Universalitas Wahyu dan Kenabian: Counter-Argumen Pluralisme Agama (I)

Written by | Pemikiran Islam

Yang sangat menarik, dan rasanya sangat perlu dicermati secara seksama, adalah bahwa praktik-praktik penuhanan-peribadatan semacam ini begitu pervasive, universal dan tidak mengenal sekat-sekat ruang dan waktu. Oleh para pakar perbandingan agama, fenomena ini biasa dikenali sebagai sensus numinis (naluri keberagamaan) yang jamak ditemukan di semua lapisan komunitas manusia, dan oleh karenanya juga sering disebut sui generis, sensus communis, dan religio naturalis.[i] Namun pertanyaan yang segera mencuat ke permukaan dan mengusik kesadaran kritis kita adalah bagaimana dan dari mana naluri yang demikian pervasive dan universal ini muncul? Adakah ia lahir dan muncul dengan begitu saja, atau ada sebab-sebab di belakangnya? Para sarjana modern berusaha mencoba menjelaskan fenomena ini dengan mengajukan beberapa teori (yang disebut-sebut) “ilmiah”, yang paling menonjol diantaranya adalah (i) psikoanalitis a la Freudian, yang menunjuk kepada faktor psikologis individu manusia yang lemah dan powerless sebagai peyebab utamanya;[ii] dan (ii) sosio-antropologis a la Durkheimian yang mengidentifikasi faktor sosiologis sebagai penyebab utamanya.[iii] Tapi dalam kenyataannya, di samping gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, justeru kedua teori ini malah menyisakan sejumlah pertanyaan baru yang tentu saja tak mudah dijawab.

Logikanya sebetulnya sangat sederhana. Oleh karena masalah ini adalah masalah agama, maka sebetulnya yang berkompeten menjelaskannya adalah agama itu sendiri, dan bukan pihak-pihak yang sejak semula memang tidak interest pada agama atau netral agama (sekular), bahkan tidak ada niat baik terhadap agama. Namun sejauh yang dapat ditelisik dari agama-agama yang ada, hanya Islam yang memiliki konsep yang jelas dan selaras dengan logika untuk menjelaskan masalah ini secara begitu meyakinkan. Dalam perspektif Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah SWT kepada setiap individu semenjak masih berada di alam ruh, ketika manusia masih jauh berada dalam blueprint (cetak-biru) ilahi atau yang bisa disebut juga archetypal world, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-A’raf: 172.

Dari ayat ini jelas bahwa naluri keberagamaan, bahkan peng-esa-an Tuhan (tawhid) ini berasal dari sebuah perjanjian primordial (primordial covenant) yang diteken setiap individu di depan Allah SWT, yang isinya adalah pengakuan seorang hamba atas rububiyyah Allah SWT semata bagi dirinya sendiri dan sekalian alam. Sehingga ketika ia benar-benar dilahirkan ke alam dunia nyata, naluri ini sudah melekat secara fitrah pada sang jabang bayi secara otomatis. Inilah yang dinyatakan secara tegas dalam sebuah Hadith Nabi, yang artinya “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”.[iv] Namun seperti disebut secara kategoris dalam Hadith ini pula bahwa berbagai bentuk pembelokan atau penyimpangan sensus numinis dari yang tawhidi atau fitri ini menjadi praktik-praktik penuhanan-peribadatan semacam di atas tadi sangat mungkin terjadi; dan itu semua terjadi akibat faktor-faktor kesejarahan dan lingkungan sosial seseorang, dimulai dari kedua orang tua (di atas) atau pihak-pihak yang mewakili orang tua, sampai jaringan sosio-kultural yang sangat kompleks.

Tentu saja praktik-praktik penuhanan-peribadatan semacam itu sangat mencoreng harkat dan martabat manusia atau nilai-nilai kemanusiaan, yang sekaligus merendahkan martabat Tuhan itu sendiri yang maha transenden. Dan tentu saja pula praktik-praktik seperti ini tidak hanya telah sangat melenceng jauh dari, tapi bahkan berlawanan secara diametris dengan, blueprint ilahi ketika pertama kali menciptakan makhluk yang bernama manusia. Sebab sesuai dengan blueprint ilahi ini, manusia diciptakan untuk tujuan yang sangat agung dan suci, yang tiada lain adalah untuk mengemban amanah melaksanakan “kehendak ilahi” (Divine Will) pada diri mereka sebagai khalifah Allah  swt. di bumi jagat raya.[v] Raison d’être manusia ini lebih jauh menyangkut tugas-tugas membangun dan membina kemakmuran dan peradaban di bumi, atau tatanan dunia yang makmur, adil dan beradab yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, sebagaimana diungkap dalam surat Hud: 61: (Dialah yang menjadikan kalian dari bumi dan menghendaki kalian memakmurkannya). Dan kesemuanya itu tiada lain adalah sebagai pengejawantahan penghambaan (ubudiyyah) sepenuhnya kepada Allah  swt. saja (Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku).[vi]

Maka oleh karena itu, Allah SWT, Tuhan dan Pencipta sekalian alam, dengan kebijakanNya yang maha luas, tak terbatas dan maha meliputi serta universal, telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fi ahsani taqwim);[vii] dan membekali mereka dengan segala potensi yang memungkinkan mereka melaksanakan tugas suci tersebut dengan sebaik-baiknya; serta menyisipkan dalam diri mereka apa yang bisa disebut di atas sebagai sensus numinis (naluri keberagamaan), yang dengannya mampu mencapai hakikat relijiusitas yang benar, yang pada dasarnya telah ditanamkan oleh Allah  pada dirinya semenjak lahir, yaitu “agama fitrah” atau “agama alami”. Bahkan dikarenakan begitu melekatnya naluri ini dalam fitrah manusia, Al-Faruqi menganggap sensus numinis ini sebagai “prerogatif” manusia.[viii] Kemudian logika seterusnya yang sealur dengan konsep ini adalah, untuk menjaga dan mengawal kontinuitas sensus numinis yang tawhidi, fitri lagi universal ini, Allah SWT kemudian mengutus serangkaian para nabi dan rasul dengan wahyu dan risalah sepanjang zaman.

Perspektif tawhidi ini, secara logis meniscayakan kesatuan perantara atau sarana bagi manusia yang dengannya dimungkinkan mengenal Allah  s.w.t. termasuk kehendak dan iradah-Nya serta sunnah-sunnah-Nya di alam semesta ini, begitu juga yang dengannya dimungkinkan mengenal sebab-sebab atau faktor-faktor yang menjamin kebahagiaan, ketenteraman, kesejahteraan, dan keselamatan (salvation) bagi manusia. Sarana tersebut baik yang langsung lewat wahyu (dalam arti teknis) ataupun tidak langsung lewat ilmu pengetahuan atau observasi ilmiah (wahyu dalam arti generik). Dengan demikian, wahyu langit tidak menjadi monopoli kelompok atau umat tertentu, melainkan merupakan suatu rahmat yang dihadiahkan kepada seluruh manusia. Dengan kata lain fenomena wahyu dan kenabian adalah umum dan universal atau berlaku di seluruh masyarakat manusia tanpa kecuali. Sebab, menurut perspektif tawhidi, Tuhan-nya manusia (Allah) tidak mungkin membiarkan suatu golongan manusia hidup dalam kesesatan, tetapi dengan rahmat-Nya yang menyeluruh Ia telah menurunkan kepada mereka, melalui para nabi dan rasul, sebuah petunjuk keimanan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan dan api neraka. Allah  berfirman:

 (Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan). (Fatir:24);

juga Allah  berfirman:

 (Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah  (saja), dan jauhi Taghut). (Al-Naml:36);

juga Allah  berfirman:

 (Kemudiaan Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturu-turut). (Al-Mu’minin:44);

juga Allah  berfirman:

 (Dan bagi tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul). (Yunus:47)

Alasan logis di balik pengutusan seorang rasul atau nabi kepada mereka tersebut tidak lain agar manusia tidak lagi berargumentasi dan membantah Allah  untuk tidak beriman kepada-Nya serta tidak menyembah-Nya. Allah berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah  sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Nisa’:165). Maka dari itu, sebagai konsekwensi logis juga, suatu kaum yang belum diturunkan seorang rasul kepada mereka tidaklah dituntut tentang ketersesatan mereka, dan mereka tidak akan mendapat siksaan di hari kemudian.[ix]

Kemudian, oleh karena Allah s.w.t. juga tidak menyebutkan jumlah rasul yang diturunkan-Nya kepada manusia secara definitif,[x] maka perspektif tawhidi Islami ini telah membuka pintu universalitas dengan seluas-luasnya, untuk bisa mengakomodasi seluruh komunitas manusia, baik yang dikisahkan dalam al-Qur’an maupun tidak.[xi] Dengan demikian, semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, mempunyai jatah yang sama dalam hal wahyu ilahi. Mereka semuanya sama bahwa suatu ketika, dalam penggalan sejarah tertentu, pernah menjadi obyek dari, meminjam istilah Al-Faruqi, “ittsalat samawiyyah” (komunikasi-komunikasi langit).[xii] Dengan demikian, perspektif tawhidi Islami telah meletakkan fondasi universal yang lebih jauh bagi wahyu ilahi yang tak ada bandingannya sepanjang sejarah.[xiii]

Ini yang berkenaan dengan sarana langsung (wahyu verbal) untuk mengenal Allah, kehendak dan sunnah-sunnah-Nya di dalam kosmos. Adapun yang berkenaan dengan sarana yang tidak langsung (wahyu non verbal), yakni yang beroperasi melalui daya nalar dan observasi ilmiah, maka sejatinya Allah s.w.t., dengan kasih sayang-Nya yang maha luas, telah menyediakan kepada setiap manusia, tanpa kecuali, segala sesuatu yang memungkinkannya melakukan hal tersebut, berupa potensi-potensi alamiah dan segala pranata dan prakondisi fundamental yang diperlukannya. Yaitu panca indera, intellectual curiosity, keinginan kuat untuk meneliti dan eksplorasi, tersedianya data yang melimpah, termungkinkannya pemindahan eksperimen, daya ingatan, akal, pemahaman atau kemampuan mencerna untuk melahirkan ilmu dan mengembangkannya, dsb. Semua manusia, secara individu maupun kolektif mempunyai potensi-potensi tersebut, dan tidak satupun umat atau golongan yang dapat mengklaim dirinya lebih berhak memilikinya secara eksklusif dibanding yang lain. Bahkan setiap manusia, semenjak saat kelahirannya, telah dibekali dengan kesiapan-kesiapan dan potensi-potensi yang diperlukan untuk pengetahuan tersebut. Jika memang demikian, maka seharusnya manusia menggunakan potensi-potensi tersebut sesuai dengan fungsinya yang benar dan cara-cara yang semestinya. Yakni untuk sampai pada ilmu yang benar (haqq) dan menguak rahasia-rahasia atau hukum-hukum yang diletakkan Allah swt. di dalam alam semesta atau kosmos ini.[xiv] Sebab hakikat substansi ilmu pengetahuan sejatinya tiada lain adalah hukum-hukum ini, yang kini dikenal dengan hukum-hukum alam.

Nah, dalam hal pengetahuan ilmu alam ini, tampak dengan gamblang bahwa semua manusia persis sama posisinya. Perbedaan yang mungkin ada hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan dengan bakat-bakat pribadi yang fitri yang bisa saja berbeda di antara kaum Muslimin sendiri, dari orang satu ke orang lain, sebagaimana keberbedaan yang ada di antara individu-individu non-Muslim. Namun dari segi potensi dasar semuanya sepenuhnya sama. Maka jelas sekali, bahwa perbedaan di sini sama sekali tak ada hubungannya dengan memeluk atau tidak memeluk Islam, meskipun memeluk Islam tentu ada nilai tambahnya. Bukankah mereka adalah yang dimaksudkan dalam ayat-ayat seperti:

 (Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?). (Fussilat:53);

(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah  turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan). (Al-Baqarah:164);

 (Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparka?) (Al-Ghashiyah:17-20).

Persamaan universal dalam hal kemampuan atau potensi alami manusia untuk mengenal dan mengungkap kehendak Allah  swt. dalam ciptaanNya, sebetulnya adalah merupakan suatu hal yang diniscayakan kehendak Allah  itu sendiri. Mengapa demikian? Karena kehendak ilahi yang di luar jangkauan pemahaman dan persepsi manusia, maka nasibnya, kata Al-Faruqi, satu di antara dua: ditolak sama sekali atau diterima dengan buta. Kedua-duanya jelas menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti itu kehendak ilahi tidak atau belum terwujud, atau terwujud tapi tidak sampai pada tingkat yang semestinya.[xv] Dan hal ini tentu berseberangan atau tidak sejalan dengan kesempurnaan Allah  swt.[xvi]

Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa perspektif tawhidi Islami telah meluaskan konsep wahyu ilahi hingga menjadi universal dan bersifat komprehensif yang mencakup seluruh manusia, dan tidak khusus hanya pada golongan-golongan tertentu saja. Dengan demikian, semua manusia sebenarnya dari segi fitrah dan tabiatnya bertemu dalam satu agama yang sama yaitu “agama alami” (natural religion),[xvii] “agama fitrah” atau agama “Islam universal”, yaitu yang akan kita bicarakan dalam bagian berikut.

 


[i] Lihat misalnya: Rudolf Otto, The Idea of the Holy: An Inquiry into the non-Rational Factor in the Idea of the Divine and Its Relation to the Rational, trld. into the English by John W. Harvey (Harmondsworth, Middlesex, Victoria: Penguin Books, [1917] 1959); Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, diedit oleh Ataullah Siddiqui (Leicester: The Islamic Foundation, 1998M./1419H.).

[ii] Lihat: Sigmund Freud, The Future of an Illusion, trld. into English and edited by James Stracey, with a biographical introduction by Peter Gay. (New York : Norton, c1989), dan Totem and Taboo, trld. into English by James Stracey (London : Ark Paperbacks, 1960).

[iii] Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trld. into English by Carol Cosman (Oxford: Oxford University Press, c2001).

[iv] H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.

[v] Lihat: al-Baqarah:30.

[vi] Al-Dhariyat:56.

[vii] Lihat Al-Tin:4; juga Ghafir:64; Al-Taghabun:3; Al-Sajdah:9.

[viii] Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hal. 137.

[ix] Lihat: Al-Isra’:15.

[x] Lihat: Al-Nisa’:164 dan Ghafir:78.

[xi] Cf. Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy, hal. 188. Dari sini nampaknya diperlukan meninjau kembali beberapa terminologi yang tidak sesuai dengan perspektif tawhidi tentang wahyu di atas, seperti term “ahl al-kitab” dan “agama samawi”, yaitu dengan memberikan pengertian yang lebih luas atau merombaknya.

[xii] Ismail R. Al-Faruqi, Huquq Ghair al-Muslimin fi al-Dawlah al-Islamiyyah: Al-Awjuh al-Ijtima’iyyah wa al-Thaqafiyyah,’ dalam Al-Muslim al-Muasir, 264, 1981, hal. 23; Cf. ———, Islam and Other Faiths, hal. 135.

[xiii] Ismail R. Al-Faruqi, Huquq Ghayr al-Muslimin,’ hal. 23.

[xiv] Mengenai hukum-hukum alam ini, lebih lanjut cermati ayat-ayat al-Qur’an berikut: Al-Qamar:49; Al-Talaq:3; Al-Furqan:2; Al-Muzzammil:20; Al-Mursalat:23; Fussilat:10; Yasin:39.

[xv] Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hal. 136-7.

[xvi] Cermati firman-firman Allah swt. berikut: {والله يحكم لا معقب لحكمه} (Al-Ra’d:41); juga {فعال لما يريد} (Al-Buruj:16); juga {وكان أمر الله مفعولا} (Al-Ahzab:37). Lihat: Isma’il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, hal. 136-7.

[xvii] Al-Faruqi, Ismail R., Huquq Ghayr al-Muslimin, hal. 23.

Last modified: 30/05/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *