Aceh dan Kontroversi Jejak Syi’ah

Written by | Pemikiran Islam, Sejarah Peradaban

Oleh: A. Kholili Hasib

SolokInpasonline.com-Membicarakan masuknya Islam ke bumi Nusantara, propinsi Aceh memiliki posisi yang paling sentral dan strategis dari pada daerah lainnya. Karena menjadi daerah yang dijajaki pertama kali oleh pendakwah Islam, maka Aceh disebut sebagai Serambi Makkah. Bahkan, dari propinsi Indonesia paling Barat ini, pernah dikirm tim dakwah ke pulau Jawa untuk menyebarkan Islam.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islam sudah ada di Sumatra sejak abad ke-9 M, bahkan kemungkinan abad ke-7 H sudah ada orang Arab yang mendakwahkan Islam. Para keturunan Arab dari kalangan Asyraf (keturunan Ali bin Abi Thalib) inilah menurut al-Attas yang mendirikan kerajaan Samudera Pasai. (Syed Muhammad Naquibn al-Attas, Historical Fact and Fiction).

Banyak catatan sejarawan yang menyebutkan Islam telah hadir di Sumatra. Pada masa Kekhalifahan Umayyah sudah belasa duta dikirim ke Cina. Para utusan khalifah Bani Umayyah ini sudah dipastikan singgah terlebih dahulu di Aceh yang dikenal sebagai pelabuhan penting pada zaman itu yang menghubungkan lalu lintas perdagangan Arab dan Cina. Meski begitu, para pendakwah yang datang ke Aceh dan daerah lainnya, adalah seorang dai yang dengan sengaja menyebarkan agama atas perintah khalifah. Beggy Rizkiansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa, dalam artikelnya berjudul Membedah Sejarah Syi’ah di Nusantara menulis bahwa dalam kitab Al-Iqdu al-Farid misalnya dilaporkan bahwa ada korespodensi antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan raja Sriwijaya. Dalam surat menyurat itu disebutkan ada perintah untuk mengirim dai ke Sumatra.

Identitas sebagai keturunan ahlul bait ini yang kemudian mengundang diskusi tentang apa madzhab pemikiran pendakwah Islam paling awal itu. Beberapa waktu lalu saya mendapatkan buku berjudul ‘Peran Ahlul Bait dalam Penyebaran Islam di Nusantara (Rausyan Fikr Institute,2013). Salah satu isu yang diangkat adalah penjejak Islam pertama kali di Aceh beraliran Syiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa Peurlak merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara berpaham Syiah. Yang kemudian melahirkan pemikir besar beraliran Syiah yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

 

Pendapat ini ternyata berasal dari Prof. A. Hasymi yang menulis buku Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Dalam buku ini ia menulis:

“Usaha mereka untuk mengislamkan Peureulak berhasil dengan baik sekali, di mana dalam waktu yang relative singkat sebahagian besar rakyat Peureulak telah masuk Islam dan pada hari Selasa tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) diumumkan proklamasi berdirinya Kerajaan Islam Peureulak, dengan raja yang pertamanya Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, turunan Arab-Quraisy, beliau menganut aliran politik Partai Syi’ah” (A. Hasymi, Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, hal. 46).

A Hasymi berpendapat, di Aceh telah terjadi perebutan antara Ahlussunnah dan Syiah. Menurutnya kelompok Ahlussunnah memberontak dan memenangkan yang akhirnya mengubah Peureulak menjadi kerajaan Sunni. Begitu pula menurutnya terjadi dalam Kerajaan Samudra Pasai. Dia menulis:

“Adalah satu hal yang logis, kalau saling rebut pengaruh dan kekuasaan antara Syi’ah dengan Ahlussunnah yang telah berkecamuk dalam Kerajaan Islam Peureulak dan Kerajaan Islam Samudra/Pase, berkelanjutan terus dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Masing-masing pihak mencoba mempengaruhi pimpinan negara dan selanjutnya kalau mungkin merebut kekuasaan” (hal. 49).

Akan tetapi, sayang sekali Prof. A. Hasymi tidak menunjukkan bukti ke-Syi’ah-an kerajaan Peureulak dan Samudra Pasai. Apa doktrin ajaran Raja dan hukum Islam yang diberlakukan tidak ada penjelasan sama sekali.

Ada sedikit keterangan yang masih ‘buram’. Yaitu dia menulis: ‘Adapun rombongan ‘Missi Islam’ yang dipimpin nakhkoad Khalifah semuanya orang Syi’ah, yang di Negeri Arab telah ditindas dan dikejar-kejar sejak Daulah Umawiyah dan sampai-sampai kepada Daulah Abbasiyah” (hal. 46).

Ada dua yang harus diklarifikasi. Pertama, identitas ke-Syi’ah-an keturunan ahlul bait yang datang ke Aceh ini beserta raja-rajanya. Kedua, Pemikiran tasawwuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Ada kemungkinan A. Hasymi keliru dalam membedakan antara keturunan ahlul bait Sunni yang dikejar-kejar kekhalifahan Umayyah dengan Syi’ah yang memasang platform madzhab ahlul bait.

Hal ini dapat ditelusuri dari bukti yang disodorkan hanya karena mereka bergelar ‘sayyid’, keturunan Ali bin Abi Thalib, dan dikejar oleh Bani Umayyah. Doktrin sentral Syi’ah yaitu imamah tidak dibuktikan dalam keterangannya.

Harus ditegaskan, ahlul bait sesungguhnya tidak identik dengan Syi’ah. Para imam yang diklaim Syi’ah merupakan keturunan ahlul bait berakidah Ahlussunnah. Sejak dahulu kala, aliran Syi’ah selalu membawa-bawa nama ahlul bait, dalam arti bahwa kaum Syi’ah –menurut asumsi mereka- adalah orang-orang yang mengikuti dan membela ahlul bait. Sedangkan umat Islam di luar Syi’ah, oleh mereka dianggap sebagai nashibi atau nawashib, yaitu orang-orang yang melakukan permusuhan terhadap ahlul bait.

Pada masa Daulah Umayyah tepatnya masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik terjadi persengkataan politik antara Hisyam dengan Zaid bin Ali Zainal Abidin (seorang sayyid keturunan Ali bin Abi Thalib). Zaid merupakan saudara Muhammad al-Baqir, seorang keturunan ahlul bait yang diklaim oleh Syi’ah sebagai imamnya. Sengketa ini bukan sebab persoalan akidah. Zaid dan Hisyam sama-sama berpaham Ahlussunnah. Hanya saja Hisyam salah satu raja yang otoriter. Khususnya terhadap para sayyid keturunan Ali Zainal Abidin.

Zaid bin Ali ini seorang Ahlussunnah tulen. Beliau merupakan guru dari Imam Abu Hanifah, salah seorang mujtahid fikih dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan, ketika terjadi perselisihan dengan Hisyam, Imam Abu Hanifah menunjukkan loyalitasnya kepada Zaid bin Ali. Imam Abu Hanifah pernah menyatakan dukungannya kepada Zaid. Ia berkata: “Keluarnya Zaid (dari pemerintahan Hisyam) menyamai keluarny          a Rasulullah Saw pada waktu perang Badar”. Atas sikapnya ini, Imam Ja’far al-Shadiq memuji Imam Abu Hanifah: “Semoga Allah Swt memberikan rahmat kepada Abu Hanifah. Kecintaannya kepada kami Ahlul Bait benar-benar nyata dalam pertolongan yang diberikan kepada kami” (Abu Zahrah, al-Imam Zaid Hayatuhu wa ‘Atsaruhu, hal. 72).

Terjadinya huru-hara dan fitnah kaum Syiah pada masa Dinasti Umayyah ini juga menjadi faktor banyak sayyid yang hijrah ke negara lain. Khususnya rombongan Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut Yaman. Di sini menurut informasi yang terpercaya beliau mengajarkan madzhab Syafii. Dari keturunan inilah lahir dai-dai yang menyebarkan ke Nusantara.

Prof. A. Hasymi juga menilai jejak Syiah ditemukan dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani. Dia menulis: ‘Dari uraian-uraian yang lalu, dapat dipahami bahwa pertentangan yang kian lama kian mendahsyat antara golongan Syi’ah dengan golongan Ahlussunnah, pada mulanya adalah berlatar belakang politik. Tetapi, lambat laun – seperti halnya di negeri Arab sendiri – latar belakang politik itu mengabur dan menonjol latar belakang akidah, thariqat, filsafat dan tasawuf, sekalian sekali-kali wajah politiknya menampakkan diri. Latar belakang “thariqat/filsafat” sangat menonjol setelah tampil ke arena Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Saymsuddin Sumatrani di satu pihak, dan Syekh Nuruddin Ar-Raniri serta Syekh Abdur Rauf Syah Kuala di pihak yang lain” (hal. 52).

Selanjutnya, secara khusus ditulis tentang Syamsuddin Sumatrani: “Sekalipun Syekh Syamsuddin Sumatrani seorang ulama beraliran Syiah yang menganut wahdatul wujud, namun dia tidak dapat mengembangkan pahamnya itu dengan mempergunakan kedudukan pentingnya dalam negara karena Sulthan Saidil Mukamil dan Sulthan Iskandar Muda mempunya kepribadian yang kuat di samping kebijaksanaan yang mengagumkan sebagai negarawan ulung, ditambah lagi karena Syekh Syamsuddin sendiri berpengetahuan dan berpaham luas”.

Jadi, anggapan Syiah terhadap dua sufi Aceh tersebut semata berdasarkan aliran pemikiran tasawufnya yang disebut beraliran ‘wujudiyah’. Tentu saja, alasan ini sangat lemah, serta tidak berdasar sama sekali.

Hamzah Fansuri sendiri dalam thariqah tasawufnya mengikuti thariqah Qadiriyah, thariqah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam aliran Syiah tidak pernah ditemuikan thariqah Syiah yang bernama Qadiriyah. Thariqah ini bermadzhab Ahlussunnah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani sendiri dalam kitab Al-Ghunyah,kitab yang menjadi panduan para pengikut thariqah berpendapat bahwa Syiah adalah aliran sesat. Kelompok ekstrim itu dijelaskan oleh Syaikh al-Jailani ada yang sampai ‘menuhankan’ saidina Ali. Adapula yang menganggap bahwa saidina ’Ali berkedudukan seperti nabi karena Malaikat Jibril salah ketika menyampaikan wahyu (Abdul Qodir al-Jailani, Al-Ghunyah li Tholibi Thoriqi al-Haqqi ‘Azza wa Jalla, hal. 180-181). Jadi, Syekh al-Jailani yang menjadi panutan Hamzah Fansuri menolak ajaran Syiah.

Tasawuf yang disebut dengan ‘wujudiyah’ juga bukan tasawuf Syi’ah. Litelatur Syiah tidak ada yang menerangkan aliran tasawuf ini, kecuali dari para sufi Sunni. Taftazani menyebut ‘wujudiyah’ sebagai tasawuf falsafi. Karena menggabungkan tasawuf dan falsafah yang mendalam tentang ontologi. Para ulama yang dirujuk oleh Hamzah Fansuri semuanya sufi Ahlussunnah wal Jamaah, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Jilli, Ibnu Arabi, Syekh Junaid al-Baghdadi, Jalaluddin al-Rumi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri di antaranya; ma’rifatullah,tajalliyat,al-wujud, dan lain-lain, dimana tidak ditemukan unsur Syiah di dalamnya.

Adapun pertentangan antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri bukan pertentangan antara aliran Syiah dengan Ahlussunnah. Nuruddin al-Raniri juga seorang sufi yang memiliki darah keturunan Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasani.

Dari segi ilmu tasawuf, al-Raniri memiliki dua jalur sanad tariqah. Pertama Sayyid Umar Al-Idrus, pemimpin tariqah Ba’alawi di India pada zamannya. Kedua, dia memiliki sanad Tariqah Rifaiyyah dan Qodiriyyah. Dia juga pernah belajar di Hadramaut, pusat dan tempat lahir tariqah Ba’alawi. Tariqah inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran Nuruddin al-Raniri.

Pendekatan dalam bentuk praktik tasawuf Ba’alawi ini memiliki keunikan daripada tariqah tasawuf lainnya. Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf imam al-Ghazali dan tariqah Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tariqah ini menjauhi hal-hal rumit yang bisa membingungkan Muslim awam. Untuk menghindari pemahaman yang keliru tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab yang rumit, termasuk kitab karya Ibnu Arabi. Terlebih lagi al-Raniri salah seorang fuqaha di Aceh. Di kalangan sebagian fuqaha ada larangan membaca karya Ibnu Arabi, karena bahasa yang digunakkan merupakan ‘tingkat tinggi’.

Karena itu, menghubung-hubungkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Syi’ah tidak memiliki bukti kuat. Namun, kita tidak memungkiri penganut Syi’ah juga datang ke bumi Nusantara termasuk di Aceh sejak zaman awal dakwah Islam. Akan tetapi tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan. Adapun adanya pengaruh Persia di Aceh tidak menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah. Sebab, pada zaman itu Persia mayoritasnya masih Sunni. Persia menjadi Syi’ah setelah Dinasti Shafawi yang beraliran Syi’ah berkuasa di sana baru pada abad ke-16 M. Karena itu, dalam sejarahnya Persia tidak selalu identik dengan Syi’ah. Adanya pengaruh Syi’ah lebih pada tataran kulit. Karena itu, tidak perlu berlebih-lebihan membicarakan pengaruh Syi’ah di Aceh. Kita harus menempatkan kenyataan pada tempatnya secara tepat.

Nah, sejak Dinasti Shafawi itu ada misi dan gerakan terencana menyebarkan Syi’ah. Azyumardi Azra berpendapat, pengaruh Persia terbatas pada hal-hal yang lebih bersifat lahiria, ketimbang kerangka gagasan keagamaan atau pandangan dunia tertentu yang fundamental. Dengan demikian, jelas Azra, agak naïf kalau orang berbicara tentang pengaruh paham Syi’ah di Nusantara (Azyumardi Azra, Syi’ah di Indonesia: Mitos dan Realitas dalam Islam Reformis. Dinamika dan Gerakan).

Walhasil, saat ini ada upaya yang cukup serius dari sarjana Syiah untuk ‘mencuri’ dan mengaburkan tokoh-tokoh besar Sunni. Upaya ini sudah sampai pada kajian-kajian akademis serius. Tujuannya adalah agar generasi berikutnya menilai bahwa jika lembar sejarah dibuka, maka yang ditemukan adalah Syi’ah bukan Sunni.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Last modified: 12/12/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *