Adab Berpolitik Menurut Imam al-Ghazali
Pengantar
Di tengah ketegangan perpolitikan nasional dan regional, kita bisa menangkap bahwa bahwa politik kita telah kehilangan adab (loss of adab). Berkaitan dengan politik beradab ini, maka Imam al-Ghazali cukup tepat ditempatkan sebagai cermin. Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan kepakaranya dalam berbagai bidang ilmu. Di zaman Imam al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan, perpecahan umat dan krisi ulama’. Al-Ghazali melihat, problem itu bermuara dari krisis keilmuan. Oleh sebab itu, kritik Imam al-Ghazali ditujukan kepada para ulama’ sebagai pengemban ilmu. Kedzaliman ilmu telah membuat krisis epistemologis yang berujung kepada lemahnya umat melawan kekuatan-kekuatan asing, termasuk kekalahan dalam perang salib[1]. Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah. Selain memperbaiki problem epistemologis, imam al-Ghazali juga mempunyai misi misi mempersatukan umat dalam satu bendera akidah, membuang fanatisme kesukuan dan nasionalisme sempit.