Syiah dan Liberalis Bersatu Menghujat Shahabat Nabi

Written by | Opini

Oleh Kholili Hasib

 

Pada Jum’at 21 Juni 2013, puluhan warga Syiah Sampang Madura hendak melakukan demonstrasi di Istana Negara Jakarta untuk mengadukan nasib kepada Presiden. Komunitas Syiah itu menuntut jaminan tempat tinggal mereka di Karanggayam dan Blu’uran. Seperti telah diketahui, sejak pecah bentrok warga Ahlussunnah dan Syiah di Sampang pada 2012 lalu, mereka direlokasi pemerintah setempat, sampai situasi kembali normal. Kebijakan ini oleh warga Syiah dianggap bentuk diskriminasi terhadap Syiah di Sampang. Padahal, sesungguhnya penganut Syiah Sampang terbukti melakukan ajaran pelecehan terhadap Shahabat, hingga mengakibatkan pecah kekisruhan. Sementara itu, tokoh-tokoh Liberal menyeru kepada umat Ahlussunnah untuk membiarkan saja ajaran tersebut, sembari melemparkan isu Ahlussunnah tidak toleran terhadap minoritas Syiah. Umat Ahlussunnah dipaksa membiarkan pelecehan dengan mengatasnamakan HAM dan kebebasan berpikir. Tentu, hal ini tidak menjadikan keadaan dingin, justru menambah situasi tidak kondusif.

           Isu intoleransi kini mencuat. Isu ini tentu saja menjadi ‘barang dagangan’ yang menarik bagi kaum liberal. Isu HAM dan kebebasan berpendapat menjadi ‘dalil’ utama. Dengan didukung tokoh-tokoh liberal, warga Syiah menuduh Ahlussunnah memperlakukan mereka secara tidak toleran. Sejak terjadi kekisruhan di Sampang tahun 2011 dan tahun 2012, kaum Liberal mengadvokasi penganut Syiah. Ulil Abshar Abdallah, mantan koordinator JIL, membela Syiah dengan mengatakan, “Kasus Ahmadiyah, Syiah dan lainnya lebih merupakan perbedaan tafsir dan perbedaan tafsir itu bukanlah penodaan agama” (24/11/2012). Padahal, pelecehan terhadap suatu ajaran agama yang disakralkan merupakan bentuk pelanggaran HAM.

          Kasus Syiah, harus diamati secara cermat. Bahwa, kasus yang telah menyeret Tajul Muluk — pemimpin Syiah Sampang — ke penjara dengan hukuman 4 tahun penjara karena terbukti melakukan penodaan agama, dipicu syiar kebencian yang dilontarkan penganut Syiah. Mereka mengajarkan kebencian terhadap Shahabat Nabi Saw.

          Berdasarkan informasi Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA) yang pernah mengadakan dialog dengan Tajul Muluk pada tahun 2006, bahwa ajaran Tajul Muluk melecehkan Shahabat Nabi dan menghina otentisitas al-Qur’an. M. Nur, mantan pengikut Tajul Muluk memberi kesaksian, “Sejak 2008 Tajul mulai menyampaikan khutbah Jumat bahwa rukun Islam ada 8, rukun iman ada 5, khalifah Nabi Muhammad bukan Abu Bakar, Abu Bakar dikatakan merampok dari Ali”.

          Dalam pengakuan M. Nur, Tajul pernah suatu kali mengadakan peringatan Iedul Ghadir (peringatan pengangkatan Ali sebagai Khalifah) di rumah Habib Mustofa. Saat itu dibahas ketentuan khalifah yang sudah ditentukan oleh Allah khusus kepada Ali, tetapi dirampok oleh Abu Bakar. Puncak dari acara peringatan Ghadir Khum adalah melaknat Abu Bakar dan Utsman. Ayat-ayat dalam al-Quran yang menyebut kata thagut mereka maknai sebagai Abu Bakar dan Umar.

          Ketika dakwah kebencian tersebut tersebar ke Desa Blu’uran, konflik tidak bisa dihindari. Warga yang mayoritas Ahlussunnah tidak terima Shahabat dan al-Qur’an dilecehkan. Namun, kaum Syiah juga menantang. Padahal, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara para ulama, pemkot Sampang dan Tajul Muluk agar menghentikan dakwah kebencian di Sampang karena dikhawatirkan menciptakan chaos yang lebih luas. Kesepakatan dikhianati Tajul dan warga Syiah lainnya.

          Ajaran pelecehan terhadap Shahabat Nabi Saw yang dibawa oleh Tajul Muluk tidak jauh berbeda dengan para pendahulu ekstrimis Syiah. Mufassir Syiah, al-Qummi misalnya,  menghina ‘Aisyah dengan tuduhan istri Nabi tersebut pernah berzina. Dalam bukunya ditulis, “Aisyah terlah berzina dengan Fulan dalam suatu perjalanan” (Ali al-Qummi, Tafsir al-Qummi juz II, hal. 377). Seorang pemimpin Syiah, Abdul Shamad bin Bashir berpendapat bahwa penyebab wafatnya Rasulullah karena diracun oleh Abu Bakar (Muhammad Iyashi, Tafsir al-Iyashi, juz I, hal. 342). Bahkan al-Majlisi berkeyakinan bahwa pintu neraka terdapat pintu khusus yang diperuntukkan Abu Bakar, Umar dan Utsman (Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 8 hal. 301).

          Islam Liberal tentu saja membela warga Syiah. Sebab, kenyataannya baik Syiah maupun Islam Liberal sama-sama mengajarkan kebencian terhadap Shahabat Nabi dan melecehkan al-Qur’an. Kesamaan visi dan ideologi inilah yang mendorong kaum Liberal  membela Syiah Sampang.

          Praktik penghinaan kaum Liberal sudah lama terjadi. Dalam Jurnal Justisia Edisi 23 Tahun XI 2003 ditulis, “Adalah Muhammad saw., seorang figur yang saleh dan berhasil menstransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realita Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca-Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreatifitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realita zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan dikonstruk Muhammad” (hal. 1).

          Mereka terutama melecehkan Ustman bin Affan. Ditulis dalam jurnal itu, “Dari sekian tumpuk daftar ketidakreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy oleh Khalifah Usman ibn Affan yang diikuti dengan klaim otortias mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lainnya”.

          Sementara pelecehan terhadap al-Qur’an ditulis dalam buku Lubang Hitam Agama. Al-Qur’an yang diyakini kaum Muslimin sebagai Kalam Allah yang suci dan dijaga keasliannya oleh Allah dihujat secara terang-terangan. Di antaranya ditulis, “Bahkan sesungguhnya hakikat al-Qur’an bukanlah Teks verbal yang terdiri atas 6.666 ayat bikinan Utsman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan (Sumanto al-Qurtubi, Lubang Hitam Agama, hal. 42). Buku itu menolak dikatakan al-Qur’an adalah kitab suci yang sakral. Dikatakan dalam buku itu, “Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada al-Qur’an (juga kitab yang lain) adalah kesucian palsu (pseudo sacra). Tidak ada teks yang secara ontologism itu suci (hal. 67).

          Demikianlah kenyatannnya, bahwa pembelaan kaum Liberal terhadap Syiah salah satu di antaranya karena terdapat kesamaan visi ideologis. Karena itu tidak heran, bila setiap kasus Syiah selalu mendapatkan advokasi dari tokoh-tokoh liberal.

          Yang harus dimengerti adalah ajaran pelecehan seperti ini yang sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran tersebut tidak bisa dibiarkan, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat. Wallahu a’lam bis showab.

           

Last modified: 02/07/2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *