Ideologi Sekular dalam Penggunaan Istilah ‘Holiday’

Written by | Opini

Oleh: Muhim Kamaluddin

A_happy-holidays-in-sandInpasonline.com –Kita tentu sering mendengar ungkapan “Sunday is holiday” atau plesetan lucu ala Joger “every day is holiday in Bali”. Dalam bahasa inggris, ‘holiday’ sering diartikan sebagai hari libur.

Secara etimologis holiday berasal dari kata holy dan day, dalam ejaan inggris kuno; hāligdæg,yang berarti hari yang suci. Menurut kamus ensiklopedi bahasa inggris, pada mulanya kata holiday hanya merujuk kepada hari istimewa keagamaan (Kristen).

Dalam penggunaan di masyarakat modern saat ini, holiday berarti semua hari untuk istirahat dan rileks dari kerja atau sekolah, sebagai lawan dari hari-hari normal lainnya. Pergeseran makna itu terjadi secara perlahan.

Sebelum abad ke 14 M, istilah ‘Holiday’ berarti hari yang disucikan dan aktivitas kesehariaan biasanya diliburkan untuk menghormati kesucian hari tersebut. Namun mulai abad ke 16, ketika sekularisasi lahir dari iklim renaissance Eropa, ‘Holiday’ mengalami divergensi makna. ‘Holiday’ tidak lagi selalu berhubungan dengan agama (Kristen), tetapi bisa bermakna hari besar kebangsaan, hari libur nasional dan lain sebagainya.

Sehingga ungkapan “Sunday is Holiday” jika kita baca dengan kaca mata manusia abad 14, berarti “hari minggu adalah hari yang suci (bagi umat kristen)”. Akibat sekularisasi, sekarang maknanya telah bergeser menjadi “hari minggu adalah hari libur”.

Bila kita menilik makna etimologis holiday sebagai hari yang istimewa, suci dan rutinitas diliburkan, kita sebagai umat Islam, tentu tidak sepakat apabila hari Minggu disebut sebagai hari yang dimaksud seperti di atas.

Karena bagi kita, hari minggu adalah sama dengan hari-hari lainnya, tidak memiliki keistimewaan khusus. Kekhususan yang dimaksud justru terletak pada hari Jum’at. Dimana pada hari Jum’at itulah, aktivitas ibadah umat Islam  banyak ditekankan, seperti sholat Jum’at, membaca surat kahfi, ziarah kubur dan lain sebagainya. Apalagi bila dikaitkan dengan budaya muslim Indonesia yang mengistimewakan hari Jum’at untuk membaca sholawat nabi, tahlil, istighosah ataupun yasinan. Maka cukup beralasan apabila umat Islam, menjadikan hari Jum’at sebagai hari suci sekaligus hari libur. Dengan sedikit plesetan, ungkapan populer di atas akan menjadi “Friday is holiday”.

Tentu saja hal tersebut tidak berpijak hanya berdasar rasional saja, tetapi juga berdasarkan nash terutama dari beberapa hadits nabawi tentang keutamaan hari Jum’at. Diantaranya hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) merupakan hari raya, Allah menjadikannya (pada hari Jumat) istimewa bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang akan mendatangi shalat Jum’at maka hendaklah dia mandi.” (Ibnu Majah)

Juga hadits yang menyatakan Jum’at sebagai sayyidul ayyaam. Hadits dari Abu Huroiroh ra. bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “tuannya hari-hari (sayyidul ayyaam) adalah hari Jum’at. Pada hari tersebut Adam (a.s) diciptakan, pada hari itu pula ia dimasukkan surga dan keluar dari surga. Tidaklah kiamat terjadi kecuali hari Jum’at”. (al-Hakim)

Dengan demikian, Jum’at sebagai hari istimewa dan penuh dengan berbagai kegiatan sunnah, kita perlu untuk meluangkan waktu khusus, tidak disibukkan dengan rutinitas kerja maupun sekolah.

Sedangkan apabila kita menjadikan hari minggu sebagai hari libur, baik disadari ataupun tidak, kita terseret arus sekularisasi. Akibatnya, umat Islam akan semakin menjauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Dengan demikian, banyak umat Islam yang sudah tidak tahu lagi apa itu Islam. Indikasi kearah tersebut nampak dari beberapa hal, diantaranya:

1. Banyaknya umat yang bolos sholat Jum’at. Jum’at sebagai hari efektif merupakan dilema tersendiri bagi umat Islam. Bagaimana tidak, akibat dari waktu sholat Jum’at yang berada diantara jam-jam sibuk, tidak jarang orang melewatkan begitu saja kewajiban sholat Jum’at. Orang yang memilih sholat Jum’at pun sangat terbatas waktunya karena mepetnya jam istirahat. Padahal dalam sejarah, para salafus sholih berangkat ke masjid pada hari Jum’at sejak waktu dhuha, bukannya ketika azan Jum’at baru berkumandang. Zaman dahulu, jika sholat Jum’at akan didirikan, pasar dan jalanan akan sepi karena orang berkumpul di masjid. Zaman sekarang, pasar, jalanan dan masjid sama-sama ramai. Dimasa mendatang, bukan tidak mungkin justru pasar dan jalananlah yang paling ramai dan mesjid menjadi sepi meskipun ibadah sholat Jum’at sudah waktunya dilaksanakan. Na’udzubillah min dzaalik.

Demikian pula dengan adat dan budaya seperti yasinan, tahlilan, ataupun diba’an, tidak akan berjalan baik. Dengan alasan esok hari harus kerja atau sekolah, banyak orang memilih tidak hadir dalam majlis-majlis yang dimaksud. Akibatnya, majlis-majlis yang penuh barokah akan sepi peserta. Pada akhirnya, adat dan budaya seperti yasinan, tahlilan, diba’an dan lainnya yang sudah dirancang oleh para ulama sejak berabad-abad yang lalu sebagai sabuk pengaman sosial masyarakat dan sekaligus pembendung arus kristenisasi, lambat laun akan hilang karena arus lain yang bernama sekularisasi. Lima atau sepuluh tahun yang lalu, setiap malam Jum’at, masjid-masjid dan surau-surau selalu ramai dengan berbagai kegiatan keagamaan. Kini fenomena tersebut sudah jarang kita jumpai lagi.

  1. Libur hari minggu diisi dengan kegiatan yang sia-sia bahkan cenderung negatif. Apa yang dilakukan orang jika libur pada hari minggu? Bersantai, piknik, atau hanya tidur dirumah. Ada juga gaya hidup yang mulai ngetren di kota besar; clubbing. Negara Jerman, sering dijadikan contoh ideal Negara maju. Tetapi tidak semua yang berlaku disana itu baik dan dapat dicontoh. Seperti kebiasaan orang jerman yang dikenal doyan mabuk. Tempat-tempat hiburan malam seperti bar dan diskotik akan ramai dengan pengunjung sejak sabtu petang. Semakin larut, pengunjung akan semakin ramai. Semalam suntuk mereka habiskan untuk mabuk-mabukan. Setelah itu mereka pulang dan tidur seharian sampai hari senin tiba. Fenomena seperti ini mulai menular di Indonesia, dimana diskotik klub malam yang mulai menjamur di kota besar akan penuh dengan pengunjung apabila malam minggu tiba. Demi menarik pengunjung, mereka akan membuat acara-acara spesial pada setiap akhir pekan dengan mengundang para dj dan penari khusus. Secara umum, tidak ada aktivitas keagamaan yang dapat mendekatkan seorang hamba pada Tuhannya. Sebagiannya malah aktivitas maksiat yang justru menjauhkan diri dari Allah.  Hal ini tentu akan berbeda jika Jum’at dijadikan sebagai hari libur. Malam Jum’at akan diisi dengan yasinan, tahlil, membaca maulid diba’ dan lain sebagainya. Keesokan harinya diisi dengan ziarah kubur dan sholat Jum’at. Semuanya merupakan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Jika memang demikian, arah kebijakan pembangunan nasional untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia seutuhnya yang bermartabat dengan dijiwai oleh sila ketuhanan yang Mahaesa telah berada di atas rel yang tepat.
    1. Menjadikan hari Jum’at sebagai hari efektif akan menurunkan produktivitas umat Islam. Sudah biasa di berbagai instansi pemerintah, terutama instansi pelayanan publik, terpampang pengumunan di dinding atau pintu; hari Jum’at pelayanan sampai pkl. 11.00. betapa banyak jam kerja dikorupsi. Anggaplah sekitar 4 jam waktu kerja hilang tiap pekan. Bagaimana bila keadaan ini berjalan bertahun-tahun?  Malangnya, sholat Jum’at dijadikan alasan penghambat produktivitas. Disadari atau tidak, kita tergolong berbuat zalim apabila beranggapan menjalankan syariat Islam dapat menghambat produktivitas kerja. Demikian halnya dengan siswa sekolah. Kita ambil contoh anak usia sekolah dasar, biasanya sehari terdapat enam jam pelajaran. Kecuali pada hari Jum’at, dimana hanya terdapat empat jam pelajaran. Tentu saja hal ini mengurangi waktu produktif yang potensial untuk belajar. Andaikata situasinya dibalik, Jum’at sebagai hari libur dan minggu sebagai hari kerja. Maka dapat dibayangkan hal-hal tersebut diatas tidak akan terjadi. Maka, menjadikan Jum’at sebagai hari libur justru akan meningkatkan produktivitas kerja bangsa Indonesia, yang mana mayoritas masyarakatnya adalah muslim.

Untuk beberapa alasan inilah, kita sebagai Muslim Indonesia sudah waktunya untuk berpikir ulang, lebih suka menjadi manusia bermartabat atau manusia lemah, lebih memilih menjadi manusia yang produktif atau kurang produktif, menjadi manusia yang terseret arus sekularisasi atau melawan arus sekularisasi?

Penulis adalah Pendidik, tinggal di Jombang

Last modified: 02/04/2014

One Response to :
Ideologi Sekular dalam Penggunaan Istilah ‘Holiday’

  1. Terimakasih banyak untuk postingannya, ini sangat bermanfaat sekali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *