Refleksi atas Cita-cita Pendiri Negeri

Written by | Opini

Oleh: Anwar Djaelani

A-Bung TomoInpasonline.com – Terutama di sekitar Agustus, relevan jika kita menyimak ulang tentang cita-cita dari para pendiri negeri ini. Lalu, jika dihubungkan dengan kondisi negeri di saat ini maka sudah terasakah bahwa ‘mimpi-mimpi’ itu sudah menjadi kenyataan?

Tujuan Mulia

Cita-cita para pendiri negeri ini bisa dilihat pada konstitusi kita. Lewat UUD 1945 –yaitu di bagian Pembukaan yang terdiri dari empat paragraf- kita bisa mengetahui apa cita-cita para pendiri negeri ini.

Sebelum menyebut cita-citanya, di bagian awal Pembukaan UUD 1945 itu ada pernyataan para pendiri negeri yang sangat menarik dan bahkan sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang religius (untuk tak menyebut Islami). Disebutkan, bahwa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Terutama dalam hal meraih kemerdekaan, pernyataan di atas membuktikan secara jelas tentang keyakinan dari para pendiri negeri ini yang mengakui bahwa mereka adalah hamba yang dhaif di hadapan Allah. Lalu, berbekal dengan “suasana batin” seperti itulah, para pendiri negeri ini merumuskan tujuan (baca: cita-cita) Pemerintah Negara Indonesia. Pertama, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Kedua, “Memajukan kesejahteraan umum”. Ketiga, “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keempat, “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Lantas, atas dasar apa tujuan yang mulia di atas hendak dicapai? Ada lima dasar: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sekali lagi, jika melihat keseluruhan isi Pembukaan UUD 1945, nuansa religiusitasnya sangat kental. Kita coba ulang lagi rangkaian petikan ini. Bahwa, pandangan hidup paling utama dari negeri ini adalah keyakinan yang teguh terhadap “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara, Tuhan yang dimaksud adalah yang “Atas berkat rahmat Allah” bangsa Indonesia “Menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Sekarang, dengan niat untuk “mengambil pelajaran” dari apa yang sudah kita lalui, mari kita coba buka sebagian “perjalanan” kita sebagai sebuah negara merdeka yang memiliki cita-cita luhur. Pengakuan bahwa kemerdekaan negeri ini semata-mata karena rahmat Allah adalah ungkapan syukur kita kepada-Nya. Sementara, manifestasi rasa syukur yang benar adalah dengan cara menaati semua perintah Allah dan meninggalkan segenap larangan-Nya.

Religiuskah kita jika negeri ini kerap menjadi ‘juara’ untuk hal-hal yang buruk? Cermatilah ‘wajah’ kita ini. Pertama, sering menjadi ‘juara’ korupsi. Misal, bacalah www.m.bisnis.com 05/12/2013. Di situ ada laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) —lembaga pemeringkat yang berbasis di Hongkong— yang menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand sebagai negeri paling korup se-Asia. Adapun ‘Juara I’-nya adalah Filipina. Sementara, di tahun sebelumnya si ‘Juara I’ adalah Indonesia.

Kedua, dalam hal pornografi kita juga ‘berprestasi’. Cermatilah berita ini: “Indonesia Peringkat Pertama Pengunduh Pornografi Anak di Internet” (www.okezone.com 21/06/2014). Disebutkan bahwa, 70 persen video kekerasan dan pornografi terhadap anak di-upload dari Indonesia. Kecuali itu, jauh sebelumnya -berdasarkan hasil riset kantor berita Associated Press (AP)- Indonesia merupakan surga pornografi nomor dua di dunia setelah Rusia. Sementara, sumber lain –yaitu salah sebuah badan riset internasional- menempatkan negeri ini sebagai nomor dua setelah Swiss (www.suaramerdeka.com 17/07/2003).

Sekarang, kita coba telusuri pencapaian cita-cita “Melindungi segenap bangsa Indonesia” dan “Memajukan kesejahteraan umum”. Lihatlah berita-berita berikut ini.

Oleh karena tekanan ekonomi, banyak warga Indonesia (termasuk wanita) yang memilih untuk bekerja ke luar negeri. Tapi, setidaknya untuk sebagian, bukan kesejahteraan yang didapat tetapi malah penderitaan. Beragam derita yang mereka temui seperti tak mendapat gaji, dianiaya, dan bahkan sampai terancam mendapat hukuman mati (karena ‘terpaksa’ melakukan tindakan kriminal).

Di Hongkong, Erwiana Sulistyaningsih bernasib buruk. Dia diduga dianiaya sang majikan. Tak hanya itu, terungkap pula bahwa dia belum menerima upah dan tak bisa menikmati ketentuan hari libur (www.tribunnews.com 29/04/2014). Sementara, “TKW Sihatul Terancam Cacat Permanen”. Apa pasal? Di Taiwan, Sihatul Alfiyah, bekerja di kandang sapi dan merawat 300 sapi seorang diri. Dia dinyatakan koma sejak 22/09/2013 dan dari rekam medis ditemukan luka di bagian belakang kapala akibat benturan benda tumpul. Diduga Sihatul mengalami penyiksaan oleh majikannya (www.tribunnews.com 07/05/2014).

Bacalah, situs www.tribunnews.com yang pada 27/03/2014 menurunkan berita, bahwa ada “265 TKI Menunggu Vonis Hukuman Mati di Luar Negeri”. Misal, Satinah pernah terancam hukuman mati di Arab Saudi. Warga Ungaran, Jawa Tengah, telah dijatuhi hukuman mati di Qassim setelah terbukti bersalah membunuh majikannya pada 2007 dan dia pun lari dengan membawa 37.970 riyal (www.jpnn 04/04/2014). Di Malaysia, Wilfrida juga sempat terancam hukuman mati (www.tribunnews.com 07/04/2014).

Berikutnya, soal cita-cita “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Seriusilah berita berikut ini: “Gemar Membaca di Indonesia hanya 0,001”. Intinya, menurut data (UNESCO), pada 2012 indeks minat membaca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang saja yang punya minat baca (www.linggapos.com 28/09/2013).

Ayo, Bangkit!

Kecuali yang telah dipaparkan di atas, masih banyak fakta lain yang menunjukkan ketidak-sesuaian antara cita-cita para pendiri negeri ini dengan kenyataan yang ada sekarang. Maka, menjadi tugas kita bersama untuk sesegera mungkin mengubah keadaan menjadi sesuai dengan cita-cita dari para pendiri negeri ini. []

Tulisan dimuat di harian Duta Masyarakat 13 Agustus 2014

Last modified: 15/08/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *