terbuka lebar ke alam metafisik sehingga orang tersebut mampu mencapai maqam para kekasih Allah. Sang Imam tidak pernah menganggap remeh aspek fisik karena salah satu kunci untuk menuju cinta sejati adalah dengan pengaturan dan kontrol terhadap aspek-aspek fisik. Bagi Imam al- Ghazali, panca indera merupakan indera eksternal yang merupakan pintu pintu ke dunia fisik. Imam al-Ghazali juga menyebut panca indera sebagai tentara-tentara hati karena dengannya, hati dapat terjaga dari cinta semu yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Cinta menurut imam al-Ghazali adalah suatu kecendrungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Ia terkait dengan kelima indera manusia karena masing-masing indera secara alamiah akan mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Mata mencintai segala bentuk yang indah, telinga mencintai musik, dan seterusnya. Namun ada indera keenam yang menurut Imam al- Ghazali merupakan bagian dari fakultas resepsi yang tertanam dalam hati manusia dan tidak dimiliki binatang. Melalui fakultas inilah manusia menyadari adanya keindahan dan keutamaan ruhani atau spiritual. (Kimia kebahagiaan, 2007 : 46)
Imam al -Ghazali menjadikan Allah SWT sebagai obyek pengetahuan yang tertinggi, sehingga pengetahuan tentang Allah akan menghantarkan manusia kepada kesenangan yang paling besar. Kebahagiaan yang sempurna hanya akan dicapai oleh pengetahuan dan cinta. Ketika manusia bertambah kecintaannya kepada Allah, maka kenikmatan yang dirasakannya pun akan bertambah (Ihya Ulum al-Din, 1997 : 467-468) . “Hendaknya yang pertama harus engkau miliki dalam tahapan perjalanan ini adalah ilmu, yang dilanjutkan dengan mengamalkannya melalui rangkaian ibadah. Sebab, itu merupakan pokok dan poros dari segala sesuatu.” (Minhajul Abidin, 2011: 17)
Imam al- Ghazali berpendapat bahwa orang yang menduga bahwa kebahagiaan di akhirat dapat diperoleh tanpa mencintai Allah adalah orang-orang yang sudah tersesat. Menurutnya, kebahagiaan manusia di masa datang (akhirat) akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kepada Allah di masa sekarang. Jika di dalam hati seseorang telah bersemi kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaannya diakhirat akan terasa asing baginya. Karena hakikatnya akhirat adalah dunia ruh yang merupakan pengejewantahan dari keindahan Allah, sehingga kebahagiaan dapat dinikmati oleh mausia yang telah mengejarNya dan tertarik padaNya. (Kimia Kebahagiaan, 2007 : 51)
Cinta adalah semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian yang dilakukan atas dasar ketertarikan pada Allah sehingga dosa-dosa serta syahwat merupakan sesuatu menghambatnya. Namun menurut Sang Imam, apabila seseorang berbuat dosa, tidak berarti bahwa ia tidak mencintai Alllah, namun hal tersebut membuktikan bahwa cintanya kepada Allah belum sepenuh hati. Sebagaimana ulama Fudhail berkata, “Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata; Saya tidak mencintaiNya, maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata : ya, saya mencintai Allah.’ Padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu.” (Kimia Kebahagiaan, 2007 : 52)
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seseorang tidak mencintai Allah, hal itu lebih disebabkan karena kurang mengenal Allah. Jika seseorang telah mengenal, maka ia pasti akan merasa hanya Allah satu-satunya yang pantas dicintai. Dengan cinta kepada Allah maka manusia akan mencintai Nabi Muhammad saw, karena ia adalah Nabi dan kecintaanNya. Orang yang mencintai Allah juga akan mencintai orang-orang yang berilmu dan bertakwa karena mereka adalah para kekasih Allah. Jika bukan karena anugrah Allah maka manusia tidak akan ada di dunia.. Hanya orang bodoh yang tidak bisa mencintai Allah karena kecintaan pada Allah memancar langsung dari pengetahuan tentangNya. Salah satu cara yang membangkitkan kecintaan kepada adalah melalui perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijaksanaanNya, yang apabila kesemuanya dibandingkan, maka kekuasaan dan kebijaksanaan manusia tidak lebih dari cerminan-cerminan yang sangat remeh. (Kimia Kebahagiaan, 2007 : 48).
Cinta kepada Allah juga tidak akan bersemayam di hati manusia sebelum ia disucikan dari kecintaan akan dunia melalui zuhud. Imam al- Ghazali mengutip perkataan Abu Sulaiman. “Orang yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang sibuk dengan Allah sekarang, akan sibuk denganNya kelak.” Sehingga fokus dari konsep cinta imam Al Ghazali adalah penjagaan hati. Beliau berkata, “Hendaknya engkau menjaga dan memperbaiki hatimu, sebab, hati ini merupakan bagian tubuh manusia yang paling besar bahayanya, paling kompleks dampaknya, paling halus masalahnya, paling berat diperbaiki dan paling rumit keadaannya. (Minhajul Abidin, 2011: 142)
Kecintaan yang kuat kepada Allah dalam hati manusia hanya dapat diwujudkan melalui penyucian hati dari godaan-godaan duniawi, sehingga tumbuhlah pohon cinta dan pengetahuan sebagaimana perumpamaannya telah disebutkan dengan indah dalam Al-Quran. Allah berfirman dalam surat 14 ayat 24 “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” Imam Al Ghazali menawarkan empat prinsip dalam proses perbaikan dan pengobatan hati dan empat faktor perusak hati. Empat hal tersebut merupakan godaan bagi ahli ibadah dan orang orang yang taat. Faktor faktor perusak adalah Panjang angan (Thulul amal), iri hati, tergesa-gesa dalam beribadah dan sombong. Sedangkan empat prinsip yang menjadi pilar-pilar ibadah untuk meperbaiki hati adalah tidak mengharapkan dunia, baik kepada seluruh makhluk Allah, tenang dalam ibadah dan berbagai urusan lain, serta Rendah hati.( Minhajul Abidin, 2011 : 149-150) ).
Pelajaran Bagi Manusia Modern
Konsep cinta Imam al- Ghazali yang berasal dari ajaran Islam tentunya sangat relevan untuk dikaji karena mampu menjawab persoalan persoalan manusia modern yang terjebak cinta dunia yang dipenuhi nafsu dan syahwat. Manusia modern pertama-tama harus berhenti menjadi sekuler jika menghendaki jalan cinta dan meraih kebahagiaan sejati sebagaimana yang ditempuh Imam al-Ghazali. Manusia sekuler tidak akan menempatkan cinta kepada Allah sebagai tujuan tertinggi yang harus diraih manusia. Dengan menjadi sekuler, seorang manusia akan terus berlari ke dalam cinta yang tak pernah berujung karena hakikat dunia fisik tidak diciptakan untuk memuaskan manusia. Manusia modern akan selalu dirundung kegalauan dan kecemasan karena ia telah berlaku tidak adil manakala menempatkan derajat alam yang paling nyata dan abadi (baca akhirat) dibawah derajat alam yang bersifat senda gurau dan fana (baca-dunia).
Jika kita mau belajar dari nasihat-nasihat Sang Imam tentang cinta, maka manusia harus terus berusaha mengontrol panca inderanya dalam mengakses aspek aspek duniawi yang dapat menjerumuskan hati manusia. Penglihatan dan pendengaran serta indera eksternal lainnya harus diarahkan kepada obyek-obyek yang mendatangkan pengetahuan tentang Allah dan Islam. Imam Al-Ghazali membagi kekuatan jiwa menjadi empat ; (1) kekuatan menguasi ilmu; (2) kekuatan memerintah atau nafsu amarah ; (3) kekuatan nafsu syahwat; (4) kekuatan menyeimbangkan ketiga kekuatan tersebut. Apabila ilmu seseorang sudah mendalam dan matang maka ia mampu membebaskan diri dari kesalahan dan menemukan kebenaran, serta menemukan kebaikan dari keburukan. Sehingga ilmu tentang Allah merupakan faktor utama yang harus terus ditingkatkan kualitasnya.
Tanda penyakit hati dan jiwa menurut Imam al-Ghazali adalah apabila seseorang mencintai sesuatu lebih besari dari pada cintanya kepada Allah. Setiap jiwa manusia, hati manusia, sesungguhnya menderita penyakit kecuali jiwa dan hati yang mencintai Allah. (Ihya ‘Ulumuddin, 2005 : 115). Andai Imam al-Ghazalli masih hidup, pasti ia akan menganggap manusia modern sebagai penderita gangguan jiwa yang mencoba menaklukan alam semesta. Menyembuhkan penyakit kejiwaan manusia modern tidak bisa dilakukan dengan pendekatan psikologi Barat yang sekuler, namun diperlukan pendekatan spiritual berupa penyucian jiwa (tazkiatun nafs) untuk membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang selama ini menutupi kebeningan cermin hati manusia.
Proses penyucian hati tentunya hanya dapat dilakukan melalui ibadah-ibadah fisik dan ruhani yang sesuai dengan syariat atau aturan yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Tidak mungkin seseorang mencapai cinta Allah dengan mengambil jalan-jalan yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits sebagai wahyu Allah yang otentik. Mereka yang mencari jalan ruhani di luar Islam tidak akan memperoleh kebahagiaan dan ketentraman di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tepatlah apabila Syed M. Naquib al-Attas, seorang cendikiawan muslim yang banyak memperkenalkan pemikiran imam Al-Ghazali di dunia modern, menegaskan bahwa konsep kebahagiaan dalam Islam memiliki pertalian dengan akhirat sebagai nikmat terakhir. Kebahagiaan ini hanya akan diberikan kepada mereka yang secara sukarela menyerahkan dirinya kepada Allah dan mentaati segala perintah dan larangannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan. (Ma’na Kebahagiaan, 2002 : 1)
REFERENSI
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din; Revitalisation of the Sciences of the Religion, Vol.1, Kairo : Islamic Inc, 1977.
Imam al-Ghazali, Minhajul Abidin; Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta : Khatulistiwa Pers : 2011.
Imam al-Ghazali, Alchemy of Eternal Bliss, Lahor : Kazi Publications, 2001.
Imam al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, 2007, ebook www.isnet.com.
Imam al-Ghazali, Imam, Ihya ‘Ulumuddin, Buku Keenam, Bandung : 2005.
Syed Muhammad Naquib al-Attas,, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, Kuala Lumpur : ISTAC, 2002.