maudhu

Studi Al Qur'an & Al Hadits

Hukum Meriwayatkan dan Menyebarkan Hadits Maudhu’

Oleh Bahrul Ulum

    Hadits maudhu’ berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar).[i] Kata al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu  telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.

Inspirasi

Al-Bukhari, Paling Unggul di Tengah Kritik

Oleh Kholili Hasib*

Al-Jami' al-Shahih atau yang dikenal dengan Kitab Shahih al-Bukhari adalah kitab hadis yang menduduki peringkat pertama di antara al-Kutub al-Sittah (enam kitab hadis yang menjadi referensi). Sebab, hadis-hadis dalam kitab Bukhari terbukti secara ilmiah memiliki tingkat validitas yang tinggi.

Walaupun demikian, beberapa golongan mengkritik, menghujat dan menolak hadis Bukhari, sebagian atau seluruhnya. Alasan penolakan mereka bermacam-macam. Ada yang menolak ketidaksempurnaan hadis tersebut, tidak yakin dengan hukum-hukumnya, ada yang skeptis dengan memandang dari sifat kemanusiaan al-Bukhari, yaitu manusia biasa, yang bisa salah dan lalai.

Para ulama’ sepakat menempatkannya pada posisi istimewa. Imam Ibnu Shalah dalam Musthalahul Hadisnya memuji Shahih Bukhari dengan julukan “Kitab paling shahih setelah Al-Qur'an”. Diakui sebagai kitab hadis paling valid. Dan metodologi Imam Bukhari dalam menyeleksi hadis sangat ketat.

Pemikiran Islam

Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan Hanafi

Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin Lc.[1]

A. PENDAHULUAN

                Belakangan ini, diskursus seputar Al-Qur’an ramai diperbincangkan. Teori penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh sebagian kalangan pemikir muslim kontemporer.[2] Tafsir klasik dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat islam saat ini. [3] Maka dibutuhkan sebuah metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman.[4] Teori tersebut adalah hermeneutika.[5]