“Prinsipnya kami menyambut baik undang-undang ini dengan segala kelemahannya, apalagi pembahasannya sudah lama dilakukan, lebih dari tiga tahun,” kata Juwaini. Ia memberikan catatan, pada pasal 18 dinyatakan bahwa lembaga amil zakat yang didirikan syaratnya harus berasal dari ormas Islam. Padahal, lembaga yang ada sekarang tidak dari ormas Islam.
Bila ingin diakui maka lembaga amil zakat seperti Dompet Dhuafa, kata dia, harus mengubahnya menjadi ormas dari status yang selama ini sebagai yayasan. Ia yang hadir saat pengesahan mengatakan, pasal ini dipermasalahkan oleh sejumlah anggota DPR yang hadir dalam paripurna. Hingga akhirnya rapat diskors selama sekitar 15-30 menit.
Akhirnya itu tak diubah dan dalam peraturan peralihan ditetapkan kesempatan lima tahun untuk penyesuaian yang semula hanya setahun. Juwaini mengatakan, kalau harus menjadi ormas mungkin agak berat. Ia berharap, peraturan pemerintah (PP) dari undang-undang akan menjadi solusi. Artinya, akan ada pengaturan lebih perinci termasuk mengenai lembaga amil zakat harus dari ormas.
Ia mengatakan, FOZ berencana menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang mungkin bisa diakomodasi lewat badan amil zakat nasional (Baznas) yang akan menjadi koordinator. Mungkin saja, tambah dia, pihaknya mengajukan uji materi atas pasal-pasal yang dianggap tak sesuai dengan semangat peningkatan pengelolaan zakat di Tanah Air.
Menurut Juwaini, sebaiknya undang-undang baru yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dilaksanakan terlebih dahulu. Sehingga, pengelolaan zakat dapat pula berjalan dengan lebih baik. Anggota Fraksi PKS Mardani menyatakan, UU Zakat seharusnya lebih menghargai kemandirian lembaga amil zakat yang banyak tersebar di Indonesia.
Mereka tak perlu menjadi ormas atau berafiliasi pada badan zakat tertentu karena sudah sejak lama beroperasi menyalurkan zakat dengan baik. Dia mencontohkan lembaga amil zakat yang tersebar di bank-bank.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Chairun Nisa mengatakan, semoga sistem perzakatan akan semakin baik dan mak simal dengan berlakunya UU Zakat. Ia juga yakin, Baznas sebagai koordinator mampu mengelola zakat dengan trans paran dan profesional.
Dr. Irfan Syauqi Beik, koordinator Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB mengatakan ada tiga isu utama yang mengemuka ketika usulan amandemen UU ini muncul ke publik. Yaitu, zakat se bagai kredit pajak, sanksi muzakki, dan penataan ke lembagaan. Namun demikian, dari dinamika yang ada, maka untuk dua isu yang pertama, tidak ada perubahan antara UU lama dengan RUU yang baru. Sehingga, zakat tetap menjadi pengurang penghasilan kena pajak ( tax expense) dan muzakki yang tidak memenuhi kewajibannya tidak dikenakan sanksi. Perubahan yang signifikan justru terjadi pada isu yang ketiga, yaitu penataan kelembagaan pengelola zakat.
Pada penataan kelembagaan ini, ada sejumlah perubahan mendasar yang terjadi. Pertama, pada RUU yang baru ini, peran BAZNAS menjadi semakin diperkuat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan pada Bab II Pasal 5 hingga Pasal 17 RUU Pengelolaan Zakat. Penguatan ini antara lain dicirikan oleh posisi BAZNAS sebagai lembaga pemerintah non struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden melalui Menteri Agama, posisi BAZNAS sebagai operator dan koordinator organisasi penge lola zakat, dan hubungan struktural antara BAZNAS di tingkat pusat, provinsi hingga kota/kabupaten.
Kedua, dari sisi kepengurusan, berdasar kan RUU ini, BAZNAS beranggotakan 11 orang komisioner yang terdiri dari delapan unsur masyarakat dan tiga unsur pemerintah. Berbeda dengan sebelumnya, dimana kepengurusan BAZNAS terdiri dari Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Khusus untuk unsur masyarakat, para komisioner ini ha rus mendapatkan pertimbangan DPR. RUU ini juga memberikan kewenangan yang lebih luas bagi BAZNAS untuk mela kukan koordinasi antar lembaga pengelola zakat. Sehingga, BAZNAS memiliki ke we nangan untuk gmemaksah terjadinya sinergi BAZ dan LAZ, baik pada tataran penghimpunan, pendayagunaan, maupun pelaporan dan pertanggungjawaban dana ZIS.
Ketiga, penataan kelembagaan ini juga berimplikasi terhadap pengetatan pendirian LAZ oleh masyarakat. Tidak bisa seseorang atau sekelompok orang mendirikan lembaga amil zakat secara sembarangan. Tujuan dari pengetatan ini antara lain adalah untuk menertibkan lembaga-lembaga yang tidak jelas asal-usulnya, yang terkadang hanya muncul pada momen-momen tertentu, seperti pada bulan Ramadhan saja. Padahal dari sisi program maupun akuntabilitasnya, lembaga-lembaga ini sangat tidak jelas. Setiap penyalahgunaan dana zakat akan berdampak pada tindakan hukum, dengan ancaman denda maupun pidana penjara. Sanksi hukum pa da RUU ini lebih berat bila dibandingkan dengan sanksi hukum pada UU No 38/1999.
Keempat, dari sisi pertanggungjawaban, BAZNAS wajib melaporkan seluruh kegiatannya secara terbuka dan transparan kepada Presiden melalui Menteri, DPR dan publik secara umum. Adapun LAZ, disamping mempertanggungjawabkan kepada publik, juga wajib melaporkan kegiatannya pada BAZNAS. Yang menarik, disamping audit keuangan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana ZIS, BAZNAS dan LAZ juga wajib diaudit dari sisi syariah. Apakah program-programnya telah memenuhi ketentuan syariah atau justru melanggar syariah. (republika/Kartika Pemilia)