Ulama’ dan Amanah Kemerdekaan

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

A-Sang KiaiInpasonline.com – “Organisasi Islam yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan kepropinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali keislaman”

Kalimat itu diucapkan oleh M. Natsir, pejuang kemerdekaan dan pendiri Masyumi. Pendapat M. Natsir benar. Bibit persatuan bangsa telah ditanam oleh para ulama dalam perjuangan kemerdekaan.Dalam catatan sejarah, kebanyakan penggerak perjuangan melawan penjajah adalah para ulama dengan dukungan para santri yang menimba ilmu di pesantren-pesantren.

Kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.

Tercatat ada beberapa tokoh ulama maju menjadi pelopor revolusi. KH. Zainal Musthafa di Tasikmalaya Jawa Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Perang Sabil di Acel dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, Teungku Umar dan Cut Nyak Dien.

Pada 23 Oktober 1945 KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Jihad (terkenal dengan Resolusi Jihad) melawan Belanda dan tentara Sekutu kepada segenap kaum Muslimin yang tinggal dalam radius 94 km dari kota Surabaya. Fatwa tersebut mendorong warga NU dan pesantren-pesantren yang menjadi basis NU untuk melakukan perlawanan kepada Belanda.

Bahkan pada detik-detik menjelang pengumuman kemerdekaan, Bung Karno tak melupakan ulama untuk diminta nasihatnya. Di Cianjur ia menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan tentang kemerdekaan Indonesia.

Keringat dan darah banyak tertumpah dari umat Islam pada zaman revolusi. Menurut Deliar Noer, ahli sejarah Islam, ketika bangsa Indonesia menemukan rasa nasionalisme, Islam-lah yang pertama mempeloporinya menjadi perekat perjuangan. Bahkan semangat bersatu dan nasionalisme itu juga untuk membela kaum pribumi untuk melawan monopoli ekonomi orang asing.

Tokoh nasional H. Agus Salim dan M. Natsir bersepakat bahwa semangat kebangsaan yang ada pada umat Islam berjalin kelindan dengan jiwa keislaman dalam perjuangan melawan penjajah Belanda (Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme, hal. 25).

Maka tidak salah, ketika dasar-dasar negara Indonesia sedang disusun oleh BPUPK, para ulama menitipkan pesan agar negara mengakui Allah sebagai Tuhan. Siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah Swt yang disampaikan melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad Saw.

Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan’. BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – sebuah panitia kecil yang bertugas menyiapkan asas-asas kenegaraan pada tanggal 22 Juni 1945, bersepakat atas klausul bersama bahwa “Negara berdasar Ketuhanan”.

Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Sila pertama Pancasila sebenarnya berkat usulan perwakilan Islam atas saran para alim ulama. Agar negara Indonesia menjadi negara beradab berdasarkan ketuhanan, anti-ketuhanan.

Maksud sila tersebut adalah agar kaum Muslimin, yang menjadi mayoritas di Indonesia, menjadi umat yang bertauhid, mengamalkan syariah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bernegara.

Inilah amanah para ulama pejuang bangsa, yang tidak boleh dilupakan oleh generasi sekarang. Mereka berjuang, agar bangsa ini menjadi bangsa beradab, bermartabat, menjaga agamanya, dan menempatkan tauhid ditempat yang tinggi.

Paham-paham yang merusak merusak (mafahim haddamah) dan kemungkaran tidak patut dikembangbiakkan di negara Indonesia. Karena tidak sesuai amanah pendiri bangsa dan sila pertama Pancasila.

Kenyatannya, memang dalam peristiwa-peristiwa penting yang dialami umat Islam, peran ulama selalu besar. Shalahuddin al-Ayyubi sukses memembebaskan Baitul Maqdis ia dibantu para tentara yang menjadi murid dari madrasal imam al-Ghazali dan al-Jailani. Muhammad al-Fatih memiliki penasihat spiritual, seorang sufi bernama Syaikh Aaq Syamsuddin, yang ikut serta pada pengepungan benteng Konstantinopel.

Ulama adalah warisan Nabi Saw. Karenanya harus dimulyakan dan diperhatikan petuah serta nasihatnya. Allah Swt berfirman, “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Naml: 43).

Dalam ayat itu, Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Dan dalam kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi di mana Allah.

Negara ini akan selalu membutuhkan ulama untuk membangun Indonesia yang beradab dan bermartabat. Yang bisa menuntun kepada kebenaran, kebaikan, serta memperingatkan mereka dari setiap keburukan, kesesatan dan kebinasaan.

Negara Indonesia tegak berdiri berkat upaya perjuangan ulama. Jika, negeri ingin terus tegak dan semakin kuat, bangsa Indonesia harus menghormati ulama. Jika tidak, kehancuran akan terjadi.

Ingatlah peringatan Imam Hasan al-Bashri ra. Ia berkata : “Para ‘ulama Salaf mengatakan: “Kematian seorang ‘ulama (robbani) adalah cela dalam tubuh Islam. Tidak mungkin ditambal dengan apapun sepanjang zaman.”(HR. al-Darimi).

Ditegaskan lagi dalam sebuah riwayat, kehancuran suatu bangsa karena tiadanya ulama. Hilal bin Khabbab rahimahullah berkata: Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair :“Wahai Abu Abdillah, apakah tanda kehancuran manusia?” Beliau menjawab : “Apabila ‘ulama-’ulama mereka telah wafat.” (HR. al-Darimi).

Jika negeri ini ingin terus merdeka bebas dari imperialisme, maka bangsnya harus menghormati ulama dan menjadikan pedoman dalam keputusan-keputusan penting.

Terkait dengan itu, amanah besar yang harus diusung kembali oleh generasi kita sekarang adalah, menjadikan Indonesia lebih beradab. Kaum Muslimin harus didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah Swt. []

Last modified: 15/08/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *