Hafidz Ibnu Hajar: Bijak Menyikapi Perbedaan

Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.

Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun, yang dijuluki olah para ulama sebagai Qomus As Sunnah (Kamus Sunnah). Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.

Kepakaran beliau dalam berbagai disiplin ilmu cukup diakui, hingga beberapa ulama seperti Imam As Suyuthi dan As Sakhawi menggelarinya dengan sebutan Syaikh al-Islam, hingga As Sakhawi menulis buku khusus tentang Ibnu Hajar yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.

 

Kisah antara Ibnu Hajar dan Karibnya, Badruddin Al ‘Aini

Mereka berdua adalah sahabat dekat. Badrududdin Al ‘Aini pernah mengundang Ibnu Hajar agar berkunjung ke ‘Ainatab, dan Ibnu Hajar membacakan untuknya tiga hadits, satu dari Musnad Ahmad dan yang lain dari Sahih Muslim. Begitu pula ‘Aini, ia datang ke majelis imla’ Ibnu Hajar di Halab.

Sedangkan Badrud Din Al ‘Aini lahir di ‘Ainatab, meninggal di Mesir pada tahun 855 H, muhadits, muarikh bermadzhab Hanafi, penulis ‘Umdatul Qari (syarh Sahih Bukhari).

Walau mereka sahabat dekat, akan tetapi satu sama lain tetap saling mengkritisi. Ibnu Hajar sendiri telah memeriksa beberapa karya ‘Aini, salah satunya adalah Al Mu’ayid Syaikhul Mahmudi. Ibnu Hajar menemukan kurang lebih 400 bait yang tidak beraturan

Sebagaimana juga Ibnu Hajar mengkritik tarikh kabir ‘Aini, Aqdul Juman Fi Tarikh Ahluz Zaman. Berkata Ibnu Hajar dalam muqadimah Imba’ul Ghumar: “Aku telah memeriksa tarikh (sejarah) milik Qodhi Badruddin Al ‘Aini, ia menyebutkan bahwa rujukan dalam penulisan tarikhnya adalah Ibnu Katsir, akan tetapi setelah Ibnu Katsir berhenti menulis tarikh dikarenakan wafat, maka rujukannya berganti ke Tarikh Ibnu Duqmaq. Hingga ‘Aini menukil satu lembar penuh secara berurutan, malah kemungkinan ia bertaklid terhadap kesalahan yang ada di dalamanya. Dan aku pun terheran-heran, bahwa Ibnu Duqmaq menyebutkan beberapa peristiwa yang ia saksikan, akan tetapi ‘Aini menulisnya apa adanya, padahal peritiwa itu terjadi di Mesir dan dia jauh di ‘Ainatab. Akan tetapi aku tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh kesalahannya. Malah aku mengutip darinya apa yang tidak aku dapati, yaitu kejadian-kejadian yang kukira ‘Aini menyaksikan sedangkan aku tidak mengetahuinya.” (Imba’ul Ghumar hal.4-5, vol.1)

Lihat, Ibnu Hajar tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh kekliruan-kekliruan orang yang telah mengkritiknya, ia juga tetap bisa berbuat obyektif, yaitu tetap merujuk karya ‘Aini tentang hal yang ia tidak mengetahuinya.

Al ‘Aini dalam Umdatul Qari juga mengoreksi karya Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, menukil dari buku itu satu-dua lembar, lalu menghitung kesalahan-kesalahannya. Lalu Ibnu Hajar menjawab secara inshaf dengan dua buku, yang berjudul Al Istinshaf ‘Ala ‘Atha’in Al ‘Aini, dalam buku tersebut disebutkan bahwa ‘Aini mengritik khutbah Ibnu Hajar atas Fathul Bari dan ‘Aini mengutamakan Umdatul Qari atas syarh Sahih Bukhari sebelumnya, yaitu Fathul Bari. Maka Ibnu Hajar menjawab kritikan tersebut dan para ulama’ yang hidup di masanya pun membenarkan Ibnu Hajar. Buku ke dua Ibnu Hajar yang menjawab kritikan ‘Aini adalah Intiqadhul I’tiradh, yang berisi sanggahan terhadap kritikan ‘Aini terhadap Fathul Bari, akan tetapi Allah memanggilnya sebelum ia menyempurnakan bukunya tersebut (lihat juga Al Jawahir Wad Dhurar, hal. 224-226).

Walaupun demikian Ibnu Hajar tetap mencantumkan nama Al ‘Aini dalam Mu’jam Shuyukh-nya, Al Majma’ Al Mu’asis Lil Mu’jamil Fahras. Begitu pula ia menulis riwayat ‘Aini di Rafi’il ‘Ishri ‘An Qudhati Mishri-nya, secara ringkas. Dari sini bisa terlihat jelas, walau ada perselisihan antara keduanya, Ibnu Hajar tetap mengakui bahwa Al Aini adalah gurunya

Sebagaimana ‘Aini juga mengambil faidah dari Ibnu Hajar, khususnya ketika ia menulis Rijal At Thohawi. Dinukil dari Hafidz As Sakhawi: “…dan aku menyaksikanya (Al ‘Aini) bertanya kepada syaikh kami ketika belau hendak meninggal tentang masmu’at (pelajaran yang disimak) dari Al Iraqi, lalu Ibnu Hajar menjawab: “Hal itu tidak berada dalam buku, akan tetapi aku menulisnya menyertai riwayat hidupnya (Al Iraqi) dalam mu’jamku yang telah aku nukil dari beliau, dan hal itu tidak sedikit, periksalah, jika engkau telah menemukan, kita bisa coba mencari sisanya (Badruddin Al ‘Aini li Ma’tuq, hal. 169-170).

Ibnu Hajar juga menulis sebuah risalah yang bernama Al Ajwibah Al Ainiyah ‘Alal As’ilah Al ‘Ainiyah, yang berisi jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan-pertanyaan ‘Aini Ini menunjukkan kemulyaan akhlak kedua imam besar tersebut, walau saling mengkritik akan tetapi keduanya masih saling menerima ilmu satu sama lain. Dan perbedaan yang ada di kalangan keduanya tidak menghalangi Ibnu Hajar untuk tetap membantu Al ‘Aini dalam masalah keilmuan. Bagitu juga Al ‘Aini, ia tidak gengsi untuk bertanya kepada Ibnu Hajar tentang persoalan yang berhubungan dengan ilmu.

Dan sikap kedua tokoh umat ini banyak berbeda jika dibandingkan dengan sebagian penuntut ilmu saat ini yang keilmuannya amat jauh di bawah kedua . Di saat terjadi khilaf di antara mereka, anatar keduanya enggan bertegur sapa, atau bahkan saling kecam satu-sama lain, padahal mereka masih berada dalam khilaf yang masih ditoleransi dalam Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *