Kalimat Haq di Depan Pejabat

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani

“Kita tidak boleh sunyi setiap waktu dari orang yang berani menyatakan kebenaran, meluruskan yang condong, memperbaiki barang yang salah, dan tidak peduli kepada kebencian / ejekan orang”

nasihatInpasonline.com“Tidaklah suatu bangsa akan tegak dan suatu faham akan berdiri, kalau di antara bangsa itu sendiri tidak ada yang berani menyatakan kebenaran” (Prof Dr HAMKA, Falsafah Hidup – 2002: 212).

Dua Contoh

Berani menyatakan kebenaran adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sementara, amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu dari pokok ajaran Islam. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali-‘Imraan [3]: 110).

Sayang, berani menyatakan kebenaran –terlebih di depan pejabat yang sedang berkuasa- adalah sikap yang tak dimiliki oleh rata-rata orang. Sebaliknya, sampai kini, kebanyakan orang lebih memilih untuk hidup ’aman’. Misalnya dengan berprinsip, “Tak perlu bersikap idealis -yaitu menjadi pejuang kebenaran- agar posisi sosial dan ekonomi kita aman. Untuk itu, jika perlu kita bisa bersikap ABS (Asal Bapak Senang)”.

          Hanya saja, di tengah kecenderungan umum seperti yang tergambar di atas, selalu ada perkecualian. Bahwa, ternyata masih ada yang berani menyatakan kebenaran, bahkan langsung di depan pejabat. Cermatilah isi doa KH Khoirul Muna di acara penutupan Sidang Tahunan MPR pada 14/08/2015. Saat itu -di depan Presiden, Wakil Presiden, pimpinan serta anggota MPR, dan undangan lainnya- KH Khoirul Muna memimpin doa.

Isi doa itu, boleh jadi, bagi kebanyakan orang tergolong tak biasa. Maka, sejumlah media menurunkan berita yang terkait dengan itu. Misal, situs www.hidayatullah.com pada 17/08/2015 memberitakannya dengan judul: “Doa Sidang Tahunan MPR Sindir Pejabat Tak Amanah Sengsarakan Rakyat”.

Adapun doa lengkap KH Khoirul Muna bisa kita saksikan lewat internet berupa video berdurasi sekitar 10 menit. Kecuali itu, dari berbagai sumber, berikut ini petikan doa tersebut:

“Ya Allah, jauhkan kami dari sikap pongah dan zalim yang menyebabkan Murka-Mu. Ya Allah, di hari-hari ini kami menghadapi beragam ujian berat mulai dari alam yang kurang bersahabat, kekeringan di mana-mana, harga kebutuhan pokok yang masih melangit, ekonomi yang belum pulih, hingga penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan rakyat. Sungguhpun begitu, segelintir penguasa masih acuh tak acuh, tak peduli kesengsaraan rakyat sehingga rakyat semakin berang, jengkel, dan galau karena mereka tidak memberikan suri teladan”.

“Ya Allah ya Fattah, Tuhan yang Maha Pembuka. Bukalah pintu hati pemimpin kami agar mereka selalu amanah dan bertanggung-jawab atas segala tugas yang diembannya. Bukakanlah selalu hatinya, hati nurani pemimpin kami, agar pada setiap hembusan-tarikan nafas mereka hanya memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat yang sangat letih menghadapi kesulitan hidup kesehariannya”.

“Ya Allah ya Bari’, …. Bebaskanlah kami dari berita-berita bohong, janji-janji palsu, dan harapan-harapan kosong, karena sesungguhnya tidaklah elok mereka memanipulasi dan menipu rakyat yang menderita, sengsara, dan hampir berputus-asa”.

          Doa tersebut mengesankan. Pertama, doa itu disampaikan dalam bahasa Indonesia sedemikian rupa semua pihak bisa memahaminya. Tentang ini, Islam memang memberi ruang bahwa jika kita berdoa boleh dengan bahasa yang kita mengerti. Kedua, isi doa berupa permintaan atas apa yang sedang kita butuhkan dan terlebih lagi keperluannya bersifat mendesak. Ketiga, sekalipun isi doa bisa dirasakan pahit oleh sebagian pihak, tetapi kebenaran harus tetap disampaikan. Bahkan, kita pun tahu, bahwa Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang diucapkan kepada raja (penguasa) yang zalim (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

KH Khoirul Muna berdoa sekaligus ber-amar ma’ruf nahi munkar. Redaksional doa dia manfaatkan untuk sekaligus mengingatkan sesamanya dan terutama kepada pejabat. Sementara, dalam khazanah Islam, cukup banyak contoh ulama yang ber-amar ma’ruf nahi munkar langsung di hadapan pejabat atau penguasa. Salah satu ulama itu adalah Imam Nawawi (1233-1277). Berikut ini adalah kisah ringkasnya.

Kala itu, di negeri Syam terjadi musim kering yang panjang. Terjadi paceklik dan rakyat melarat. Di saat-saat itu, bangsa Mongol dan Tartar malah akan menyerbu. Sang Raja lalu memerintahkan rakyat agar membayar Dana Perang. Raja-pun berharap agar seluruh ulama melegitimasinya. Banyak ulama yang setuju dan ada juga yang menolak. Namun, setelah diintimidasi, yang tak setuju akhirnya berbalik arah kecuali Imam Nawawi.

Semua ulama lantas dipanggil ke Istana. Lalu, Sang Raja bertanya kepada Imam Nawawi: “Mengapa Anda tak mau menyetujui perintahku? Apakah Anda lebih senang bila kerajaan kita diduduki musuh?”

“Rakyat Syam sekarang telah melarat. Berat bagi mereka untuk membayar Dana Perang. Bukannya saya tak setuju. Tapi, bukankah masih ada dana lain yang dapat ditarik? Selama sumber lain masih ada, saya tak setuju. Mengapa Tuan masih memberi beban kepada rakyat yang lebih berat lagi? Sementara, penghasilan mereka tak cukup untuk mereka makan sendiri,” demikan hujjah Imam Nawawi.

Sang Raja marah dan Imam Nawawi-pun diusir dari Syam. Tapi, pengusiran itu tak lama karena Sang Raja lalu meninggal. Setelah itu, rakyat dan ulama (yang kemudian sadar) meminta Imam Nawawi untuk kembali pulang.

 

Harus Ada

Sungguh, jangan pernah abaikan amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, jika di sekitar kita ada kemunkaran dan itu kita biarkan, azab Allah akan turun dan bisa menimpa siapa saja. “Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum” (HR Abu Dawud).

Alhasil, semoga kita tergolong sebagai orang yang tak ragu-ragu dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Kita harus tetap istiqomah dalam berkata-kata yang haq di manapun kita berada, termasuk ketika berhadapan dengan pejabat atau penguasa. Untuk itu, ucapan HAMKA di buku yang telah disebut di depan, bisa lebih memberi optimisme. Bahwa, kata HAMKA, “Kita tidak boleh sunyi setiap waktu dari orang yang berani menyatakan kebenaran, meluruskan yang condong, memperbaiki barang yang salah, dan tidak peduli kepada kebencian / ejekan orang”. []

Last modified: 23/08/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *