Antara Toleransi dan Memakai Atribut Non-Islam

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

Iraqi_christians_and_muslimsInpasonline.com-Sudah bertahun-tahun, menjelang hari Natal, beberapa perusahaan yang dikelola Kristen mewajibkan karyawannya untuk memakai atribut Kristen. Seperti topi sinterklas, kalung salib dan simbol-simbol lainnya. Alasannya menghormati hari raya non-Islam.

Persoalannya, dalam toleransi semestinya tidak boleh ada pemaksaan seperti itu. Justru yang memaksa itulah yang tidak toleran. Negeri ini mayoritas Muslim, namun jika yang terjadi non-Muslim ‘memaksa’ yang Muslim, maka ini tirani minoritas namanya. Katanya demokratis, tapi ada tirani. Jelas tidak bisa dibenarkan.

Dalam kamus Islam, toleransi bukanlah mengikuti ritual agama lain. Ikut ritual agama lain dengan segala atributnya dinamakan masuk ajaran sinkritisme. Harap diingat, arti toleransi berada pada wilayah sosial, bukan pada akidah atau melebur pada aspek fundamental. Toleransi adalah menghormati tanpa mengakui keimanan non-Muslim.

Membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi pluralisasi. Sedangkan term pluralisme tidak ada dalam kamus Islam.

Setiap Muslim yang beriman, harus komitmen dengan keyakinannya. Para ulama mendefinisikan iman dengan tiga pilar; pembenaran dalam hati (al-tashdiq bi al-qalb), pernyataan dengan lidah (al-iqrar bi al-lisan) dan perbuatan anggota tubuh (al-‘amal bi al-arkan).

Orang yang telah percaya (tashdiq) dianggap benar kepercayaannya jika kepercayaan itu diikuti dengan qabul (penerimaan), muwalah (kesetiaan), dan idh’an (ketundukan). Karena itu, seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak setia dengan ajaran Nabi bahwa Yahudi dan Nasrani kafir, maka pengakuannya otomatis batal.

Toleransi juga kadang dimaknai dengan kebebasan ala liberal. Inilah masalahnya. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’ versinya dengan menyodorkan al-Qur’an surat al-Baqarah: 256 yang berbunyi: “Laa Ikraha fi al-Dien” (tidak ada paksaan dalam beragama). Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis non-Islam. Bahwa, dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan yang mutlak untuk beragama, mencampur agama atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam, atau beragama non-Islam.

Padahal, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam. Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim).

Jadi, seorang bisa menjadi Muslim kaffah sekaligus toleran. Toleransi tidak perlu dengan ikut-kutan mengikuti ritual agama lain. Yang mewajibkan toleransi dengan cara sinkritis seperti itu orang liberal. Sumbernya dari cara pikir Barat sekuler. Sedangkan, sejarah sekuler Barat tidak kenal toleransi agama. Sebab, dalam sejarahnya mereka ‘memusuhi’ agama. Bagaiamana mungkin berkampanye toleransi agama, pada saat yang sama memusuhi agama itu sendiri. Ini jelas tidak logis.

Karena itu, Kemenetrian Tenaga Kerja seharusnya melindungi karyawan Muslim untuk tidak memakai atribut Natal. Baru-baru ini Menteri Agama telah memberi sinyal keluasaan itu. Dikatakan, bahwa seorang Muslim tidak perlu ikut-ikutan memakai atribut non-Islam khususnya pada perayaan Natal. Bahkan ia menganjurkan kepada perusahaan untuk tidak memaksa karyawan Muslimnya.

Dalam pandangan Islam, menyerupai pakaian kaum kafir dilarang. Pelarangan ini adalah untuk pakaian khas orang kafir, bukan pakaian umum. Yaitu pakaian yang menjadi identitas kekafirannya, dimana selain pemeluk agama itu tidak ada yang mengenakannya. Seperti misalnya, lambang salib yang menjadi khas agama Kristen, juga jubah yang khas hanya dipakai oleh pendeta dari suatu agama. Dan termasuk juga atribut yang mencirikan lambang dan simbol suatu agama, seperti topi khas para pendeta Yahudi. Bahkan, Syaikh al-Mulyabari memperingatkan, memakai pakaian identitas tersebut disertai melewati/memasiki rumah ibadah mereka bisa menyebabkan kekufuran (Irsyadul Ibad, 15). Maka, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum itu” (HR. Abu Daud ).

Last modified: 19/12/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *