Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Koran Dan Ilmiah

Written by | Nasional

Inpasonline, 27/09/10

SURABAYA – Al-Qur’an yang merupakan hidangan Allah untuk hambanya (ma’dabah fi al-ardl) sudah seharusnya dinikmati oleh setiap orang. Bukan hanya untuk orang-orang yang hadir di masjid atau pengajian saja. Tapi bagi pembaca koran juga diberi kesempatan untuk bisa menikmati hidangan Allah ini.

Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh KH. Ahmad Musta’in Syafi’i dalam seminar Al-Qur’an yang bertajuk “Dinamika Tafsir Al-Qur’an Aktual” pada hari sabtu (25/09) di Gedung Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Unair. Salah satu syarat mutlak yang harus ada dalam penyajian tafsir Al-Qur’an di koran adalah langgam bahasa yang ringan dan fresh sehingga membuat pembacanya suka dan bahkan ketagihan, ungkap pengasuh rubrik Tafsir Al-Qur’an di Harian Bangsa ini.

Menurut pengasuh Madrasatul Qur’an di Tebu Ireng Jombang ini, tafsir Al-Qur’an berbahasa koran sama dengan tafsir pada umumnya yang merujuk kaedah tafsir yang dibenarkan, meski tidak disepakati. Dan atas dasar selera pembaca, maka hampir semua pendekatan dipakai sesuai kebutuhan aktualisasi yang menjadi special angle tafsir pola ini.

Di samping itu, tafsir ini sarat dengan penyajian kisah, karena kisah dianggap media yang paling jitu untuk menyampaikan pesan, ungkap pria yang dianggap liberal oleh beberapa peserta ini. Oleh karenanya, semua kisah, baik Israiliyah yang tidak bertentangan dengan nash yang sharih, potret kehidupan nyata maupun dialog imajiner sering menjadi pelengkap dari tafsir ini, tegasnya.

Sementara pembicara kedua, Dr. H. M. Abdul Khaliq Hasan, M.A., M.Ed., lebih menekankan pembahasan pada tafsir Al-Qur’an yang bersifat ilmi. Menurutnya, tafsir ilmi ini adalah metode dakwah yang terbaik, karena umat Islam pada saat ini menghadapi distorsi dari berbagai macam media Barat yang memang sengaja ingin merusak citra Islam di mata dunia. Di samping itu, jelas alumnus pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang ini, tafsir ilmi mempertegas bahwa Islam tidak mempertentangkan Agama dan sains. Dan tidak pernah ada dalam sejarah Islam ada seorang saintis yang dihukum karena penelitiannya bertentangan dengan Al-Qur’an.

Memang, tidak semua ulama sepakat dengan tafsir ilmi ini, ungkap wakil ketua ICMI Surakarta ini. Sebagian ulama yang tidak sepakat dengan penafsiran ini beralasan untuk membedakan secara tegas, mana yang menjadi hakikat keagamaan yang menjadi inti Al-Qur’an dan mana yang merupakan konklusi ilmiah dan sebatas produk inovasi dan penelaahan akal manusia yang terbatas. Sementara para ulama yang mendukung tafsir ini beralasan memang dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang bisa ditafsirkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan kontemporer.

Misalnya, beberapa temuan yang diungkapkan oleh Harun Yahya, yang digolongkan sebagai Mufassir Ilmi modern oleh Dr. Abdul Khaliq Hasan ini. Perbedaan sidik jari tiap manusia, kulit sebagai indera perasa, pergerakan gunung dan kelahiran manusia dari mani yang terpancar. Hal itu semua menjadi fakta tak terbantahkan yang telah diungkap oleh Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan modern. Dan tentunya masih banyak fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa diungkap oleh Al-Qur’an, jika umat Islam mau mentadabburinya (menelitinya). Hal itu sangat mungkin karena menurut Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat berbicara tentang ilmu pengaetahuan. Bahkan tokoh mufassir ilmi modern, Prof. Dr. Zaghlul Najjar (Pakar Geologi dan Direktur Akademi Marchfield di Inggris mengungkapkan bahwa ada 1000 ayat yang tegas (shorih) dan ratusan lainnya yang tidak tegas, mengungkap ilmu pengetahuan.    

Namun yang perlu diingat, tegas Doktor di bidang Tafsir Al-Qur’an ini, Al-Qur’an bukan buku sains, sejarah, atau ilmu pengetahuan lainnya. Tetapi Al-Qur’an hanya memberikan isyarat-isyarat terhadap ilmu-ilmu tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Qur’an, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT dan ke Esaannya, serta mendorong manusia mangadakan observasi dan penelitian demi penguatan iman.

Pria kelahiran Kudus, 09 November 1974 ini juga menjelaskan beberapa penyebab kesalahan tafsir ilmi. Salah satunya, mengaitkan Al-Qur’an dengan setiap teori-teori ilmiah, menafsirkan dengan tendensi tertentu bahkan kesalahan juga disebabkan karena tidak mampu membedakan antara hakikat agama dan sains. Dan yang paling jamak terjadi adalah memaksakan suatu teori dalam ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini akan membahayakan Al-Qur’an itu sendiri karena nilai kewahyuannya dan kebenarannya akan tergantung dari kekuatan teori tersebut. Padahal keduanya jelas perbedaannya.(mm)   

Last modified: 27/09/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *