Uswah Khalifah untuk Akhiri Ahmadiyah

Written by | Opini

Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna telah menegaskan bahwa tidak ada Kitab Suci yang layak diagungkan selain Al-Qur’an. Kitab itu adalah satu-satunya Kitab Suci kaum muslimin yang masa pemberlakuannya dimulai semenjak diturunkannya hingga hari kiamat kelak. Allah pun telah menjamin orisinalitasnya, hingga tiba hari yang telah dijanjikan itu (kiamat). Allah akan senantiasa menjaga kesucian Al-Qur’an. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya” (QS Al-Hijr [15]: 9).

Begitu pula dengan masalah risalah nubuwah. Bahwa, hingga akhir zaman kelak tidak akan ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Artinya, jika ada orang yang mengaku sebagai Nabi, maka sungguh dia telah berdusta besar dengan pengakuannya tersebut.  “Muhammad itu hingga akhir zaman kelak sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rosulullah  dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Ahzab [33]: 40).

Melalui tafsirnya, ‘Tafsir Al-Thobari’, Al-Imam Al-Thobari menjelaskan bahwa penutupan risalah nubuwah itu terus berlanjut hingga Hari Akhir kelak. Dan itu artinya, setelah Nabi Muhammad SAW, tidak akan pernah diutus lagi Nabi-Nabi yang lain (Tafsir Al-Thobari, Al-Imam Al-Thobari, Jilid 10, hal 305).

 

Barometer Keimanan

Dalam Islam, masalah keyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai Kitab Suci satu-satunya dan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir masuk dalam ranah yang sangat sensitif. Sebab, keduanya termasuk rukun iman yang bersama rukun iman yang lainnya menjadi barometer kebenaran/kemurnian keimanan seorang mukmin kepada Allah. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (QS An-Nisaa’[4]: 136).

Dengan demikian, dalam perspektif Islam, Ahmadiyah adalah aliran sesat karena ajaran yang mereka usung bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, perselisihan dalam hal keberadaan Ahmadiyah ini tidak akan pernah berakhir, jika tiada ketegasan pemerintah untuk melarang keberadaannya.

Semenjak tahun 1925 -awal kedatangan Ahmadiyah di Indonesia- hingga kini kasus ini belum juga teratasi. Berdasarkan apa yang telah terjadi di lapangan, letupan-letupan peristiwa terkait Ahmadiyah bisa akan terus terulang, manakala pemerintah tetap dalam keragu-raguannya dalam mengambil sikap tegas.

Bentuk ketegasan yang diharapkan adalah bahwa pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau tetapkan mereka sebagai agama di luar Islam. Tentu dengan catatan, mereka terlebih dahulu diseru dengan cara persuasif agar kembali kepada ajaran Islam yang benar, yang merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.

 Jika kita bersikap tegas kepada Ahmadiyah,  adakah rujukannya? Mari buka sejarah. Bukankah peristiwa semacam ini pernah terjadi dahulu, pada masa awal Abu Bakar As-Shiddiq RA menjabat sebagai khalifah? Belajarlah dari cara beliau dalam menyelesaikan kasus ‘mirip Ahmadiyah’ pada waktu itu. Saat itu, sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan kelemah-lembutannya itu, dengan sigap mengambil sikap tegas memerangi mereka yang bersikeras meyakini bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Musailamah Al-Kadzdzab. Dengan sikap tegas itu, musnahlah aliran yang meresahkan umat di kala itu dan terbangunlah kembali stabilitas negeri.   

Apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar RA adalah bukti otentik sejarah, betapa efektifnya penyelesaian dengan metode yang beliau terapkan. Maka, oleh sebab itu, selayaknya pemerintah untuk belajar dari pengalaman sejarah tersebut dalam menyikapi kasus Ahmadiyah.

            Dalam konteks kekinian, -boleh jadi- pemerintah tidak perlu memerangi mereka. Tapi, cukuplah melarang keberadaan mereka di Indonesia. Atau, setidak-tidaknya menetapkan mereka sebagai kelompok yang berada di luar Islam. Jika itu sudah dilakukan, insyaAllah, kedamaian akan menjadi milik kita. Barulah setelah itu, konsep toleransi yang tertuang dalam surat Al-Kafirun “Lakum dinukum wa liyadien”, bisa diterapkan.

 

Tegas, Tegas!

Sekali lagi, untuk menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah ini, seyogyanya pemerintah bercermin kepada apa yang telah dipraktikkan oleh Khalifah Abu Bakar RA yang tegas menyikapi kasus ’mirip Ahmadiyah’ (ada yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad SAW). Semoga -dengan cara demikian- negeri ini akan terus aman dan damai sebagaimana yang kita inginkan bersama-sama. Sebaliknya, jika Ahmadiyah tidak kunjung disikapi secara tegas, rasanya mustahil berbagai perselisihan bisa dihindari.

Jadi, pilihlah untuk bersikap tegas kepada Ahmadiyah! []

 

*alumnus STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya

dan anggota ‘Asosiasi Penulis Islam’ (API),

 

Last modified: 16/02/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *