Empat Struktur Pemikiran Islam

WhatsApp Image 2017-08-07 at 15.56.18Inpasonline.com-Dalam kajian Special Lecture yang diadakan oleh InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) di Wisma Depag Surabaya lalu, Dr. Ugi menjelaskan bahwa ada empat sturktur pemikiran Islam. Yaitu, Worldview Islam, Kalam, Fiqih, dan Siyasah Kemasyarakatan.

Struktur ini beliau olah dari rumusan-rumusan yang telah diletakkan oleh para ulama berwibawa. Para ulama yang dirujuk diantaranya Imam Abul Hasan Al Asy’ari, Syekh Muhammad Abu Zahroh, dan Syed Muhammad Naquib Al Attas.

Pemikiran Islamic worldview atau pandangan hidup Islam menempati urutan tertinggi dan utama dalam struktur pemikiran Islam. Ia adalah payung dari segala payung yang melindungi umat Islam. Pandangan hidup Islam sendiri diartikan sebagai pemikiran mengenai kewujudan serta realitas dan kebenaran semesta. Kewujudan di sini tidak hanya merujuk pada yang fisik atau dapat terindra melainkan juga meliputi yang metafisik dan tak terindra. Sejak awal, karakteristik pandangan hidup Islam ini telah matang, tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu, struktur yang pertama inilah yang menjadi intipati dari agama Islam (lubb ad-diin).

Setidaknya ada sembilan unsur fundamental dalam pandangan hidup Islam, yakni 1) hakikat tentang Tuhan, 2) hakikat wahyu, 3) hakikat ciptaan-Nya, 4) hakikat manusia dan jiwa manusia, 5) hakikat ilmu, 6) hakikat agama, 7) hakikat kebebasan, 8) hakikat nilai dan kebajikan, 9) serta hakikat kebahagiaan. Kesembilan elemen dasar inilah yang menjadi dasar cara pandang umat Islam terhadap kehidupan. Seluruh umat Islam pasti meyakini bahwa Allah itu Maha Esa dan al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah. Contoh lainnya, alam semesta ini bagi umat Islam, merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah yang senantiasa dalam pengaturan-Nya, tidak berjalan mekanistis tanpa campur tangan dan kehendak-Nya. Suasana kehidupan dan sekeliling kita dapat berubah dari waktu ke waktu. Akan tetapi, intipati agama Islam sudah matang dan bersifat mutlak. tidak pernah ada pergeseran paradigma dalam elemen-elemen fundamental pandangan hidup Islam. Dan pemikiran pada tingkat inilah yang menyatukan seluruh umat Islam dari zaman ke zaman.

Yang kedua adalah pemikiran Kalam. Pemikiran Kalam adalah cara mengungkapkan atau mengartikulasikan pandangan hidup dengan perkataan (kalam). Pada dasarnya, secara umum, umat Islam telah memiliki pandangan hidup yang benar, sama-sama bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; berkewajiban sholat lima waktu, berzakat, berpuasa, serta berhaji. Akan tetapi, keadaan ini dirusak oleh faham-faham yang bathil. Misalnya: pluralisme agama yang memuat gagasan kesetaraan semua agama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme mungkin bermaksud memahami dan mengelola perbedaan-perbedaan dalam kehidupan kita. Namun, pluralisme juga memaksa kita untuk tidak memiliki kebenaran serta curiga padanya.

Dalam keadaan semacam itu, perlu ada yang menjaga keimanan umat Islam secara serius. Apalagi, faham baru yang bermunculan biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan yang canggih dan sulit. Maka, kajian-kajian terhadapnya perlu juga menggunakan ungkapan-ungkapan canggih yang mampu membantah dan kembali meluruskannya. Dari situasi semacam inilah, lahir ilmu kalam.

Pada dasarnya, kalam sudah ada sejak zaman awal Islam, tetapi para sahabat tidak banyak membahasnya dan hanya disimpan bagi diri sendiri. Sejak kemunculan ajaran Mu’tazilah yang menguasai kekhalifahan Islam hingga tiga periode, Kalam pun berkembang sebagai ilmu yang berupaya menjaga akidah umat Islam dari berbagai kekeliruan berfikir. Tokoh utamanya adalah Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Hingga hari ini Imam al-Asy’ari ditempatkan sebagai penyelamat akidah umat sekaligus dianggap sebagai peletak rumusan akidah ahlussunnah wal jamaah.

Yang ketiga adalah pemikiran fiqh dan ushul fiqh, yakni pemikiran mengenai berfikir dan berhujjah untuk beramal dan beribadah. Secara khusus, ushul fiqh merupakan proses dan metodologi yang sistematik dalam membuat hukum-hukum amali. Dalam hal ini, Dr. Ugi menyampaikan bahwa taqlid kepada otoritas ulama mazhab tertentu adalah suatu kewajaran dan kelumrahan. Hal itu justru meminimalkan perbedaan, bukan menajamkannya. Sebab, kita yakin bahwa ulama yang kita ikuti memiliki kewibawaan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sementara itu, saudara muslim lain yang berbeda mazhab tak akan kita beri cap sesat atau tidak nyunnah. Alasannya, kita tahu bahwa saudara kita ini mengikuti mazhab yang memiliki ulama berwibawa dengan hujjah yang juga dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun berbeda, ulama mazhab lain tetaplah ulama yang perlu dihormati dan didoakan. Perbedaan di tingkat fiqih ini perlu disikapi dengan penuh toleransi dan rahmah. Sebab perbedaan di tingkat ini, ialah perbedaan di tingkat cabang, yang masih bersumber dari pokok dan akar yang sama.

Dr. Ugi juga menegaskan, ungkapan kembali ke al-Qur’an dan Sunnah sebetulnya perlu secara khusus ditujukan kepada para ulama. Jika orang awam yang hanya dapat melafazkan al-Qur’an tanpa memahami Bahasa Arab, belajar agama sendiri (tanpa didampingi guru atau ahli) menggunakan terjemahan al-Qur’an dan hadits, hal ini justru akan mengacaukan agama. Mazhab adalah jalan panjang hukum Islam yang sambung menyambung dari satu ulama ke ulama sebelumnya, berasal dari generasi salafush shalih, tak putus sampai ke Nabi.

Persoalan yang juga diangkat Dr. Ugi pada tingkat ini adalah Islam yang luas ini dipersempit kepada yang fiqh. Fiqh dipersempit lagi hanya kepada hadits. Lalu haditsdipersempit lagi hanya kepada hadits sahih. Lebih dari itu, hadits dha’if ditempatkan seperti hadits mawdhu. Padahal, persoalan ini sudah selesai dibahas oleh ulama terdahulu dan ini merupakan perbedaan yang terjadi di tingkat ketiga. Sementara itu, Islam jauh lebih luas dari persoalan fiqh dan ushul fiqh.

Yang keempat: pemikiran siyasah dan kemasyarakatan (politik, ekonomi, dan sosial) yang merupakan cabang dari fiqih. Ini merupakan pemikiran yang paling bawah dari struktur pemikiran Islam. Sifatnya sangat pragmatis. Umat Islam justru paling sering berseteru pada tingkat yang paling rendah ini. Perbedaan di tingkat ini berpotensi membawa banyak mudarat yang besar, pertumpahan darah, perang, fitnah, permusuhan, dan dendam kesumat. Sejarah mencatat bahwa perpecahan umat Islam sering kali berawal dari masalah siyasah yang kemudian ditarik kepada masalah aqidah. Padahal, persoalan amal keseharian ini sebenarnya adalah persoalan ranting dari rantingnya cabang.

Pengaruh pandangan hidup peradaban lain, seperti peradaban Barat, terhadap pemikiran Muslim pada awalnya masuk melalui persoalan-persoalan di tingkat keempat ini. Faham mengenai demokrasi, hak asasi manusia, sosialisme, neo-liberalisme, dan isu LGBT muncul dari persoalan-persoalan politik, ekonomi dan sosial pada mulanya. Kaum Muslim seperti digiring untuk menyelesaikan semua masalah dengan cara Barat. Masalah politik misalnya,seperti hanya dapat diselesaikan melalui partai politik, demonstrasi, kebebasan berbicara, dan sebagainya.

Bukan berarti, semua yang datang dari Barat adalah salah dan harus ditolak seluruhnya. Akan tetapi, kita harus mampu menghubungkan hal-hal pada tingkat keempat ini dengan pemikiran-pemikiran yang lebih tinggi. Segala pengaruh di tingkat sosial-kemasyarakatan perlu dicerap dengan timbangan Kalam atau Worldview Islam. Sehingga pengaruh tersebut hanya berlaku untuk menyempurnakan ranting-ranting dan memperindah pucuk peradaban kita, tetapi tidak membusukkan pokok dan akarnya. Asas-asas peradaban Barat seperti sekularisme, rasionalisme, dualisme, tragisme dan humanisme perlu disaring menggunakan pandangan hidup kita.

Beliau kemudian menyampaikan, struktur pemikiran Islam ini perlu dipandang dengan berurutan, tetapi tak saling terpisah. Struktur pemikiran Islam ini juga jangan dipandang secara kaku. Ada beberapa persoalan di tingkat tiga yang beririsan di tingkat dua, persoalan tingkat dua beririsan dengan persoalan tingkat pertama, bahkan persoalan-persoalan tingkat empat harus senantiasa berkaitan dengan pemikiran yang lebih tinggi.

Memandang berbagai persoalan umat dengan landasan struktur pemikiran ini akan “menghilangkan” perbedaan di antara kaum muslim. Bukan hilang dalam makna seragam atau terlebur, melainkan kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada derajatnya yang wajar. Perbedaan pandangan dan pilihan politik akan kita maklumi sebagai sesuatu yang memang biasa terjadi. Perbedaan pada tingkat fiqih akan kita sikapi dengan penuh pemahaman akan perbedaan hukum yang memang mungkin terjadi dalam Islam. Perbedaan di tingkat Kalam akan kita rasakan sebagai bagian dari kemestian dari perbedaan berbagai pola fikir dan cara memahami persoalan. Akan tetapi di atas perbedaan-perbedaan itu kita masih memiliki kesatuan cara pandang terhadap realitas, kita masih memiliki unsur-unsur pokok yang masih sama dan disepakati.

Dengan demikian, kita akan memandang umat Islam ini dengan tatapan rahmah, penuh kasih sayang, seperti yang Rasul teladankan kepada umatnya. Kita pun akan terjaga dalam bersih hati dan prasangka baik kepada sesama muslim. Dr. Ugi mengungkapkan “Jika worldview kita benar, maka kita akan melihat kaum Muslimin dengan rahmah, pandangan kasih sayang, tanpa mengedepankan kecurigaan.”

Sumber: www.nuun.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *