Ukhuwah dan Keterbukaan*

Written by | Opini

Perlu dipahami, dalam masalah ini tampak ada cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Misalnya, dalam hal isu tahrif (distorsi) al-Quran. Jelas dalam masalah ini ada pandangan yang bebeda antara Muslim Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, isu tahrif al-Quran sudah biasa. Ini tidak perlu disembunyikan, karena banyaknya literatur Syiah yang menyebutkan hal itu, sebagaimana dipaparkan oleh Mohammad Baharum dan Fahmi Salim dan berbagai literatur Syiah yang dianggap otoritatif oleh kaum Syiah.

Bahwa ada sebagian kaum Syiah yang menyatakan tidak adanya Tahrif dalam al-Quran, itu juga fakta. Terlepas dari apakah itu dilakukan untuk “taqiyyah” (menutup keyakinan di tengah pemeluk mayoritas) atau tidak. Tahun 2005, penulis pernah melakukan penelitian langsung ke sebuah pesantren di Jawa Timur, yang dinilai menjadi salah satu pusat pengkaderan penganut Syiah di Indonesia. Seorang ustad yang penulis temui menyatakan bahwa Syiah meyakini adanya konsep tahrif  dalam al-Quran. Tetapi, ketika digali terus, ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat al-Quran yang ia katakan hilang. Namun ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut.

Di tengah-tengah diskusi, ia juga melontarkan argumentasi seperti yang ditulis Haidar Bagir di Republika (20/1/2012) dan pada (27/1/2012). Bahwa,  kalangan ulama Sunni juga mengakui adanya ayat-ayat al-Quran yang disebut hilang itu.  Ayat-ayat yang berbau tahrif dinukil dari kitab al-Itqon karya al-Suyuthi dan Shahih Bukhari bab Syahadah.

            Inilah duduk persoalannya. Haidar Bagir dan kaum Syiah lainnya memahami hadits-hadits dalam literatur Muslim Sunni tersebut sebagai tahrif  al-Quran. Padahal, para ulama Sunni sudah membahas masalah ini dengan sangat jelas. Bahwa, hadits-hadits itu tidak menunjukkan tahrif al-Quran, tetapi di situ ada konsep nasikh-mansukh, yang hanya terjadi di masa Nabi Muhammad saw. Tidak ada ulama Sunni yang mengatakan adanya tahrif dalam al-Qur’an. Saya kira jawaban saudara Fahmi Salim sudah cukup.

Di sini perlu dibedakan atara tahrif dan nasikh mansukh. Sebab, tampak Haidar Bagir merancukan kedua konsep ini. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayat-ayat yang dimansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushhaf al-Qur’an, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan al-Qur’an, melalui Nabi-Nya, Muhammad saw. Jadi yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah.

Sedangkan Tahrif  berarti adanya perubahan terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh manusia, sepeninggal Nabi Muhammad saw.  Biasanya, ini dituduhkan kepada sebagian sahabat Nabi SAW. Konsep Tahrif  ini, sebagaimana diuraikan oleh penulis sebelumnya, sudah sangat biasa dijumpai dalam literatur-literatur Syiah. Dalam literatur Syiah, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin, hanya ada tiga ulama  yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyyah juz 2 hal. 246.

Hanya saja, menurut al-Jazairi sendiri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam al-Qur’an tersebut sedang bertaqiyyah. Artinya, sebenarnya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif dalam al-Qur’an. Dan memang, keyakinan tahrif itu telah menjadi perkara yang aksiomatis di kalangan Syiah. Imam Khomeini sendiri, yang ditulis oleh Haidar Bagir tidak meyakini tahrif, ternyata  dalam bukunya berjudul al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, halaman 50 meyakini tahrif.

            Di dalam kitab al-Kafi terdapat petunjuk anjuran untuk bertaqiyah dalam soal isu tahrif al-Qur’an ini. Dalam kitab tersebut (Juz II)  dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syiah, ditanya pengikutnya, “Wahai Aba Abdillah, saya mendengar bacaan al-Quran orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang  kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan al-Quran kaum muslimin), tetapi dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa al-Qur’an yang asli.”

            Tentu, patut disyukuri jika konsep tahrif  al-Quran itu benar-benar sudah ditinggalkan kaum Syiah, bukan sekedar taqiyyah. Dan kaum Muslimin semua menunggu kejujuran, bukan sekedar taqiyyah. Juga, tidak sepatutnya pihak Syiah memaksakan konsep tahrif itu pada kaum Sunni. Sedangkan kaum Sunni sediri sejak dulu hingga kini menolak adanya tahrif dalam al-Quran.

            Akhirnya, penulis mengajak kaum Syiah dan Ahlu Sunnah untuk ‘menyimpan’ polemik tentang hal-hal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kemudian, kita semua kembali ke pokok masalah untuk menciptakan kerukunan Ahlu Sunnah dan Syiah, sebagaimana yang ditawarkan dalam Jurnal Islamia-Republika (19/1/2012). Konsep itu juga disetujui Haidar Bagir dalam artikelnya (20/1/2012). Yaitu, untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, kaum Syiah bersedia membuang ambisinya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad saw. Dengan itu, kita semua bisa mengkosentrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat. Amin. Wallahu a’lam bil-shawab. []

 

*Naskah ini dimuat di harian Republika 3 Februari 2012

 

 

 

Last modified: 03/02/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *