Subjektivitas dalam Verifikasi Sanad

Written by | Opini

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS al-Hujurat: 6).

Kaidah ini sebenarnya bukanlah semata-mata normatif ajaran Islam, tetapi juga menjadi kaidah umum yang sejalan dengan kebenaran akal sehat (common sense). Kaidah ini pula yang dipegangi oleh Sayyidina Abu Bakar tatkala menerima berita isra’ dan mi’raj dari Rasulullah Saw. Beliau langsung menerima berita itu walaupun mungkin substansi beritanya tidak bisa diterima menurut nalar beliau. Beliau langsung menerima berita itu karena yang menyampaikan berita adalah orang yang sangat kredibel, dapat dipercaya, bahkan digelari dengan al-amin.

Kaidah ini juga menjadi panduan para ulama sejak masa sahabat untuk menerima atau menolak periwayatan hadits atau yang dikatakan sebagai verifikasi sanad. Penelusuran kualitas rawi yang menjadi pokok kajian dalam verifikasi sanad. Artinya kualitas rawi menjadi tolok ukur untuk menentukan diterima atau ditolaknya riwayat yang disampaikannya. Karena itulah penting untuk mengetahui karakteristik dari rawi.  Dari sini lahir disiplin ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari sisi diterima atau ditolaknya riwayat dari mereka yang dikenal dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Dalam kaitannya dengan jarh wa ta’dil inilah, ada yang mempertanyakannya karena dalam kajian  jarh wa ta’dil mengandung unsur subyektifitas.

Untuk menjawab hai ini perlu diperjelas dahulu pengertian subyektif dan obyektif. Subyektif secara sederhana dapat diartikan sebagai sesuai dengan pandangan orang yang melihat. Sebaliknya obyektif adalah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari obyek yang dilihat. Dalam banyak hal antara subyektifitas dan obyektifitas tidak bisa dipisah-pisahkan. Unsur subyektifitas dalam penilaian terhadap suatu obyek bisa ditekan dengan adanya kriteri-kriteria penilaian yang disepakati. Adanya kriteria-kriteria ini kendatipun penilaian dilakukan oleh orang-perorang hasilnya akan obyektif atau setidak-tidaknya  mendekati obyektif.

Demikian juga obyektifitas bisa terbentuk dari kumpulan subyektifitas-subyektifitas. Ketika sesuatu dinilai secara subyektif oleh orang-perorang yang jumlahnya banyak, tidak ada kesepakatan sebelumnya di antara orang-perorang tersebut dan hasil penilaiannya sama maka hasilnya bukan subyektif lagi, tetapi obyektif. Sebagai contoh ketika seorang gadis dinilai cantik oleh seseorang bisa saja penilaiannya subyektif. Tetapi ketika banyak subyek-subyek yang memberikan penilaian dan hasil penilaiannya sama, maka hasilnya menjadi obyektif bukan subyektif.

Dalam kehidupan sehari-hari pendekatan subyektif dan obyektif ini juga menjadi salah satu alat penilaian dalam banyak hal. Sebagai contoh, dalam pemilihan anggota KPK pun menggunakan pendekatan ini. Dalam penjurian untuk menetapkan juara juga menggunakan pendekatan ini. Pendeknya antara subyektifitas dan obyektifitas tidak mesti perlu dipertentangkan.

Dalam kaitannya dengan penilaian terhadap rawi, unsur subyektifitas dimungkinkan ada. Hal ini sudah disadari oleh  para ulama ahli hadits. Karena itulah mereka menetapkan beberapa kaidah untuk menekan aspek subyektifitas ini.

Pertama, kaidah tentang pengklasifikasian rawi berdasarkan popularitasnya. Klasifikasi ini penting untuk mengetahui rawi-rawi yang telah dikenal identitasnya, atau bahkan secara masyhur karakternya diketahui dan disaksikan banyak orang baik dari aspek positif maupun negatif. Dari sisi ini bisa diketahui ada rawi-rawi yang dikenal sebagai rawi yang adil dan ada rawi yang dihukumi jarh. Disamping itu, juga ada rawi yang tidak diketahui sifat-sifatnya karena identitanya tidak jelas (rawi majhul).

Kedua, menetapkan syarat-syarat bagi sesorang yang diakui sebagai ahli jarh wa ta’dil. Penetapan syarat ini penting dan merupakan salah satu faktor yang menentukan obyektifitas dalam penilaian. Seorang ahli jarh wa ta’dil haruslah seorang yang mempunyai kompetensi, bisa obyektif, jujur, dan adil dalam memberikan penilaian baik ta’dil maupun jarh. Agar kompetensi ini dapat dicapai para ulama telah menetapkan syarat pokok bagi seorang ahli jarh wa ta’dil yaitu harus memenuhi kriteria alim, taqwa, wira’i, jujur, terbebas dari jarh, tidak fanatik terhadap sebagian perawi, serta faham terhadap sebab-sebab penta’dilan dan pentajrihan. Bila syarat ini tidak terpenuhi kritiknya terhadap perawi tidak bisa diterima.

Ketiga, menetapkan tata tertib dalam melakukan ta’dil maupun jarh. Tata tertib ini berguna sebagai panduan dan tata krama dalam melakukan jarh dan ta’dil. Panduan ini juga untuk memperkecil pengaruh subyektivitas. Adapun tata tertib dalam melakukan jarh dan ta’dil meliputi; jujur obyektif dan tuntas dalam memberikan penilaian, cermat dan teliti dalam menilai, penilaian tidak keluar dari etika penilaian ilmiah (termasuk tidak mentajrih melebihi kebutuhan), dan secara global dalam menta’dil serta secara terperinci dalam mentajrih.

Keempat, kriteria menetapkan ta’dil dan jarh atas seorang rawi. Kriteria ini juga berhubungan dengan aspek memperkecil subyektifitas. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain; penta’dilan dan pentajrihan dilakukan oleh ulama yang telah memenuhi syarat, pentajrihan dilakukan dengan disertai alasan-alasannya, tidak menerima tajrih yang disampaikan oleh orang yang sezaman dengan yang ditajrih karena dikhawatirkan adanya pengaruh persaingan sehingga pentajrihannya tidak obyektif. Dalam hubungannya dengan ini pula untuk kehati-hatian kebanyakan ulama menyepakati kaidah mendahulukan tajrih atas ta’dil.

Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan oleh para ulama untuk memelihara otentisitas hadits. Berbagai kaidah telah ditetapkan untuk menyajikan data periwayatan hadits yang otektik, ilmiyah dan obyektif serta  menekan unsur subyektifitas khususnya dalam menilai para perawi hadits. Karena itu, tidak ada alasan untuk meragukan hadits atau menolak kehujjahan hadits dengan alasan adanya subyektifitas dalam penilaian terhadap para rawi.

Satu hal lagi yang perlu diketengahkan di sini, bahwa di kalangan para ulama khususnya ahli ushul terdapat perbedaan pandangan apakah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir memberikan faidah ilmu. Kajian dalam masalah ini patut diketengahkan di sini karena ada korelasinya dengan masalah subyektifitas ini.

Sebagaimana diketahui, hadits ditinjau dari jumlah rawinya di tiap-tiap generasi dikelompokkan menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak di tiap-tiap generasinya termasuk sampai pada generasi sahabat sehingga tidak memungkinkan terjadi kesepakatan untuk berdusta. Sebaliknya hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria jumlah rawinya seperti hadits mutawatir. Hadits mutawatir karena diriwayatkan oleh banyak orang di tiap-tiap masanya dengan sendirinya otentisitasnya tidak diragukan lagi yaitu seratus persen dan obyektifitanya juga seratus persen karena itulah hadits mutawatir disebut qath’iy al-wurud. Sebaliknya hadits ahad tidak demikian. Para ulama berbeda pendapat apakah hadits ahad memberi faidah ilmu/yaqin atau tidak. Maka, dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad tidak memberi faidah ilmu (yaqin) tetapi hanya sampai pada tingkatan dzan (al-Syaukani, 2000; I/ h. 247). Artinya eksistensi hadits ahad berstatus dzaniy al-wurud. Di sinilah letak kesadaran para ulama tentang aspek subyektifitas ini. Penetapan hadits ahad sebagai dzanniy al-wurud memberikan penegasan bahwa para ulama mengakui adanya unsur subyektifitas ini sekecil apapun kadarnya dan bahkan bisa dibilang hampir-hampir tidak ada.

Walaupun bersifat dzanniy al-wurud di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama perihal kehujjahan hadits ahad yang shahih sebagai landasan dalam masalah-masalah hukum. Hal ini karena dalam masalah penetapan hukum tidak dituntut untuk menggunakan landasan sampai pada tingkatan qath’iy baik qath’i al-wurud maupun qath’i al-dilalah. Di sini kita mengetahui bahwa fiqih itu bersumber dari dalil dzan’i. Semua produk ijtihad adalah dzanni. Apalagi status hadits ahad yang shahih, bisa dibilang unsur dzanniy-nya sangat kecil. Kalau kemudian masih dinilai dzanni semata-mata karena secara teoritik, sekecil apapun masih mengandung unsur subyektifitas ini. Karena itu pula jumhur ulama bersepakat bahwa mengamalkan hadits ahad yang shahih adalah wajib (al-Syaukani, 2000; I/hal. 249). Dari sini dapat difahami bahwa penolakan terhadap hadits sebagai hujjah dalam masalah hukum karena didasarkan atas adanya unsur subyektifitas tidak bisa diterima.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

*Peneliti InPAS

 

Last modified: 30/04/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *