Tentang Doktrin Pemicu Kegagah-beranian

Written by | Opini

Oleh : Anwar Djaelani

Omar raInpasonline.com-Generasi pertama pemeluk Islam adalah bangsa Badwi yang dikenal sebagai (bekas) nomaden dan penjarah. Namun, dalam waktu tak lebih seperempat abad sepeninggal Nabi Muhammad Saw, mereka mampu mengalahkan dua imperium dunia yaitu Persia dan Romawi Timur. Doktrin apakah yang bisa menggagah-beranikan kaum Muslimin itu?

Buka Sejarah

Umat Islam pernah memimpin dunia dengan akhlaq dan ilmu pengetahuan. Itulah generasi pertama pemeluk Islam. Menakjubkan! Untuk itu, tepat kiranya jika kita telaah tentang sebab mengapa umat Islam waktu itu tampil gagah berani mengalahkan kaum kafir. Ajaran apakah yang sedemikian rupa bisa membuat mereka memiliki semangat juang tiada tara?

Islam berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk kepentingan Tuhan, sesudah mengetahui siapa Tuhan. Tuhan adalah Dzat Maha Pencipta (Al-Khaliq), Maha Pengasih (Ar-Rahman) dan Maha Penyayang (Ar-Rahim). Kepada-Nya wajah harus kita tundukkan, puja-puji kita tujukan, dan permohonan kita alamatkan.

Ajaran Islam berpangkal pada sebuah persaksian agung dan sebuah landasan keimanan: Tiada Tuhan selain Allah. Konsep ini segera menumbuhkan mentalitas jiwa yang merdeka, yang tak mengenal rasa takut sedikitpun kepada siapa saja kecuali kepada Allah.

Sekali lagi, prinsip dasar keimanan itu dapat membuat manusia menjadi merdeka. Merdeka berarti sanggup menguasai diri, nafsu, segala kehendak baik dan tak baik. Merdeka bermakna tidak diperintah oleh tradisi yang tidak sesuai dengan akal sehat.

Keimanan memerdekakan jiwa dan membebaskan dari sifat-sifat ambisius, tamak, dan sifat yang hanya memperhamba pada hawa nafsu saja. Lalu, pada saat yang sama, jiwa tersebut sampai pada keadaan bahwa semua keinginan kita haruslah disesuaikan dengan kehendak Allah. Tak ada keraguan sedikitpun, sebab al-haq (kebenaran) itu dari Allah.

Bagi kaum beriman, hijrah dan jihad adalah sebuah prinsip hidup. Pilihan berjihad, akan membuahkan dua akibat yang sama-sama baik. Jika menang, sungguh ia akan hidup terhormat dan bila ia gugur serta syahid insyaAllah surga menantinya. Mati (dan apalagi syahid di jalan Allah) berarti liqo-a robbihi, saat bertemu dengan Tuhannya.

Namun, jangan lupa, masa itu dipergilirkan antar-umat manusia (lihat QS Ali ‘Imraan [3]: 140). Ada pasang naik dan surut. Misal, pada abad 12 Palestina lepas. Di abad 13 Baghdad jatuh. Di akhir abad 15 Spanyol pun jatuh. Mengapa?

Lihatlah di Spanyol. Penguasa terakhir, Raja Abu Abdillah, harus menyerahkan kekuasaan kepada Raja Ferdinand dari Castilia dan Ratu Isabella dari Aragon. Ketika Raja Abdillah akan berangkat ke Afrika Utara, sebagai tempat pembuangannya, di pantai Spanyol dia sempat ia menoleh. Terbayang megahnya Istana Al-Hambra di Granada, indahnya masjid dengan 1400 pilar di Cordova, dan kebesaran-kebesaran lain yang tersebar di Malaga, Marcia, Sevilla, dan Barcelona.

Tak tahan, ia berurai air mata. Ratu Aisyah, ibu dari Raja Abdillah, yang berada di sampingnya berkata: “Engkau tangisi sekarang negara yang terpaksa engkau tinggalkan sebagaimana tangisnya perempuan. Padahal, engkau tak sanggup mempertahankan dengan darahmu sebagai seorang laki-laki.”

Memang, jatuhnya kejayaan umat Islam selalu didahului hal-hal semacam ini: Intrik-intrik politik, pertarungan antar-golongan, atau mementingkan diri sendiri.

Padahal Rasulullah Saw telah mengingatkan bahwa kelak umat Islam akan seperti buih yang dihempas gelombang tak tentu arah. Posisinya lemah dan tak diperhitungkan lawan. Bukan karena sedikitnya bilangan, tetapi karena penyakit

cinta dunia dan takut mati.

Sejarah telah menggelar dua potret, kejayaan dan kehancuran. Kejayaan harus diperjuangkan yaitu oleh mereka yang punya keberanian, yang bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”. Mereka yang tak ragu-ragu bahwa kebenaran datangnya dari Allah. Mereka yang yakin sepenuh hati bahwa tak ada daya dan kekuatan kecuali Allah. Mereka yang tak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Mereka yang mempunyai prinsip bahwa shalat, ibadah, hidup, dan mati, didedikasikan semata-mata hanya untuk Allah. Tetapi jangan pernah lupa, semua hal itu akan rusak dan menuai kehancuran, jika penyakit cinta dunia dan takut mati datang mendera.

Yakin bahwa masa akan dipergilirkan antar-umat manusia, maka bukanlah ilusi jika kita berharap untuk kembalinya kejayaan umat Islam. Niat harus dipasang. Rencana dan usaha harus segera dilakukan. Terlebih lagi, jika semua yang kita rencanakan, segala amal yang kita lakukan, secara terus menerus diilhami serta dipandu oleh Doktrin Mulia ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali ‘‘Imraan [3]: 110).

Belajarlah kepada sejarah! Ambil pelajaran dari apapun yang bisa kita baca, baik yang tersurat maupun yang tersirat. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan/pandangan” (QS Al-Hasyr [59]: 2).

Jadi, pada dasarnya, predikat umat terbaik hanya akan kita dapatkan jika kita memenuhi syarat: 1).Beriman kepada Allah. 2).Berani mencegah/melarang yang munkar. 3).Berani menyuruh dan memimpin sesama manusia kepada yang ma’ruf.

Inspirasi Itu

Terkait pengamalan doktrin “Amar ma’ruf – nahi munkar”, maka Nabi Ibrahim As adalah salah seorang yang bisa kita teladani. Lihat saja sejarah hidupnya. Ia ingatkan ayahnya sendiri yang menyimpang. Ia lawan Namrudz, rajanya, yang otoriter.

Ibrahim-pun telah menjadikan iman, hijrah, dan jihad sebagai ‘ruh’ dalam kesehariannya. Sungguh, semoga kita selalu diberi kekuatan oleh Allah untuk bisa mengikuti jejak Ibrahim As, yang gagah berani menegakkan kebenaran. []

 

Last modified: 27/02/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *