Ulama, Indonesia, dan Bung Karno

Written by | Opini

Oleh: Anwar Djaelani

soekarno berani bicara 3Inpasonline.com-Tema pergerakan umat Islam di hari-hari terakhir ini tampak sedikit ‘bergeser’ pada titik tekannya. Jika sebelumnya lantang digelorakan “Aksi Bela Islam”, maka kini yang tegas disuarakan adalah “Aksi Bela Ulama”. Di sejumlah kota, berbagai “Aksi Bela Ulama” digelar. Sementara, di Jakarta, aksi serupa dilaknakan pada 11/02/2017. Terkait ini, menarik jika kita kuak: Mengapa ulama harus kita bela dan apa pula kata Bung Karno tentang ulama?

Kata BK
“Aksi Bela Islam” berbuah “Aksi Bela Ulama”. Pada yang pertama, aksi dilakukan untuk mendorong aparat yang berwenang agar menangani Kasus Penistaan Agama yang dilakukan Ahok berjalan sebagaimana mestinya. Sementara, pada yang kedua, aksi dilakukan karena ada gelagat bahwa tokoh-tokoh kunci penggerak Aksi Bela Islam yang tergabung di dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) ‘dipersulit posisinya’. Keadaan seperti yang disebut terakhir itu lazim disebut sebagai kriminalisasi ulama.

Bersamaan dengan bergulirnya masalah itu, beredar pula wacana Sertifikasi Ulama. Wacana ini, sontak ditolak oleh banyak kalangan. Wajar jika wacana ini tak popular. Pertama, sertifikasi ulama bisa membuat dakwah tak bergairah. Misal, ada figur yang potensial tapi dia tidak berkenan untuk disertifikasi karena menilai hal itu sebagai sesuatu yang tak berdasar. Atau, ada yang mau disertifikasi, tapi dipersulit proses sertifikasinya karena –misalnya- ‘performa’-nya tak seperti yang diidealkan Si “Penerbit Sertifikat”. Akibat dari dua keadaan tersebut sama-sama tidak baik. Hal itu akan merugikan umat Islam karena mereka tidak akan bisa lagi mendapatkan dakwah atau pencerahan yang bergizi.

Kedua, sertifikasi ulama bisa saja menjadi media bagi sebuah keinginan untuk membatasi kehidupan dakwah. Kekhawatiran ini mungkin saja terjadi jika ada ulama / da’i yang isi dakwahnya dinilai berada di luar selera Si “Penentu Kebijakan”, maka dia tak akan mendapatkan sertifikat yang dimaksud.

Melihat perkembangan ini banyak yang bersedih. Negeri ini seperti lupa kepada pihak-pihak yang turut melahirkan dan membesarkannya. Untuk itu, ada baiknya kita baca ulang pendapat Bung Karno di soal peran ulama terhadap negeri ini.

Atas proklamasi kemerdekaan RI 17/08/1945, Bung Karno mengakui kontribusi yang sangat besar dari ulama, dengan mengatakan bahwa dirinya “Kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani.” Fragmen itu diterangkan sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suyanegara di www.eramuslim.com 16/09/2007. Tentu saja, hal tersebut mudah kita mengerti karena kekuatan militer dari umat Islam saat itu luar biasa besar (di samping –tentu saja- semangat jihadnya yang tinggi di bawah bimbingan dan komando ulama).

Adakah informasi menarik yang lain soal peran ulama? Pada 18/08/1945, yang merumuskan Pancasila itu tiga orang, “Yakni, KH Wahid Hasyim dari NU, Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, dan Kasman Singodimedjo juga dari Muhammadiyah. Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila itu sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI tidak akan mampu, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula Bung Karno diangkat jadi presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jadi negara ini yang memberi kesempatan proklamasi seperti itu adalah ulama,” jelas Prof Ahmad Mansur Suyanegara.

Masih di soal peran dan kontribusi ulama. Pada 22/10/2005 www.nu.or.id menurunkan tulisan A Khoirul Anam berjudul Resolusi Jihad. Bahwa, pada 21-22/10/1945, wakil-wakil dari cabang Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Di bawah pimpinan langsung Rois Akbar NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi itu populer dengan sebutan Resolusi Jihad. “Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang Kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah,” tulis A Khoirul Anam.

Terkait hal di atas itu, ada lagi yang sangat menarik. Bahwa sebelum pertempuran 10 November 1945 pecah, Bung Tomo berpidato heroik: “Dan, kita yakin Saudara-Saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar”.

Jadi, sangat benar, jika bangsa ini –lewat pengaruh dan peran ulama- secara jujur mengakui bahwa kemerdekaan yang diperolehnya semata-mata karena “berkat rahmat Allah”. Paragraf ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 membuktikannya. Kita baca lagi, bahwa: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Singkat kata, Bung Karno tak salah ketika mengatakan bahwa ulama sangat berpengaruh di balik terjadinya proklamasi kemerdekaan RI 17/08/2017. Bung Karno benar saat mendudukkan posisi ulama secara tepat di ‘pelataran’ Indonesia.

Siapa Berani
Lewat uraian ringkas di atas, maka, siapakah di antara kita yang kini (pura-pura?) lupa atas peran signifikan ulama di negeri ini, dulu dan kini? Siapa di antara kita yang kini memosisikan diri tak bersahabat dengan ulama? Terakhir, dalam hal memandang kedudukan dan peran strategis ulama di negeri ini, beranikah kita berbeda pendapat dengan Bung Karno? []

 

Last modified: 14/02/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *