Refleksi Hari Pers Nasional 9/2/2011: Mendamba Pers Berspirit Anti-bohong

Written by | Opini

 

Jujur, ke Manakah?

Jujur adalah sebagian dari karakter mulia. Jika aspek jujur dijadikan salah satu alat ukur seberapa mulia performa rata-rata warga di negeri ini, maka kita akan prihatin. Artinya, Pak Nuh harus bekerja keras.

Lihat saja sebagian performa kita. Korupsi adalah sebagian dari contoh perbuatan tak jujur. Ternyata, di negeri ini korupsi terus meraja-lela. Misal, di www.kompas.com 17/1/2011) ada berita yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri. Bahwa, saat ini terdapat 17 dari 33 gubernur berstatus tersangka.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, sejumlah kasus yang melibatkan kepala daerah masih terus bergulir. Dikatakan, bahwa 17 gubernur ini masuk dalam daftar 155 kepala daerah yang sedang menjalani proses hukum sampai saat ini. Bahkan, sang Menteri bilang: “Saya setiap minggu menerima tersangka baru”. Hm, luar biasa!

Lalu bacalah ini: “Tokoh Lintas Agama Kritik SBY” (Jawa Pos, 11/1/2011). Intinya, sejumlah tokoh lintas agama bertemu pada 10/1/2011, dan mencanangkan tahun ini sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan dan pengkhianatan.

          Terlihat, performa pejabat / pemimpin kedodoran. Bagaimana dengan pelajar? Beberapa waktu lalu, untuk mendidik pelajar agar jujur dan tak tergoda untuk korupsi, dicanangkanlah pengadaan  Kantin Kejujura di sekolah-sekolah. Sesuai dengan namanya, di kantin itu tak ada yang menjaga. Artinya, pembeli melayani dirinya sendiri. Ambil barang, lalu bayar. Jika ada sisa kembalian, juga ambil sendiri. Indah dari segi harapan, yaitu mendidik siswa jujur / tidak bohong.

Tapi, setelah berjalan beberapa waktu, banyak laporan Kantin Kejujuran bangkrut. Di www.jpnn.com 4/5/2010 ada judul “Kantin Kejujuran Bangkrut, Tanda Korupsi Dini”. Diberitakan, atas bangkrutnya banyak Kantin Kejujuran, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK –Dedie A. Rachim- mengatakan bahwa yang menjadi penyebab bangkrutnya kantin itu antara lain moralitas siswa. Dia mencontohkan, siswa tidak membayar makanan atau barang yang dia beli dari kantin tersebut. Berarti, siswa tersebut secara tidak langsung melakukan korupsi uang dari pengelola.

Itulah sebagian wajah warga kita yaitu tidak jujur alias suka berbohong, mulai level pejabat sampai pelajar.

 

Peran Vital

Dalam hal sumber belajar, pers memiliki peran stategis. Sebagai media penyampai informasi, urgensi keberadaannya sangat terasa karena –antara lain- bisa berperan sebagai penyedia bahan belajar lewat berbagai informasi yang disampaikannya.

Hanya saja, agar fungsi sebagai penyedia informasi yang layak dijadikan sebagai sumber ilmu, maka pers harus ketat dalam memegang Kode Etik Jurnalistik (yang dikeluarkan 2008). Misal, di pasal 1 diatur bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.

Persoalan menjadi lebih menarik (baca: menantang) jika kita membaca pasal 4. Diatur bahwa “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Apa tafsir bohong? Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Jadi, sangat kita sesalkan jika ada berita bohong, lantaran –misalnya- ada yang membuat berita yang tak sesuai fakta. Lalu, atas kepentingan apa biasanya berita bohong (sekurang-kurangnya diplintir) muncul? Bisa karena politis. Si pembuat berita sedang berusaha memengaruhi opini publik lewat berita yang dibuatnya. Untuk apa? Menaikkan citra partai yang didukungnya, misalnya.

Alasan lain munculnya berita bohong (setidaknya tendensius) adalah karena faktor ekonomi. Boleh jadi, ada ‘amplop’ yang diterima si pembuat berita dan lalu menjadikan ‘pena’-nya tak lagi ‘tajam’, dan seterusnya.

Kecuali lewat pendidikan formal, maka memupuk kecerdasan spiritual (dengan salah satu cirinya tak suka berbohong) bisa kita asah dari sejumlah sumber. Misal, dengan cara aktif mengikuti sekaligus mengritisi perkembangan masyarakat di sekitar kita lewat pemberitaan pers.

Memang, dalam hal turut meningkatkatkan kecerdasan spiritual, pers (tentu saja pers yang baik) termasuk yang bisa memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Tapi, sekali lagi, pers yang bisa berperan turut membangun karakter dan budaya bangsa itu hanyalah pers yang baik yaitu pers yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Dalam konteks ini, kita patut berterima kasih kepada pers yang istiqomah untuk selalu bersikap ‘anti-kebohongan’. []

 

*Alumnus PPs Unair dan dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya

 

Last modified: 09/02/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *