Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Abu Nawas punya doa yang fenomenal. Doa itu telah lebih dari 10 abad menginspirasi banyak orang di banyak negeri. Sementara, di negeri ini, doa Muhammad Syafi’i di Sidang MPR 16 Agustus 2016 juga fenomenal karena menuai aneka respon. Terkait itu, terbit tanya: Seberapa besar daya gugah sebuah doa?
Berkah Doa
Banyak kisah bagaimana sebuah doa bisa mempengaruhi si pendoa atau pendengarnya. Pengaruh itu bahkan bisa melintasi negeri dan generasi. Lihatlah doa Abu Nawas yang fenomenal ini: “Duhai Tuhanku. Aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku karena Engkau-lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.”
Sambil menunggu waktu shalat, doa Abu Nawas itu rutin mengalun syahdu dilantunkan jamaah di banyak Mushalla atau Masjid. Meski telah berumur lebih dari 10 abad, tampaknya doa itu akan terus menginspirasi (www.republika.co.id 01/03/2009).
Sekarang, bagaimana di sekitar kita? Alkisah, sebuah ormas pelajar menyelenggarakan Latihan Kepemimpinan untuk beberapa hari. Di sebuah malam, acara itu diakhiri dengan “Doa / Renungan Malam”. Di antara isinya: “Islam itu agama dakwah dan semua Muslim berkewajiban menjadi pendakwah sesuai kapasitasnya masing-masing. Andai sendirian-pun, kami harus tetap berdakwah. Juga, meski harus mempertaruhkan nyawa sekalipun. Maka, Yaa Allah, kuatkan kami andai di suatu saat harus tandang gelanggang walau seorang….. Yaa Allah, jangan biarkan kami kembali pulang sebelum memenangkan jihad – amar makruf nahi munkar.”
Banyak peserta yang tersentuh. Kelak, banyak di antara mereka yang lalu benar-benar bisa “menghidupkan” isi doa itu. Sebagian mereka menjadi aktivis dakwah yang militan, sebagian yang lain menjadi politisi yang istiqomah menyuarakan aspirasi umat Islam, dan contoh-contoh lain yang serupa.
Sekarang di fragmen yang berbeda, di acara penutupan –semisal- Kursus Pendalaman Agama. Setelah sekian kali pertemuan, diakhirilah kursus itu dengan “Doa – Muhasabah”, sebuahrenungan kontemplatif -sebuah introspeksi yang jujur, atas apa yang kita kerjakan selama ini. Misal, lewat muhasabah itu, kita ungkap apa yang telah dikerjakan mata kita, dan seberapa siap kita mempertanggungjawabkannya kepada Allah?
Juga, bagaimana dengan lisan? “Oh, bukan tak mungkin dari lisan kami ini pernah keluar ucapan “Ah!” kepada ibu kami yang lalu bisa berakibat fatal yaitu tersematnya predikat anak durhaka kepada kami. Oh, bukan tak mungkin lisan kami ini pernah berucap bahwa berbusana menutup aurat adalah sebuah kewajiban. Tapi, ternyata, sampai detik ini busana kami tetap seperti kaum jahiliyah yang ke mana-mana pamer aurat. Yaa Allah, maafkan kami atas perlakuan tak berbudi kepada ibu serta tak samanya antara kata dan perbuatan”.
Doa itu menyentuh banyak peserta. Ada catatan, bahwa setelah acara berakhir, banyak di antara peserta Kursus Pendalaman Agama itu yang lalu benar-benar bisa “menghidupkan” isi doa tersebut. Bagi yang sebelumnya suka bersikap kurang hormat dengan ibunya, kini berubahmenjadi santun. Bagi yang wanita –yang dulunya tak berjilbab-, kini berkerudung rapi menutup aurat.
Apa yang hendak disimpulkan dari dua ilustrasi di atas? Pertama, kita memang harus rajinberdoa sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Isi doa tentang yang baik-baik dan yang paling kita butuhkan. Doa bisa dalam bahasa yang kita mengerti. Kedua, terbukti, doa bisa memiliki fungsi lain yaitu sebagai pemberi nasihat dan penggugah kesadaran bagi si pendoa maupun yang mengamininya.
Sekarang, mari kita ingat sebagian doa di Sidang Paripurna MPR RI 2016 pada 16/08/2016. Kala itu Muhammad Syafi’i -anggota DPR RI- mendapat amanah untuk memimpin doa. Maka –tanpa teks- berdoalah dia. Berikut ini sebagian doa itu.
“Yaa Rahman! …. Betapa hukum kami seperti mata pisau yang hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas sehingga mengusik rasa keadilan bagi bangsa ini./ Wahai Allah! Memang semua penjara over capacity, tapi kami tidak melihat ada upaya untuk mengurangi kejahatan karena kejahatan seperti diorganisir. …. Kami tahu pesan dari Sahabat Nabi-Mu, bahwa kejahatan-kejahatan ini bisa hebat bukan karena penjahat yang hebat, tapi karena orang-orang baik belum bersatu, …. atau belum mendapat kesempatan di negeri ini untuk membuat kebijakan-kebijakan baik yang bisa menekan kejahatan-kejahatan itu./ …. Jauhkan kami, Yaa Allah, dari pemimpin yang khianat – yang hanya memberikan janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, yang kekuasaannya bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat./ Allah, kalau ada mereka yang ingin bertaubat, terimalah taubat mereka! Tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik di negeri ini…”/
Atas doa tersebut banyak yang mengapresiasinya. Pertama, materi yang disampaikan di doa itu -seperti soal pelaksanaan hukum yang belum berkeadilan, tentang penggusuran atas rakyat kecil, masalah pencapaian kesejahteraan sosial yang masih jauh-, dirasa memang benar adanya. Kedua, materi yang diungkap dan sekaligus dimintakan jalan keluarnya kepada Allah dirasakan bisa mewakili aspirasi dari rakyat banyak. Ketiga, terkait yang pertama dan yang kedua, isi doa tersebut diharapkan bisa menjadi nasihat bagi pihak-pihak yang terkait.
Bahwa doa itu berhasil mendongkrak kesadaran kolektif masyarakat, dapat dilihat dari banyaknya pernyataan yang mengapresiasinya. Lihat saja, antara lain, berbagai komentar positif di media sosial. Namun demikian, apakah doa itu akan meraih fungsi nasihatnya kepada pihak-pihak terkait, kita tunggu bersama-sama.
Katakan, Katakan!
Alhasil, perlu kiranya kita memperbanyak orang-orang yang semisal Muhammad Syafi-i, yang bisa menggugah kesadaran kolektif lewat doa yang disampaikannya. Sungguh, kapanpun, katakanlah –termasuk lewat doa- yang haq itu haq sekalipun itu pahit. []