Catatan Kritis Pemikiran Muhammad Shahrur

          

Akan tetapi bersamaan munculnya kekuatan modernisasi dan tumbuhnya dunia menjadi sesuatu yang mengglobal di bawah superioritas Barat, berbagai tradisi dan paradigma pemegang tampuk peradaban abad modern ini merambah belahan dunia Islam dalam berbagai bidang termasuk diantaranya ke dalam tradisi keilmuan dan metodologi penafsiran kitab suci.

Maka sejak orientalis asal Jepang, Toshihiko Izutsu (1914-1993) pertama kali menerbitkan karyanya, Ethico-Religious Concepts in the Quran pada tahun 1950, pengaruh metodologi Barat terhadap paradigma interpretasi dan penafsiran terhadap al-Qur’an dengan model pendekatan ilmu linguistik dan kesejarahan (historis)[i], atau yang kemudian terkenal dengan istilah pendekatan hermeneutika, dapat ditelusuri pada karya-karya pemikir muslim, sebagai hasil dari interaksi intelektual yang intensif antara dunia akademis Muslim dengan tradisi keilmuan Barat.[ii]

Menurut catatan ‘Abd al-Rahmān al-Hāj Ibrāhīm pengaruh pendekatan ala Barat ini mulai terlihat cikal bakalnya secara jelas di dunia Arab pada khususnya dan dunia Muslim pada umumnya saat seorang intelektual Sudan bernama Muhamad Abū Al-Qāsim Hāj Hamd pertama kali pada tahun 1979, mengeluarkan hasil studinya yang berjudul “Al-‘Ālamiyah al-Islāmiyah al-Tsāniyah”.[iii]

Dua dekade terakhir abad ke-20, selanjutnya bisa disebut sebagai “masa subur” kemunculan pemikir-pemikir muslim “terbaratkan” yang hampir kesemuanya menyuarakan historisitas al-Qur’an (dan ajaran-ajarannya) serta membawa sebuah “islam baru” yang mengoyak bangunan Islam yang selama ini dipahami dan diterima oleh mayoritas kaum muslimin. Sekedar contoh sebut saja misalnya Muhamad Arkoun di Perancis, Naşr Hāmid Abū Zayd di Mesir, Farid Essack di Afrika Selatan, Muhamad Shahrūr di Suriah, Nurcholis Majid di Indonesia, Sādiq Nayhum di Libya, Thayyib Tīzini, dan lain-lain.[iv]

Tulisan ini akan berupaya “membaca” pemikiran salah satu nama-nama diatas yaitu Muhamad Shahrur terutama melalui “buku induk” gagasannya yang diberi judul Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu’āşirah (selanjutnya disebut Al-Kitāb wa al-Qur’ān) dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit al-Ahali, Damaskus, tahun 1990.

Buku ini, meskipun memiliki jumlah halaman sangat tebal (800 halaman lebih) sejak awal penerbitannya disebutkan menuai kesuksesan luar biasa, dimana dalam waktu singkat, hanya sekitar satu tahun setengah, mampu naik cetak ulang sebanyak empat kali.[v] Daya tarik Al-Kitāb wa al-Qur’ān ini diduga disebabkan oleh ide-ide barunya yang seringkali menggigit, berani menyoal tema-tema yang sudah mapan, dan juga klaim penulisnya bahwa buku ini bersandar pada perkembangan pengetahuan modern, serta gaya penyampaian yang cukup menawan, meski – jika dibaca secara kritis- sebenarnya rapuh dan tidak memiliki bobot ilmiah memadai.

            Respon terhadap buku ini pun bermunculan baik positif atau negatif, antara yang pro atau kontra. Bagi mayoritas umat Islam buku ini dianggap telah terlalu jauh “berijtihad” dan telah mengacak-acak tatanan pemahaman terhadap Islam yang selama ini telah mapan, sehingga mengharuskan lahirnya berbagai gugatan dan kritik, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel yang tersebar diberbagai media massa berbahasa Arab. Diantara artikel-artikel tersebut adalah Al-Ishkāliyah al-Manhajiyyah fī “Al-Kitāb wa al-Qur’ān”: Dirāsah Naqdiyah (Māhir al-Munajjid, dalam Jurnal ‘Ālam al-Fikr, Kuwait, Wizārah al-I’lām, vol. 21, Edisi 4, 1993); Limādzā Taghat al-Talfīqiyyah ‘alā Katsīr min Mashrū’at Tajdīd al-Islām (Naşr Hāmid Abu Zayd, majalah Al-Hilāl, Cairo, Edisi 10, Oktober 1991) Juga buku-buku semisal, Tahāfut al-Qirāah al-Mu’āşirah (Munīr Muhamad Thāhir al-Shawwāf, Limasoul, al-Shawwāf li al-Nashr wa al-Dirāsah, 1993); Al-Qurān wa Awhām al-Qirāah al-Mu’āşirah (Jawwād ‘Affānah, Amman, Dar al-Bashīr, 1994); Al-Qirāah al-Mu’āşirah fī al-Mīzān , Al-Markislamiyah wa al-Qur’an (Muhamad Soyyāh al-Ma’arawy, Beirut-Damaskus-Aman, al-Maktab al-Islāmy, 2000); Al-Tahrīf al-Mu’āshir fī al-Dīn (‘Abd al-Rahmān ibn Hasan Habannakah al-Maydāni, Damaskus, Dār al-Qalam, 1997); dan lain-lain.

            Tentu saja, “pembacaan” yang penulis maksudkan disini tidak untuk mengulas atau mengkritisi keseluruhan isi buku, melainkan hanya memberi beberapa catatan yang dirasa penting dan serta beberapa kritik untuk membuktikan bahwa pemikiran Muhamad Shahrūr ini masih sangat perlu untuk diuji menggunakan parameter akdemis-ilmiyah yang memadai.

Dalam melakukan “pembacaan” ini, selain merujuk langsung ke buku Al-Kitāb wa al-Qur’ān, penulis juga memanfaatkan ringkasannya yang ditulis oleh Hālah al-‘Ūra yaitu Qirā’ah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān.[vi]

 

Shahrur dan Karyanya: Al-Qirā’ah al-Mu’āşirah

            Muhamad Shahrur[vii] dilahirkan di Damaskus tahun 1938. Setelah menamatkan pendidikan menengahnya pada tahun 1957, Shahrur berangkat ke Moskow, Uni Sovyet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah). Sejak masa inilah Shahrur mulai bersinggungan dengan pemikiran dialektika Marxisme dan kemudian menjadi salah satu pengagumnya, meski ia sendiri menolak disebut sebagai seorang marxian. Namun, ia sendiri pernah mengaku banyak belajar dari Hegel terutama dalam teori dialektikanya dan juga Alfred North Withead[viii] sang pencetus logika matematika.

            Setelah merampungkan studinya tahun 1964, Shahrur kembali ke Syria untuk mengajar di Universitas Damaskus, sampai akhirnya ia mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian di Imperial College, London, pada tahun 1967. Namun perang yang terjadi antara Syria dan Israel pada bulan Juni tahun itu menyebabkan renggangnya hubungan diplomatik Inggris-Syria dan menghanguskan rencana Shahrur. Ahirnya ia berangkat ke Dublin, Irlandia untuk menyelesaikan program master dan doktoralnya di bidang mekanika pertanahan (handasah al-turbah) dan teknik bangunan.

            Semenjak keberadaannya di Dublin itulah, sesuai pengakuan Shahrur, dirinya memulai tahapan pertama penyusunan Al-Kitāb wa al-Qur’ān. Penyusunan dan penyempurnaan buku itu sendiri, menurutnya melalui tiga tahapan panjang dalam rentang waktu dua puluh tahun.[ix]

Dalam salah satu tahapan tersebut (tahap kedua) Shahrur menyebut saat penting perjumpaannya dengan Dr. Ja’far Dakk al-Bāb, yang pernah menekuni ilmu linguistik di Universitas Moskow. Dari Ja’far Dakk itulah Shahrur mengenal teori-teori linguistik Arab dan tokoh-tokohnya  semisal Al-Farrā’, Abu ‘Ali al-Farisi, dan muidnya Ibnu Jinny,  serta ‘Abd al-Qāhir al-Jurjani.[x] Ja’far Dakk pula yang kemudian memberikan kata pengantar dalam karya Shahrur (Al-Kitāb wa al-Qur’ān) tentang metodologi kajian bahasa dan lampiran penting mengenai asrār al-lisān al-‘arabi (rahasia-rahasia bahasa Arab).

Oleh  para pengritik Al-Kitāb wa al-Qur’ān, tulisan Ja’far ini disebut diduga bertujuan sebagai “teror” untuk menggertak pembaca dan sekaligus selubung untuk melindungi kelemahan-kelemahan metodologi linguistik Shahrur yang tidak kentara bagi para pengkaji pemula, terlebih Shahrur begitu berani melakukan pembongkaran pemahaman al-Quran melalui pendekatan studi linguistik, sementara dia sendiri hanyalah seorang insinyur dan tampaknya tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan baik.

            Selain Al-Kitāb wa al-Qur’ān (1990) Shahrur juga telah menerbitkan beberapa buku lainnya yaitu[xi]: Al-Dawlah wa al-Mujtama’ (tahun 1994, setebal 375 halaman), Al-Islām wa al-ĪmānMandzūmat al-Qiyam (tahun 1996, 400 halaman), Nahwa Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmi (tahun 2000, 400 halaman), serta Tajfīf Manābi’ al-Irhāb (tahun 2008, 300 halaman).

 

Konstruksi Pemikiran Shahrūr

            Shahrur mengaku bahwa gagasan-gagasannya dalam Al-Kitāb wa al-Qur’ān berangkat dari sebuah perenungan panjang selama tak kurang dari seperempat abad yang berujung pada sebuah keprihatinan dan kritik terhadap kondisi umat Islam yang –menurutnya- selama ini terkungkung oleh dogma-dogma dan keyakinan yang justru bisa jadi salah kaprah dan bahkan terbalik (ma’kūs). Sementara literatur (adabiyyāt) keislaman yang  berkembang tidak lagi mampu menampilkan wajah Islam yang semestinya dan tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan prinsipil dalam pemikiran Islam[xii].

Dengan keyakinan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang akan selalu abadi dan up to date hingga akhir zaman, Shahrur mengajak agar al-Quran dibaca dan ditafsirkan sesuai perubahan waktu. Menurutnya, pada abad ketujuh masehi Nabi dan para sahabat telah menafsirkan al-Quran sesuai dengan latar pengetahuan (ardliyah ‘ilmiyyah atau scientific background) saat itu. Adapun kini al-Quran hendaknya dibaca seakan-akan turun di masa sekarang dengan latar pengetahuan kekinian pula[xiii], kemudian terus menerus dibaca dan dibaca kembali (re-read) sampai datangnya Kiamat.

Untuk memastikan bahwa penafsiran Al-Qur’an tersebut dapat menjadikan Islam sebagai agama yang cocok untuk semua waktu dan tempat maka umat Islam masa kini harus menganggap bahwa Al-Qur’an seakan-akan diturunkan kepada mereka di masa kini dan seakaan-akan Nabi baru saja meninggal dan menyampaikan Al-Quran tersebut baru-baru saja (ka anna al-nabiy tuwuffiya hadītsan wa ballaghanā hādzā al-Kitāb).[xiv]

  Berangkat dari sini Shahrur mengajak umat Islam meninggalkan segala warisan intelektual (turāts) generasi masa lalu. Bahkan bagi Shahrur sendiri penjelasan atau penafsiran Nabi terhadap al-Qur’an juga tidak harus diikuti karena penafsiran tersebut hanyalah sebagai kemungkinan pertama (al-ihtimāl al-awwal), bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir[xv], sebab meskipun al-Quran memiliki karakter konstatasi teks (tsabāt al-Îighah al-lughawiyyah atau tsabāt al-naÎ), namun sekaligus mempunyai daya gerak perubahan pemahaman makna (Íarakāt fahm al-muÍtawā) yang terkandung didalamnya mengikuti relativitas pemahaman manusia[xvi]. Dalam bahasa lain, menurut Shahrur fungsi Nabi hanyalah mentransformasikan kemutlakan wahyu Allah menjadi sesuatu yang relative dan bergerak bebas.[xvii]

Untuk mendukung teorinya Shahrur juga sampai pada tashkik (meragukan) validitas Al-Sunnah sebagai sumber hukum dengan dalih bahwa Nabi r tidak memerintahkan ucapannya ditulis sebagaimana al-Quran[xviii] dan bahwa faktor politislah yang menjadi sebab utama dikumpulkannya hadits-hadits Nabi.[xix] Shahrur sendiri terkadang berbelit-belit dalam menempatkan Sunnah dalam bangunan pemikirannya sebagai konsekwensi dari penerapan metodologinya dalam membedakan terminologi yang selama ini dianggap (kurang lebih) sinonim, seperti terminologi sunnah, hadits, nabi dan rasul.

Di bukunya yang lain, kebingungan Shahrur pada ahirnya menyeretnya untuk mengelompokkan hadits Nabi r menjadi beberapa bagian:[xx]

  1. Hadits-hadits ibadah ritual (ahādīts al- sha`ā’ir)  yang wajib ditaati.
  2. Hadits-hadits tentang informasi ghaib; tertolak keseluruhannya.
  3. Hadits-hadits hukum; berkarakteristik historis-periodik.
  4. Hadits-hadits Qudsi; tertolak dan tidak diperlukan.
  5. Hadits-hadits tentang kehidupan pribadi Nabi r; tidak perlu dijadikan sebagai sumber keteladanan (uswah.)

Usai memijakkan dasar reinterpretasinya yang bebas tanpa mempertimbangakn turats Shahrur kemudian mulai mengembangkan teori fundamentalnya dan mendekonstruksi berbagai konsep dan istilah baku yang selama ini dipahami oleh umat Islam. Dalam hal ini Shahrur bersandar pada prinsip salah satu teori linguistik Tsa’lab[xxi] dan Abu ‘Ali al-Farisi[xxii] yang menyatakan tidak adanya sinonimitas (‘adam al-tarāduf) dalam bahasa dan bahwa aÏaf (kata sambung) selalu menunjuk perbedaan antara ma’Ïuf dan ma’Ïuf ‘alaih secara mutlak. Shahrur menyatakan bahwa hal itu telah berhasil diujinya melalui telaah-nya terhadap setiap makna kata yang berkaitan dalam ayat-ayat al-Qur’an, dengan merujuk –utamanya- dalam memahami masing-masing makna kosa-kata tersebut kepada kamus Maqāyis al-Lughah-nya Ibn Faris.[xxiii]

Hasilnya, Shahrur menyimpulkan adanya perbedaan antara istilah al-Kitab, al-Quran, al-Dzikr dan al-Furqon[xxiv], dimana masing-masing istilah menurutnya menunjuk pada sesuatu yang berlainan. Al-Kitab (dengan “al” ta’rief) menurutnya meliputi semua ayat yang tercakup dalam Al-MuÎhaf, dan terdiri dari dua macam kitab yaitu:

–          kitab al-risālah, berisi aturan-aturan moral-etika, hukum-hukum peribadatan dan mu’amalah. Inilah yang disebut ayat muhkamat (um al-kitāb), atau disebut juga kitāb al-ulūhiyah.

–          kitāb al-nubuwwah, berisi ayat-ayat mengenai ilmu hukum alam (natural laws), sejarah/kisah para nabi dan penjelasan tentang realitas wujud obyektif. Inilah yang disebut ayat mutasyabihat (yakni Al-Qur’ān), atau disebut juga kitab al-rububiyah. Termasuk di dalam bagian kitab al-nubuwah ini adalah apa yang dinamakan tafÎil al-kitab, yang bukan termasuk muhkamat dan bukan pula mutasyabihat.

 

Sedangkan al-Dzikr adalah perubahan al-kitāb dari kalam Allah menjadi penuturan dalam bahasa manusia (dalam hal ini bahasa Arab). Adapun al-Furqān hanya merupakan bagian dari umm al-kitāb, terdiri dari ayat-ayat tentang sepuluh wasiyat dalam surah al-An’ām:151-153 .

Teori Shahrur ini dapat digambarkan melalui skema berikut[xxv]:

 

                          Al-Mushaf (Al-KItab Tertulis)       Al-Dzikr (Al-Kitab Tertutur)

                                               

 

                                                        AL-KITAB

 

 

AL-QURAN         AL-SAB’U AL-MATSANI          TAFSHIL AL-KITAB                              UMM AL-KITAB

                                                           

 

       ĀYĀT MUTASHABIHAT                               AYAT BUKAN MUHKAMAT                   AYAT MUHKAMAT

                                                                        DAN BUKAN MUTASHABIHAT      

 

                       

              AL-NUBUWWAH                                                                          AL-RISALAH

           

Menurut Shahrūr, pembagian Al-Kitab menjadi dua Al-Nubuwwah dan Al-Risālah merupakan konsekwensi dari peran Muhamad r (penerima wahyu Al-Kitāb) sebagai seorang rasul disamping juga sebagai seorang nabi.[xxvi]  Maka Sunnah-pun oleh Shahrūr juga dibagi sama menjadi dua macam; yaitu sunnah al-risalah, berupa hukum-hukum, praktek ibadah ritual dan ajaran moral-etika, serta sunnah al-nubuwah, berupa pengetahuan tentang alam, informasi sejarah serta ijtihad Nabi sesuai lingkup latar ruang dan waktu saat itu.[xxvii]

Namun perlu digaris bawahi di sini, bahwa Shahrūr juga tidak memaknai Sunnah sebagaimana dipahami para ulama muslim pada umumnya. Shahrur mengartikannya sebagai:

“metode atau cara mengaplikasikan hukum-hukum yang terdapat dalam Umm al-Kitāb dengan prinsip kelenturan (suhūlah) dan kemudahan  (yusr) tanpa keluar dari batasan-batasan (hudūd) yang telah ditetapkan oleh Allah dalam perkara-perkara yang terkait dengan hudūd, atau menentukan batas-batas (hudūd) lainnya (yang belum ditetapkan oleh Allah) yang bersifat temporal dan disesuaikan dengan tradisi masyarakat, dengan mempertimbangkan realitas dunia nyata yang meliputi waktu, tempat, serta pra-syarat objektif dimana hukum-hukum tersebut diterapkan”.[xxviii]

Disamping memecah makna dari masing-masing terminologi Al-Kitāb, al-Qurān, al-Dzikr dan al-Furqon Shahrur kemudian juga membedakan berbagai terminologi lainnya seperti antara tanzīl, inzāl dan ja’l; lawh mahfūdz dengan umm kitāb; imām mubīn dengan kitāb mubīn dan lain-lain dengan definisi-definisi yang sering terasa aneh dan dipaksakan.

Dengan asumsi pembedaaan istilah-istilah kunci seperti tersebut diatas, Shahrur sampai pada tahapan berikutnya yaitu membangun interpretasi (tafsīr) kontemporernya terhadap kitab suci dan fiqh baru yang diklaim lebih cocok dengan konteks kekinian.

Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam membangun tafsir dan fiqh “alternatif” tersebut, selain bersandar pada prinsip tidak adanya sinonimitas sebagaimana disinggung diatas, Shahrur juga berpegang teguh pada pada prinsip dialektika yang kemungkinan besar disadur dari dialektikanya kaum marxian.

Dalam kaitan ini Shahrur menyatakan bahwa agama Islam memiliki dua karakteristik dasar yang selalu berlawanan (mutanāqidl), yaitu karakter al-hanīfiyyah (bengkok, melengkung, berubah) dan al-istiqāmah (tegak, lurus, bersifat tetap).[xxix]

Karakter pertama (al-hanīfiyyah) merupakan karakter dan sifat dasar seluruh alam semesta mulai dari partikel terkecil (elektron, atom) sampai dengan benda terbesar seperti angkasa raya, langit atau bumi yang terus bergerak ‘melengkung’ dan teratur. Agama Islam sebagai al-dīn al-hanīf telah diskenariokan untuk memiliki keserasian dengan alam semesta ini. Maka ia akan terus bergerak dan berubah sesuai sifat alamiyahnya.

Sedangkan karakter kedua (al-istiqāmah) merupakan karakter dari hal-hal prinsip yang tidak berubah dalam agama (al-tsawābit) tetapi tidak untuk membatalkan al-hanīfiyyah melainkan hanya sebagai pengontrol dan menjadi pembatas (hudūd) demi terciptanya hubungan dialektis antara kedua karakter tersebut sepanjang zaman.

Dari sini, dan dengan menggunakan analisis teori matematika, Shahrur kemudian menciptakan “Teori Limit”, yang terdiri dari batas atas (al-hadd al-a’lā) dan batas bawah (al-hadd al-adnā) sebagai dua titik dimana hukum-hukum syariat dapat bergerak/berubah diantara keduanya sesuai perubahan waktu maupun kondisi. Teori yang sangat kontroversial ini berimplikasi sangat kritis dan pada akhirnya menghancurkan sejumlah besar bangunan hukum Islam.[xxx]

Beberapa Catatan terhadap Muhamad Shahrūr

Dari sekilas paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Shahrur adalah benar-benar seorang “kontekstualis” sejati yang meyakini keharusan perubahan penafsiran dan pemahaman terhdap ajaran Islam. Perubahan ini menuntut kebebasan atau keterbukaan epistemologi tanpa harus terkungkung oleh turāts walaupun berasal dari generasi pertama umat ini, ataupun sesuatu yang telah disepakati sebagai sebuah hasil kesepakatan ulama (ijmā’).

Karena itu Shahrur sangat berani melakukan reinterpretasi kitab suci dan mendekonstruksi metodologi pemahamannya dengan sangat bebas. Sayang sekali, Shahrur yang selalu berbicara tentang interpretasi Al-Qur’an dan pembaharuan fiqh Islam ini, tidak pernah dikenal sebagai seorang mufassir ataupun faqīh. Bahkan dalam rekam jejaknya, Shahrur tidak pernah tercatat sebagai pelajar ataupun berguru disiplin keislaman kepada siapapun. Shahrur sendiri mengaku belajar secara otodidak dan banyak mengagumi tokoh-tokoh filsafat seperti Al-Farābi (w. 338/950), Ibn Rushd (w. 595/1198), Newton (mati 1727), Hegel (mati 1831),  maupun Charles Darwin (mati 1882).[xxxi]

Maka tidak aneh jika dalam beberapa pemikirannya Shahrur juga terlihat banyak terpengaruh dengan filsafat modern khususnya Marxisme dengan dialektika materialismenya. Aroma marxian ini selain pernah ditegaskan oleh Shahrur pada saat “menceritakan” metode yang dianutnya dalam penulisan Al-Kitāb wa al-Qur’ān bahwa sumber pengetahuan manusia adalah dunia materialis,[xxxii] juga dapat dijumpai dibeberapa bagian bukunya, misalnya saat menafsirkan makna tasbīh dengan konflik dialektik antara dua komponen yang bertentangan dalam setiap materi yang ada di alam semesta.[xxxiii]

Dengan berani, Shahrur menyebut pemikiran yang statis (sukūniyah al-fikr atau static state of mind) adalah salah satu bentuk kesyirikan, karena melawan keniscayaan perubahan yang telah digariskan oleh Allah terhadap semesta ini.[xxxiv] Untuk itu Shahrur menamakan bukunya sebagai “Qiraah Mu’ashirah” atau pembacaan kontemporer, yakni pembacaan manusia masa kini yang berinteraksi aktif dengan produk materi dan pemikiran masa kini pula yang ia yakini akan berbeda bahkan lebih baik dan tepat dibanding ‘pembacaan’ masa lalu yang telah usang, walaupun yang dilakukan oleh Nabi r sendiri. Nilai lebihnya, karena didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan lebih kontekstual dengan peradaban manusia modern.

            Pereduksian fungsi Sunnah Nabi sebagai referensi utama tafsir Al-Quran (baik sebagai mubayyin, mufaÎÎil, maupun muqayyid) juga telah menggiring Shahrur kepada interpretasi yang sangat aneh seperti pemaknaan al-sab’u al-matsāni dengan tujuh kelompok huruf-huruf pembuka beberapa surat Al-Qur’an (al-ahruf al-muqaththa’ah).[xxxv] Penolakan Shahrur terhadap Sunnah dengan dalih bahwa Nabi tidak pernah memerintahkan ucapannya ditulis sebagaimana al-Quran[xxxvi] dan bahwa faktor politislah yang menjadi sebab utama dikumpulkannya hadits-hadits Nabi[xxxvii] juga telah terbantah oleh kajian sejarah hadits.

Dr. Şubhī al-Şālih misalnya secara gamblang menjelaskan pembuktian yag dilakukan oleh para sejarawan muslim dan ahli hadits bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak masa hidup Rasulullah saw.[xxxviii] Adapun mengenai larangan penulisan selain al-Quran pada zaman Nabi, hal itu merupakan kebijakan Rasulullah di masa tertentu ketika dikhawatirkan tercampurnya al-Quran dengan selainnya. Namun demikian penulisan hadits kemudian diijinkan di masa hidup Nabi secara gradual dengan pemberian ijin khusus kepada sebagian sahabat tertentu sampai pada ahirnya turun ijin umum kepada selurugh sahabat.[xxxix]

Pada sisi lain, meskipun Shahrūr selalu mendengungkan pembebasan diri dari turāts, akan tetapi keputusannya untuk “berkomitmen” dengan pendapat aliran Tsa’lab dan Ibn Fāris tentang prinsip tidak adanya sinonimitas dalam bahasa, tak kalah menarik untuk dicatat.

Nyatanya, persoalan ada atau tidaknya sinonimitas dalam bahasa belum menjadi satu hal yang disepakati dan masih menjadi bahan perdebatan oleh para pakar bahasa (Arab). Bahkan kalau merujuk penjelasan Al-Shawkanī[xl], -mengulangi dan meringkas dari para pakar uÎūl al-fiqh pendahulunya- justru pendapat yang mengatakan adanya tarāduf dalam bahasa adalah pendapat yang lebih kuat dan dianut oleh jumhur. Sementara itu pakar uÎūl yang lain, Al-Āmidī, menyebut mereka yang menyatakan ketidak-adaan tarāduf dengan istilah shudzūdz (aneh/ganjil) karena eksistensi tarāduf ini tidak dapat dpungkiri baik melalui jalur dalil ‘aqli maupun simā’i.[xli]

Dari penjelasan ini, dengan asumsi bahwa apa yang dikemukakan Al-Shawkanī dan Al-Āmidī adalah benar adanya, maka dapat ditarik pernyataan secara otomatis bahwa kekuatan bangunan pemikiran Shahrur sangat lemah karena berangkat dari pendapat yang lemah pula.

 

PENUTUP

Usai pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa Shahrur adalah salah satu bagian dari mata rantai pengaruh tradisi Barat terhadap kajian-kajian keislaman. Shahrur juga menambah satu lagi contoh ‘kegagalan’ upaya reinterpretasi terhadap sumber pokok agama Islam yang berangkat dari worldview dan epistemologi yang keliru. Kekeliruan tersebut dapat dilacak dari cara pandangnya yang salah terhadap konsep wahyu baik yang terimplementasikan melalui ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Nabi.

Bagi Shahrur –sebagaimana hampir semua  pemikir liberal lainnya- yang meletakkan kebebasan berfikir sebagai salah satu titik tolak kajiannya-, menyalahi prinsip yang selama ini telah dianggap sebagai aksioma dalam ajaran Islam tidaklah menjadi persoalan, sehingga pada ahirnya memunculkan berbagai macam penafsiran yang janggal dan problematis.

Terakhir, mengingat nama Shahrur telah menjadi salah satu ‘nama besar’ yang diagungkan sebagai pemikir ‘progressif-moderat’ dan disokong oleh berbagai elemen barat semisal RAND Corporation untuk membendung apa yang mereka namakan ‘fundamentalisme Islam’ atau ‘Muslim ortodoks’,[xlii] maka ‘pembacaan’ lebih kritis dan akademis-ilmiah terhadap pemikiran Muhamad Shahrur sudah selayaknya terus dikembangkan kemudian ditransformasikan ke masyarakat lebih luas.

[i]  ‘Abd al-Rahmān al-Hāj Ibrāhīm, Al-Manāhij al-Mu’āshirah fi Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm wa Ta’wīluh, http://www.islamweb.net/ver2/Archive/readart.php?id=10158, diakses tanggal 30 Januari 2009, dapat juga diunduh di http://www.tafsir.org/vb/attachment.php?attachmentid=2119&d=1225981505.

[ii] Baca lebih lanjut: Necmettin Gokkir, Ph.D, Western Impact on Contemporary Qur’anic  Studies: The Aplication of Literary Criticism, diunduh dari http://www.usuldergisi.com/sayi_3/USL2005103-NGokkir.pdf, diakses tanggal 30 Januari 2009. Dalam studinya tersebut Gokkir, dari Fakultas Teologi Istanbul University, membeberkan pengaruh Barat terhadap model pendekatan dan teori kritik teks Mohamad Arkoun, Naşr Hāmid Abū Zayd dan Farid Essack terhadap Al-Qur’an.

[iii] ‘Abd al-Rahmān al-Hāj Ibrāhīm, Al-Manāhij al-Mu’āshirah.

[iv]  Salah satu ulasan yang cukup lengkap menampilkan berbagai pendekatan baru terhadap Al-Qur’an oleh sejumlah pemikir muslim dapat ditemukan dalam Suha Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslims Intelectuals and the Qur’an, Oxford University Press, 2004. Buku ini mengkaji dan mendokumentasikan garis pemikiran sepuluh intelektual muslim dalam kajian mereka terhadap al-Quran termasuk salah satunya pemikir muslim Indonesia, Nurcholish Madjid.

[v]  Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia dengan judul: Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, diterbitkan pertama kali oleh
ElSAQ Press, Yogyakarta, Oktober 2004.

[vi] Diterbitkan oleh Dār al-Fikr al-Islāmi, Cairo, tt. Sebagai catatan, meski buku ini oleh penulisnya diberi judul Qirā’ah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān (Pembacaan terhadap Buku al-Kitāb wa al-Qur’ān), akan tetapi ia tak lebih dari sebuah ringkasan (khulāşah) belaka.

[vii] Riwayat hidup Muhamad Shahrur dapat jua dilihat di situs resminya di www.shahrour.org

[viii] Peter Clark, The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria, http:// www.wluml.org/english/pubsfulltxt.shtml?cmd[87]=i-87-2663 , terakhir diakses pada tanggal 22 Januari 2009

[ix] Tahap pertama adalah tahap perenungan (muraja’āt) dan kristalisasi ide, dimulai pada tahun 1970 hingga tahun 1980, sedangkan tahap ketiga, penyusunan ide menjadi satu kesatuan yang sistematis dalam sebuah buku, diahiri tahun 1990. Lihat: Muhamad Shahrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu’āshirah, Damaskus, Al-Ahāli Publishing House, 1990, hal. 46-48

[x]  Muhamad Shahrur, Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal.47

[xi] www.shahrour.org

[xii] Muhamad Shahrur, Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 29-30.

[xiii] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 36

[xiv]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 44

[xv] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 36 dan 549;  lihat juga Hālah al-Ūra, Qirā’ah, hal. 20 dan 118

[xvi] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 36

[xvii]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 39

[xviii] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 546

[xix] Al-Kitāb wa al-Qur’ān,. hal 566

[xx]  Muhamad Shahrūr, Nahwa Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmī, Damaskus, Al-Ahāli, 2000, hal. 163-164. Lihat juga: Dr. Younis Şawālihi, “Muhāwalāt Tafkīk al-Sunnah al-Nabawiyyah”, http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=ArticleA_C&cid=1183484111542&pagename=Zone-Arabic-Shariah%2FSRALayout, diakses terakhir kali tanggal 2 Februari 2009

[xxi]  Abū al-‘Abbas, Ahmad ibn Yahyā ibn Zayd (200-291 H / 816-914 M), atau lebih dikenal dengan nama Tsa’lab, imam Kufah dalam bidang Nahw dan Bahasa Arab. Lihat: Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī (selanjutnya disebut al-Zirikli), Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, vol.I, hal. 267

[xxii] Abū ‘Ali, Al-Hasan ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Ghaffar (288-377 H / 900-987 M), salah seorang tokoh panutan dalam ilmu bahasa. Memeiliki beberap karya diantaranya Al-Īdlāh, Jawāhir al-Nahw, Ta’alīq Sybawayh dan lain-lain. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, vol.2, hal. 179-180.

[xxiii] Abū al-Husayn Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā Al-Quzwaynī al-Rāzī, (329-395 H / 941-1004 M), salah seorang tokoh ahli bahasa dan sastera Arab. Lihat: al-Zirikli, Al-‘Alām, vol 1, hal. 193

[xxiv] Lebih lanjut dan lengkapnya lihat Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal. 51-64

[xxv]  Bandingkan bagan dengan skema  yang dibuat oleh Shahrūr  sendiri, lihat Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal.17

[xxvi]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 55; Hālah al-‘Ūrā, Qirā’ah fi al-Kitāb,  hal.24

[xxvii] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 54, serta 549-554; Hālah al-‘Ūrā, Qirā’ah fi al-Kitāb,  hal. 118-119

[xxviii]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 549. Teks aslinya berbunyi:

السنة هي منهج في تطبيق أحكام أم الكتاب بسهولة ويسر دون الخروج عن حدود الله في أمور الحدود أو وضع حدود عرفية مرحلية في بقية الأمور, مع الأخذ بعين الاعتبار عالم الحقيقة “الزمان والمكان والشروط الموضوعية التي تطبق فيها هذه الأحكام”

[xxix] Al-Kitab wa al-Quran, hal. 447; Hālah al-‘Ūrā, Qirā’ah fī al-Kitāb, hal. 97

[xxx]  Penulis tidak ingin mendiskusikan teori ini lebih jauh. Untuk penjelasannya silahkan baca lebih lanjut Al-Kitab wa al-Quran , hal. 453-467. Adapun diantara implikasi teori limit ini adalah tidak adanya kewajiban bagi perempuan untuk berjilbab, bahkan dibolehkan untuk tidak menutupi seluruh tubuhnya kecuali kemaluan, pantat, bawah ketiak dan dada.

[xxxi] Andreas Christman, “The Form is Permanent, but the Content Moves: The Qur’anic Text and Its Interpretation(s) in Mohamad Shahrour’s Al-Kitab wal-Quran”, dalam Suha Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslim Intelectuals and the Qur’an, Oxford University Press, 2004, hal. 265

[xxxii] Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 42-43

[xxxiii]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 223

[xxxiv]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 496

[xxxv]  Al-Kitāb wa al-Qur’ān, hal. 96-99

[xxxvi] Al-Kitāb wa al-Qur’ān., hal 546

[xxxvii] Al-Kitāb wa al-Qur’ān,. hal 566

[xxxviii] Lihat: Dr. Şubhi Şālih, ‘Ulūm al-Hadīts wa Musthalahuhu, Beirut, Dar al-Ilmi li al-Malayin, cet.23, 1999, hal. 23-32

[xxxix] Dr. Şubhi Şālih, ‘Ulūm al-Hadīts., hal. 19-21

[xl] Muhammad Ibn ‘Alī ibn Muhammad Al-Shawkanī, Irshād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilm al-Uşūl, Tahqiq: Syaikh Ahmad ‘Azw ‘Ināyah, Dār al-Kitāb al-‘Arabi, Cet.1, 1999, vol. 1, hal. 56-57. Penulis sengaja merujuk perdebatan mengenai persoalan ada tidaknya sinonimitas dalam bahasa ini ke buku-buku uşūl al-fiqh, karena pembahasan kebahasaan merupakan salah satu bahasan yang lazim dan penting tak terpisahkan dalam kajian disiplin ilmu ini.

[xli] Al-Āmidi secara ringkas mengulas perdenbatan ini dengan menghadirkan alasan-alasan mereka yang mengatakan tidak ada taraduf kemudian mematahkannya. Lihat :  Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad Al-Āmidī, Al-Ihkām fī Uşul al-Ahkām, Tahqiq: Dr. Sayyid al-Jamīlī, Beirut, Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1404 H, vol. 1, hal. 46-48

[xlii] Lihat: Angel Rabasa, et.al, Building Moderate Muslim Networks, California, RAND Corporation, 2007, hal.126. Dapat juga di download di http://www.rand.org/pubs/monographs/2007/RAND_MG574.pdf

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. ‘Abd al-Rahmān al-Hāj Ibrāhīm, Al-Manāhij al-Mu’āshirah fi Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm wa Ta’wīluh, http://www.islamweb.net/ver2/Archive/readart.php?id=10158
  2. Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad Al-Āmidī, Al-Ihkām fī Uşul al-Ahkām, Tahqiq: Dr. Sayyid al-Jamīlī, Beirut, Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1404 H
  3. Angel Rabasa, et.al, Building Moderate Muslim Networks, California, RAND Corporation, 2007
  4. Hālah al-Ūra,  Qirā’ah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān , Cairo, Dār al-Fikr al-Islāmi,  tt
  5. Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002
  6. Muhamad Shahrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu’āshirah, Damaskus, Al-Ahāli Publishing House, 1990
  7. Muhamad Shahrūr, Nahwa UÎūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmī, Damaskus, Al-Ahāli, 2000
  8. Muhammad Ibn ‘Alī ibn Muhammad Al-Shawkanī, Irshād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilm al-Uşūl, Tahqiq: Syaikh Ahmad ‘Azw ‘Ināyah, Dār al-Kitāb al-‘Arabi, Cet.1, 1999
  9. Necmettin Gokkir, Ph.D, Western Impact on Contemporary Qur’anic  Studies: The Aplication of Literary Criticism, diunduh dari http://www.usuldergisi.com/sayi_3 /USL2005103-NGokkir.pdf
  10. Peter Clark, The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria, http:// www.wluml.org/english/pubsfulltxt.shtml?cmd[87]=i-87-2663
  11. Şubhi Şālih, ‘Ulūm al-Hadīts wa Musthalahuhu, Beirut, Dar al-Ilmi li al-Malayin, cet.23, 1999
  12. Suha Taji-Farouki (Ed.), Modern Muslims Intellectuals and the Qur’an, Oxford University Press, 2004
  13. Younis Şawālihi, “Muhāwalāt Tafkīk al-Sunnah al-Nabawiyyah”, http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=ArticleA_C&cid=1183484111542&pagename=Zone-Arabic-Shariah%2FSRALayout

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *