Ikhtilaf Furu’ dan Isu Perpecahan Umat

Written by | Fikih dan Syariah

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

1Inpasonline.com-Masalah perbedaan di antara umat Islam hari-hari ini mungkin cukup menyulitkan. Secara umum, tantangannya ada dua; pertama ada sebagian yang dakwahnya mengusik perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaf furu’). Kedua, ada sebagian kelompok lain yang ‘menghalalkan’ perbedaan yang sebenarnya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kelompok pertama bisa memicu perpecahan, sedangkan yang kedua bisa mencerabut akar-akar pikiran utama agama Islam (ushuliyyah).
Dalam Islam, ada perbedaan yang tidak bisa ditoleransi, dan ada juga perbedaan yang diperbolehkan. Ada perbedaan-perbedaan yang menyebabkan kerusakan pokok-pokok agama. Namun ada konteks-konteks perbedaan yang dapat dibolehkan dan tidak sampai merusak sendi-sendi agama. Bagaimana perbedaannya?
Dikisahkan, suatu hari Khalifah Harun al-Rasyid mengusulkan kepada Imam Malik agar mempopulerkan kitabnya, al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun al-Rasyid melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu, sehingga dengan cara itu, madzhab Imam Malik diikuti semua penduduk negeri.
Akan tetapi, Imam Malik secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah Saw saja sudah berselisih dalam masalah furu’(cabang dalam agama, pen). Lagi pula, umat Islam sudah tersebar di berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada mereka, dan mereka juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun berkomentar:”Semoga Allah Swt memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah” (diriwayat oleh al-Suyuthi dalam al-Inshaf fi Asbabi al-Ikhtilaf, hal. 42).
Tentu saja imam Malik sangat faham, bahwa memaksakan isu-isu furu’iyah kepada seluruh penduduk negeri akan memancing perselisihan. Sebab, umat Islam ada yang menganut madzhab Hanafi.
Dalam Islam, kita mengenal dua dimensi agama, yaitu dimensi furu dan ushul. Dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan furuiyyah, para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dengan ta’ashub (fanatik) berlebihan jika terjadi perbedaan. Dalam hal ini, tidak ada tadlil (penyesatan), takfir (pengkafiran) dan tafsiq (menghukumi fasik) dan tabdi’ (pembid’ahan).
Beda hasil ijtihad di kalangan Sahabat juga tidak memicu saling penyesatan dan pengkafiran. Catatan pengkafiran seorang Sahabat terhadap Sahabat yang lain dalam bidang ijtihad, baik ijtihad politik atau fikih, tidak pernah ada. Tiada seorang pun saling menyesatkan. Karena semua pendapat Sahabat berdasar dari riwayat yang dipercaya. Mereka pernah terlibat dalam perselisihan cabang-cabang agama, namun mereka tidak pernah terlibat saling mengkafirkan dan menyesatkan.
Perselisihan dan perpecahan di internal kaum Muslimin disebabkan mereka terlalu kaku menyikapi perbedaan ijtihad dan disikapi secara fanatis. Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu akan membawa pada lingkaran kehancuran. Jidal dalam perkara tersebut merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin I/41). Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan.
Persoalannya sekarang, ketika ada dakwah yang mengedepankan perbedaan-perbedaannya dengan Muslim lainnya, maka di situ terjadi pertikaian. Kaum Muslim yang menjalankan ritual ibadahnya sesuai madzhab para imam Syafii atau para imam Hanafi misalnya, digugat lagi. Gugatannya pun dengan menyodorkan al-Qur’an dan hadis. Padahal, selama kaum Muslimin mengikuti madzhab imamnya, maka tidak boleh digugat dan diprotes. Sebab, semua imam madzhab tidak keluar dari al-Qur’an dan hadis.
Karena itu, dalam konteks ini, tidak tepat mengungkit-ungkit lagi ijtihad imam Syafii dan imam mujtahid lainnya. Apalagi mempermasalahkan dengan dalil perkatan Imam Syafii. Seperti ungkapan yang kerap kali kita dengar yaitu ”Jika telah shahih sebuah hadits, maka ia adalah madzhabku”. Sebetulnya ungkapan ini juga dikatan oleh para imam yang lain. Statemen ini pun juga tidak pernah memicu perselisihan.
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari pernyataan para imam mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki kapasitas dalam menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih, sehingga perlu didahulukan hadits shahih tersebut daripada pernyataan sang Imam?
Imam Nawawi menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan Imam Syafi’i, bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam madzhab”. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 1 hal.105)
Selanjutnya, Imam Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam prasangkanya didominasi bahwa Imam Syafi’i belum mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini tidak lain setelah menela’ah kitab-kitab Imam Syafi’i seluruhnya demikian juga kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga yang semisal dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit orang yang memiliki sifat tersebut.” (Imam Nawawi,Al Majmu’, 1 hal.105)
Perlunya syarat itu menurut Imam Nawawi, dikarenakan Imam Syafi’i sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau mengatahuinya dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil yang menunjukkan kecacatan, naskh, takhsis atau melakukan takwil padanya.
Gugatan biasanya dengan cara menghadap-hadapkan antara fatwa ulama dengan hadis Nabi. Ada sebagian Muslim yang terlalu kaku dalam mengambil hadis. Dzahir hadis langsung dipakai tahkim (penghukuman). Padahal, untuk menjadi sebuah produk hukum tidak cukup hanya bermodalkan hadis saja. Soal hukum ini wilayahnya ilmu fikih bukan ilmu hadis. dalam fikih, hukum dikaji dengan perangkat-perangkatnya seperti ushul fikih, tafsir, syarah hadis, dan lain-lain.
Mengambil dzahir hadis lalu digunakan untuk menggugat atau protes terhadap amaliyah umat yang lainnya inilah pemicu perselisihan. Karena itu, faham yang begini harus diperbaiki dan dinasihati. Selama ada tipe dakwah yang seperti ini, maka pertikaian tidak akan berhenti. Maka, perlu ada kerelaan untuk menghakhiri model berdakwah yang menggugat isu-isu furuiyyah ini.
Adapun jika perbedaannya itu menyangkut persoalan yang prinsip pokok (ushul), maka tidak bisa dibiarkan. Sebab, dalil-dalil yang jelas, dan pasti (qath’iy) dalam akidah tidak pernah berubah. Ajaran bahwa Nabi terakhir adalah nabi Muhammad Saw tidak pernah berubah. contoh jumlah shalat wajib juga tidak akan dikurangi atau ditambahi. Barang siapa yang mengubah, maka tidak boleh dibiarkan karena menyesatkan.
Karena itu, hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah. Untuk menghadapinya diperlukan kekuatan ukhuwah.
Jika diurai secara sederhana, masalah yang dihadapi umat sekarang hampir mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Imam al-Ghazali atau ketika berkecamuk perang Salib. Yaitu perpecahan karena soal politik, ekonomi, dan madzhab. Umat terbelah karena mereka fanatik terhadap afiliasi politiknya.
Salah satu ‘penyakit’ akut umat sedari dulu hingga kini adalah fanatisme. Virus fanatisme ini menyerang sudut-sudut umat. Karena itu alangkah baik jika mengambil pelajaran dari imam al-Ghazali.
Fanatisme itu hari ini bisa terhadap organisasi, lembaga, majelis ta’lim dan bahkan fanatik kepada ilmu yang dipelajari. Ta’assub terhadap ilmu adalah seseorang mencukupkan diri kepada satu ilmu saja yang ia pelajari. Ilmu fikih saja atau tafsir saja tidak cukup untuk menyelesaikan ‘sejuta’ persoalan umat.
Masalah umat bukan soal fikih saja, atau soal politik dan ekonomi saja. Tapi telah berakumulasi dalam satu problema besar. Maka, harus ada kerelaan dari ahli ilmu tertentu untuk melakukan ‘silaturahim ilmiah’ kepada ahli ilmu yang lain. Keengganan untuk ‘bersilaturahim’ ini melahirkan keangkuhan dan kesombongan. Inilah penyakit internal yang diperangi oleh Imam Ghazali pada zamannya.
Kebangkitan Islam, harus didasari oleh pemikiran dan akidah yang sehat. Dalam karya-karyanya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan. Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).
Oleh sebab itu, dia tidak mencari-cari alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan tanggung jawab atas segala keterpurukannya kepada kekuatan-kekuatan asing yang menyerang (Majid Irsan Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, hal.77). Intinya, umat Islam kalah, karena internal umat lemah dan rusak.
Reformasi umat yang dilakukan imam al-Ghazali bertujuan mengikis fanatisme dan membuka sekat-sekat antar umat Islam dengan cara membersihkan hati (tazkiyatu al-nafs). Maka, kita juga bisa menyimpulkan bahwa titik tolak reformasi Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan memulainya dengan islah al-dzati, reformasi pemikiran internal dan akidahnya. Tugas umat hari ini adalah memahami metodologi ulama dan memahami macam-macam perbedaan.Wallahu a’lam bis shawab

Last modified: 30/09/2015

One Response to :
Ikhtilaf Furu’ dan Isu Perpecahan Umat

  1. Abdullah awam says:

    Mungkin tulisan ini bisa dijadikan perbandingan:
    https://tulisansulaifi.wordpress.com/2019/03/04/perbedaan-pendapat-ulama-dan-perpecahan-umat/
    Baarakallaah fiikum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *