Politik Liberalisasi Amerika Serikat terhadap Pendidikan Islam di Indonesia – Tinjauan Kritis atas Globalisasi (Tulisan 2)

Written by | Pemikiran Islam

Washington Post[2] mencatat, pendekatan AS terhadap Islam di Indonesia mengalami perubahan besar-besaran setelah menara kembar itu dihantam dua pesawat. AS menyediakan dana untuk ‘mencetak’ Muslim moderat.

Pemerintah Paman Sam menerbangkan ratusan ulama Indonesia untuk ikut kursus tentang Islam moderat di AS. Mereka menerbitkan buku panduan khutbah. Memberi garis besar isu-isu khutbah. Bahkan, salah satu organisasi swasta di AS mencoba membuatkan materi khutbah Jumat untuk para ulama Indonesia.[3]

Dalam skala tertentu, apa yang dilakukan AS di awal dekade 2000-an terhadap Islam di Indonesia, meniru strategi perang dingin mereka terhadap komunisme dan Uni Sovyet. Kala itu, Amerika Serikat mengucurkan dana secara besar-besaran guna menyokong program pendidikan dan budaya antikomunisme.

Hal itulah yang sudah dilakukan The Asia Foundation di sini. Yayasan yang disokong resmi oleh Pemerintah AS, tapi lewat saluran dana rahasia. The Asia Foundation bekerja sama dengan USAID membiayai program ‘Islam and Civil Society’ di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda yang mendirikan Jaringan Islam Liberal tahun 2001 menyatakan bahwa pendiran JIL dimaksudkan untuk menantang pemikiran Islam garis keras. The Asia Foundationlah yang menyediakan dana bagi Ulil untuk mendirikan JIL (Jaringan Islam Liberal).

Lewat dana itu, JIL bisa siaran mingguan di salah satu radio swasta. Tema siaran tentu saja mengkritisi interpretasi literal yang biasa dilakukan Islam garis keras. JIL juga sempat membuat program televisi yang memperlihatkan Islam warna-warni di Indonesia. Tak lupa mereka menyebarkan selebaran Islam liberal di sejumlah masjid.

Masih berdasarkan sumber dari sebuah berita di koran The Washington Post  tanggal 25 Oktober 2009, ternyata pemerintah Amerika Serikat benar-benar menyukai model moderat Ulil. Ia diterbangkan ke Washington pada tahun 2002. Di ibu kota negara ini, Ulil bertemu barisan pejabat penting. Mulai dari Depdagri Amerika Serikat hingga Pentagon. Ia berdialog dengan Paul D Wolfowitz, saat itu menjabat Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat dan mantan duta besar Amerika Serikat di Indonesia.

Tapi, pendekatan kultural ala Perang Dingin ini gagal total. Dengan kemunculan  JIL, terdapat lebih banyak lagi umat Islam yang anti Amerika Serikat. Mereka menilai Amerika bermain di air keruh, mencoba mengoyak-ngoyak akidah Islam. Ini ditambah hadirnya perang Irak. Perang Irak ‘menghancurkan semuanya’. Kebencian dan sentimen anti AS terus bermunculan; semakin hari semakin besar. Ulil pun terkena imbasnya. Ia mulai menerima ancaman dibunuh setelah mendirikan JIL. Reaksi keras terus bertebaran. Majelis Ulama Indonesia malah menolak paham JIL. MUI mengeluarkan fatwa untuk menolak sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

Semuanya kembali berujung ke masalah uang. The Asia Foundation tak lagi mengucurkan dana bagi JIL. Mereka mengubah strateginya. The Asia Foundation masih tetap menyediakan dana bagi organisasi Islam lokal, tapi menghindari isu keagamaan yang sensitif.

Dana akan mengucur bila ada proposal seperti pelatihan pengawasan anggaran, pemberantasan korupsi, hingga penanganan kemiskinan. ”Yayasan menilai perdebatan pemikiran Islam di Indonesia akan lebih maju tanpa keterlibatan organisasi internasional,” kata Kepala Kantor The Asia Foundation Jakarta, Robin Bush.[4]

Menurut  The Washington Post , Pemerintah AS selalu memerhatikan arah angin Islam di Indonesia. Betapa tidak. Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Jumlah penganut Islam di nusantara lebih banyak dari jumlah seluruh penduduk negara Teluk Persia.

”Ini adalah pertarungan ide. Pertarungan masa depan Indonesia,” kata Kepala USAID Jakarta, Walter North. Pertarungan ini mencuatkan pertanyaan penting: Cukupkah AS hanya mengamati perkembangan Islam di Indonesia, atau terjun langsung dan mempromosikan Muslim sesuai keinginan AS.[5]

            Kebijakan strategis program penyebaran konsep dan pemikiran Barat dirumuskan dengan sangat detail oleh Cheryl Bernard.[6] Dalam bukunya, Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies (2003), Cheryl menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After : Next Steps in the War on Terror (2005).

            Saran-saran Cheryl Bernard baik taktis maupun strategis dilaksanakan dengan baik oleh Amerika Serikat melalui kebijakan bantuan luar negerinya. Target bantuan itu tidak lain adalah untuk merubah cara berpikir dan berkeyakinan umat Islam dan untuk mediumnya adalah pendidikan. Maka dari itu, Donald Rumsfeld terang-terangan menyatakan bahwa Amerika Serikat perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka.[7]

            Lembaga donor yang dimaksud Donald Rumsfeld dan yang kini aktif bergerak itu di antaranya adalah The Asian Foundation (TAF). Dalam situs resminya, TAF menyebutkan sebagai berikut :         

“recognizing the importance of reinforcing inclusive and pluralist value within Indonesia’s Muslim majority population, The Asia Foundation has been supporting a diverse group of mass based Muslim groups since 1970s. In the context of an increasingly diverse Islamic society in Indonesia, The Foundation now support over 30 Muslim non-Government Organization (NGO), in their effort to promote the concept that Islamic values can be the basic for a democratic political system, non-violance, and religious tolerance. In the area of civic education, human right, intercommunity reconciliation, gender equality and inter-faith dialogue, the Foundation works with these NGO’s and mass based organization in their effort to make Islam a catalyst for democratization in Indonesia….The programs include training for religious leaders, studies examining gender issues and human rights in Islam, civic education course at Islamic institute, Muslim’s women advocacy centers and the strengthening the pluralist and tolerant Islamic media”.[8] 

     “Tidak ada makan siang yang gratis”, merupakan prinsip umum orang Amerika. Dari keterangan The Asia Foundation di atas jelas sekali bahwa program yayasan asing itu adalah untuk memperkenalkan elemen penting dalam peradaban Barat seperti persamaan gender, hak asasi manusia, pluralisme agama, demokrasi dan lain-lain yang kesemuanya berdasarkan pandangan-duni (worldview) Barat. Selain daripada itu, disebutkan pula bahwa The Asian Foundation bersama USAID (US Agency for International Development) juga mempunyai program reformasi pendidikan di seluruh Indonesia, baik pendidikan formal maupun non formal, termasuk reformasi pendidikan di pesantren. Dalam reformasi itu nanti akan diajarkan tentang semua agama, pendidikan sipil, pengembangan kurikulum. Selain itu juga akan diadakan workshop-workshop, training pedagogi, dan kursus serta tutorial tentang prinsip-prinsip pluralisme, multikulturalisme, dan demokrasi. Semuanya, menurut mereka, disusun berdasarkan ajaran Islam. Akan tetapi, kenyataannya berubah menjadi justifikasi Islam terhadap paham-paham tersebut.

     Dari program bantuan yang tujuannya untuk mempengaruhi pemikiran umat Islam ini, The Asian Foundation, Ford Foundation, Libforall dan yayasan-yayasan lainnya menggelontorkan dana untuk mensubsidi penerbitan buku-buku berisi paham-paham tersebut. Hasilnya, kini di Indonesia banyak terbit buku-buku atas bantuan dan kerjasama yayasan-yayasan tersebut. Bahkan, LSM-LSM baru bermunculan dengan membawa misi Pluralisme, Liberalisme, Freedom, Feminisme.[9]

     Oleh karena itu, tidak aneh bila program-program pendidikan inklusif-pluralis, liberalisme Islam, multikultural, dialog antar iman, dia antar agama, sosialisasi pernikahan antar agama, dan semacamnya akan mendapat kucuran dana yang deras dari LSM-LSM dan yayasan-yayasan pro-pemerintah Amerika Serikat. Pundi-pundi sejumlah miliaran rupiah yang mudah diraih itu kini menjadi keroyokan para aktivis Islam liberal, baik yang tergabung dalam JIL, LKIS, sebagian aktivis NU-Muhammadiyah-IAIN (UIN), Paramadina, dan lain-lain.

     Dalam situs resmi USAID ditegaskan bahwa tujuan mereka di antaranya untuk mendorong politik sekular di Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai kebebasan, toleransi beragama, dan pluralisme :

“Thus, the program seeks to promote the twin objectives of the U.S. foreign policy of strengthening democracy in the largest Muslim country and of engaging Muslim leaders and organizations in fight against extremism and terrorism”.[10]

(Kemudian, program-program tersebut mencoba mempromosikan dua tujuan kebijakan luar negeri A.S. yakni memperkuat demokrasi di negara Muslim terbesar di dunia dan mengajak para pemimpin Muslim serta organisasi guna berjuang melawan ekstrimisme dan terorisme)

     Dana yang digelontorkan oleh LSM semacam The Ford Foundation, TAF dan USAID bisa dibilang tidak terbatas. Pertanyaan selanjutnya adalah, darimana dana itu mereka peroleh? Siapakah donaturnya? Siapa donatur resminya? Dalam keterangan resminya di situs www.asiafoundation.org, TAF mengakui bahwa donasinya diperoleh dari American Jewish World Service, Charles Stewart Mott Foundation, The Ford Foundation, The Freeman Foundation, The William and Flora Hewlett Foundation, The Henry Luce Foundation, Inc., The McConnell Foundation, The Myer Foundation, starr Foundation, The Sungkok Foundation for Jurnalism, Tang Foundation dan US-China Legal Cooperation Fund. Di situ jelas tertera organisasi Yahudi, American Jewish World Service.  

            Jika ditelusuri sejarahnya, Ford Foundation berperan besar dalam membiayai proyek-proyek penelitian Islam di Chicago University, Amerika Serikat; tempat berkumpulnya tokoh-tokoh Islam Liberal dari seluruh dunia. Profesor Leonard Binder[11] dalam buku Islamic Liberalism mengakui bahwa TAF pada tahun 1974-1978  mendanai penelitian di beberapa negeri Islam; tentang Islam dan perubahan sosial. Bersama Fazlur Rahman; Leonard Binder dan beberapa cendekiawan lain- termasuk Nurkholis Madjid- mengerjakan proyek penelitian di dunia Islam. Di antara hasil proyek mereka adalah buku Islamic Liberalism yang diterbitkan tahun 1988.[12]

            Penggelontoran dana untuk membangun proyek bersama antara LSM-LSM Amerika Serikat dengan komunitas Islam Liberal, merupakan fakta-fakta yang berserak dan jarang diungkap ke publik. Nuim Hidayat, penulis yang concern menyoroti fenomena Islam Liberal berhasil mengungkap fakta mengenai korelasi erat antara LSM-LSM dan yayasan-yayasan yang berafiliasi ke pemerintah Amerika Serikat dengan jaringan Islam Liberal di tanah air. Dalam release asli dari TAF tertulis dengan jelas :

“The Asia Foundation turut mendukung Kantor 68H, yakni kantor berita radio independen yang baru pertama kali di Indonesia, sejak didirikan pada awal tahun 1999….Kantor Berita 68H mempekerjakan sebuah tim wartawan di Jakarta yang bertugas membuat dan menyebarluaskan berita nasional serta tajuk-tajuk karangan ke stasiun-stasiun daerah di seluruh pelosok Indonesia. Stasiun-stasiun radio daerah ini juga mengirimkan berbagai berita tentang daerah mereka kepada Kantor Berita 68H. Berita-berita dan tajuk karangan ini disebarluaskan kepada puluhan juta pendengar radio di seluruh wilayah Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua melalui sebuah jaringan yang mencakup hampir 200 mitra stasiun radio di 28 provinsi, yang dihubungkan melalui internet dan teknologi satelit. Bahan-bahan berita tersebut juga dimuat, baik dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, dalam situs (hhtp://www.radio.68.com) milik Kantor Berita 68H.

Dengan dukungan The Asia Foundation, Kantor Berita 68H memberikan pelatihan kepada para wartawan radio di seluruh pelosok Indonesia, baik yang menyangkut teknologi jaringan nasional maupun tentang keterampilan dan profesionalisme dalam pemberitaan.

                        Untuk mengurangi bias gender dalam pemberitaan, The Asia Foundation membantu sebuah proyek percobaan berupa pelatihan bagi 30 orang wartawan media cetak yang berasal dari Indonesia Timur mengenai berbagai persoalan gender dalam sebuah program radio mingguan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang menjangkau sekitar satu juta pendengar di daerah Yogyakarta.

            Mengingat pentingnya mendorong nilai-nilai civil society yang eksklusif di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sejak tahun 1970-an. The Asia Foundation telah memulai bekerja sama dengan berbagai kelompok organisasi non-pemerintah, sebagian di antara mereka berafiliasi dengan dua organisasi terbesar Muslim di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, melalui program Islam dan Civil Society. Kelebihan program ini adalah mendekati isu civil society  dari sudut perspektif Islam dan menjadi jalan yang efektif untuk memperkuat nilai-nilai pluralitas dan demokrasi di dalam komunitas Muslim dan karena itu mampu masuk ke dalam semua tingkatan masyarakat. Program ini meliputi studi-studi tekstual keagamaan, forum-forum publik pemahaman Islam tentang hak-hak asasi manusia, isu gender, dan demokrasi; kuliah dan pelajaran tentang pendidikan civic di lembaga-lembaga pendidikan Islam; penguatan pluralisas dan toleransi melalui media agama; pusat krisis dan advokasi untuk perempuan Muslim; kampanye perdamaian dan rekonsiliasi; serta pelayanan dukungan para legal.

Asia Foundation mendukung pengembangan dan implementasi program berkelanjutan mandiri kursus pendidikan civic bagi 47 IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) di seluruh Indonesia. Dukungan Asia Foundation terhadap program pendidikan civic yang lain adalah meliputi kursus eksplorasi lima prinsip dasar dalam Islam tentang deklarasi hak-hak asasi manusia (LKIS-Lembaga Kajian Islam dan Sosial), membangun civil society melalui kelompok diskusi (IRM-Ikatan Remaja Muhammadiyah), dan –training demokrasi untuk kalangan pesantren yang dilakukan oleh P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). 

                    Asia Foundation mendukung penerbitan yang mempromosikan Islam toleran dan pluralis berdasarkan pada civil society. Penerbitan pamflet, majalah, jurnal, dan buku didesain untuk menyerukan kepada khalayak ramai dan memberikan masukan bagi kualitas perdebatan tentang isu-isu tersebut di dalam komunitas Muslim. Program tersebut meliputi Jurnal Tasywirul Afkar yang diterbitkan Lakpesdam, Jakarta; dan Jurnal Gerbang yang diterbitkan oleh elSAD, Surabaya.

Asia Foundation mendukung program-program yang mengkhususkan diri pada pendidikan gender, advokasi perempuan, dan penelitian untuk penafsiran teks-teks Islam yang progresif berkaitan dengan kesetaraan gender dan hak asasi perempuan. Sejak 1997 Fatayat NU telah menciptakan dan memelihara secara berkelanjutan 25 jaringan lembaga konsultasi dan penguatan perempuan yang berbasis di masyarakat desa (LKP2) sebagai crisis center dengan dukungan dari Asia Foundation.

Asia Foundation juga mendukung dimungkinkannya Korp Perempuan-Majelis Dakwah Islam (KP-MDI) untuk melakukan training bagi para pendakwah perempuan tentang kesetaraan gender, hak-hak asasi perempuan, dan demokrasi melalui khotbah maupun pengajian-pengajian.

Syarikat, melalui dukungan Asia Foundation bekerja untuk upaya rekonsiliasi bagi mereka yang menjadi korban dalam kekerasan komunal dalam transisi Orde Baru tahun 1965-1966. Bertujuan untuk mengurangi meluasnya konflik, Pusat Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta melakukan penelitian akar-akar konflik dan kemungkinan rekonsiliasi hubunganNU-Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam pada umumnya”.[13]

 

            Sejumlah karya tulis pesanan funding-funding asing yang sebagian besar dananya berasal dari Yahudi ini mewarnai diskursus pemikiran Islam di tanah air. Agenda-agenda mereka dikemas lewat tema-tema seperti pluralisme, multikulturalisme, toleransi beragama, kebebasan, kesetaraan gender, HAM, dan yang terbaru adalah wacana tentang multikulturalisme.

            Tercatat sejumlah buku telah dilahirkan dari rahim LSM-LSM “binaan” funding-funding asing ini. Yang paling banyak disoroti antara lain buku Fikih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina dan The Asia Foundation, novel Perempuan Berkalung Sorban yang didanai oleh Ford Foundation berkerjasama dengan Fatayat NU. Kedua buku ini sempat mengundang kontroversi yang luas; berbagai pihak memberikan komentar dan tanggapan. Hal ini akibat isi kedua buku itu sudah sangat melenceng jauh dari konsep-konsep yang terdapat dalam ajaran Islam. Buku Fikih Lintas Agama ditulis oleh tokoh-tokoh liberal tanah air[14]; dalam mukadimahnya mereka menggugat konsep ‘fikih’ sekaligus konsep-konsep yang terdapat dalam ilmu ‘fikih’; tentu saja dengan menghujat ulama madzhab fikih. Imam Syafi’i yang meletakkan metodologi ushul fikih tak luput dari hujatan karena mereka tidak sanggup mencari celah kesalahan Imam Syafi’i; sehingga mereka menulis kritik yang ambigu :

 

“Kita lupa, Imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.”[15]

 

Hujatan terhadap ulama “belum seberapa” dibandingkan dengan pembongkaran epistemologi Islam, dengan menyamakan Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama Yahudi dan Nasrani dan menyamakan semua agama, konsep Halal-Haram merupakan produk budaya abad ke-2 Masehi, dan masih banyak lagi. Agus Hasan Bashori menulis sebuah buku tandingan berjudul Koreksi Total Buku Fikih Lintas Agama yang di dalamnya memuat pembongkaran terhadap kesalahan fatal buku Fikih Lintas Agama. Menarik untuk direnungkan, Agus Hasan Bashori menegaskan pada bab terakhir bukunya, bahwa masa depan bukan milik pluralis karena sesungguhnya akidah yang qath’i dan keimanan yang pasti adalah masa depan yang ada di tangan agama Islam, bukan Islam Liberal. Hal ini untuk menjawab pernyataan Ulil yang mengesankan dia sangat optimis dan over percaya diri akan masa depan Islam Liberal.

Kemudian pada tahun 2008 umat Islam di tanah air dibuat terhenyak oleh sebuah film besutan sutradara Hanung Bramantyo, Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Film yang melakukan pembunuhan karakter terhadap sosok pendakwah ini sekaligus mencoreng-moreng nama pesantren sebagai lembaga pendidikan yang  ideal. Film ini diilhami oleh novel dengan judul yang sama karangan Abidah al-Khalieqy. Dia adalah alumni pesantren Persis (Persatuan Islam), Bangil, Pasuruan. Saat novel ini diluncurkan pertama kali pada tahun 2005, respon publik tidak terlalu besar, sebelum akhirnya filmnya dipublikasikan dan berhasil menarik perhatian khalayak luas.[16]

PTAI adalah satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Islam yang menjadi tempat menggali air ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Saat ini airnya sudah kering, sehingga tidak ada lagi yang bisa digali kecuali hanya membuat gundukan tanah yang nantinya akan mengakibatkan longsor. Tahun 2006 Litbang Depag RI menjelaskan temuannya tentang liberalisme keagamaan di sejumlah kampus di Indonesia. Di kampus-kampus berlabel Islam itu muncul pemikiran dan aksi nyeleneh.[17]

Dari IAIN Sunan Gunung Jati Bandung pada hari pelaksanaan orientasi mahasiswa baru terdengar teriakan dan spanduk bertuliskan “Selamat Bergabung di Area Bebas Tuhan”. Dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sejumlah dosen mendukung perkawinan campur antar agama. Tahun 2004 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membuat sejarah keilmuan baru; meluluskan tesis yang berjudul “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”. Dari Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang, terbit jurnal “Justisia” , memuat tulisan yang menyerang Al-Qur’an seperti “Al-Qur’an Perangkap Bangsa Quraisy”, “Pembukuan Qur’an oleh Utsman sebagai Kecelakaan Sejarah”, ”Dan Hanya Orang yang Mensakralkan Qur’anlah yang Berhasil Terperangkap Siasat Bangsa Quraisy Tersebut”, “Adakah Sebuah Objek Kesucian dan Kebenaran yang Berlaku Universal? Tidak Ada. Sekali Lagi Tidak Ada. Tuhan Sekalipun”. Dan juga melegalisasi perkawinan sejenis. Dari IAIN Surabaya terjadi kasus pelecehan Nama Allah dan Al-Qur’an; seorang dosen secara sengaja menginjak-nginjak lafadz “Allah” –katanya- sebagai bukti bahwa “al-Qur’an adalah produk budaya, posisi al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput”. Dan dari kampus ini juga lahir tokoh perdamaian kaliber dunia yang diundang ke Israel dan mendapat perhatian luas dari media massa[18].

Dunia liberalisme di kampus Institut Agama Islam Ibrahimi Sukorejo Asembagus pernah diramaikan oleh Abdul Muqsith. Dari STIKA[19] Annuqayah terbit buletin “Fajar” dengan cover berjudul “Islam Yes, Syari’at Islam No” yang lolos dari sensor atau memang lulus sensor. Pada tahun 2007 Sekolah Tinggi berbasis pesantren ini meluluskan skripsi berjudul “Dekonstruksi Tafsir Gender al-Qur’an”, berisi gugatan terhadap al-Qur’an karena dianggap bias gender.[20]

Semua kekacauan di atas berawal dari “tangan dingin” Mukti Ali. Sejak kementerian agama dipimpin oleh Mukti Ali – yang dilanjutkan oleh Munawir Syadzali, para dosen PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) diarahkan belajar Islam ke Barat. Hasilnya saat ini telah nampak, umat Islam menuai buahnya. Dari rahim Barat ini lahirlah banyak pemikir – yang konon katanya Muslim – membesarkan ide Barat di kampus-kampus berbasis Islam.

Pada tahun 1960 Mukti Ali memasukkan mata kuliah Perbandingan Agama dalam kurikulum IAIN. Sedangkan Harun Nasution, yang merupakan perpanjangan tangan Mukti Ali, pada tahun 1973 memasukkan mata kuliah Pengantar Ilmu Agama Islam, Filsafat, Sufisme, Teologi, Sosiologi, dan research methodology ke dalam kurikulum IAIN. Orientalisme dan Oksidentalisme kemudian diperkenalkan pada tahun 1990.[21]

Kemudian dalam upaya untuk memperkuat penyemaian demokrasi di Indonesia, maka mata kuliah Civic Education juga dimasukkan sebagai salah satu mata kuliah umum (kompetensi dasar) yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa IAIN. Awalnya UIN Jakarta yang mempelopori mata kuliah ini pada tahun 2002, pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra[22].

Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia, jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai cara hidup atau way of life. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan umum yang bernapaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernapaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.[23]

Pesantren[24] sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Meskipun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi terdapat IAIN, namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam – terutama di Jawa – masih berada pada sistem pesantren. Posisi dominan yang dipegang oleh pesantren ini sebagian disebabkan oleh suksesnya lembaga tersebut menghasilkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam. Sebagai pusat-pusat pendidikan Islam tingkat tinggi, pesantren juga mendidik guru-guru madrasah, guru-guru lembaga pengajian, dan para khatib Jumat. Keberhasilan pemimpin-pemimpin pesantren dalam menelurkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi adalah karena metode pendidikan yang dikembangkan oleh para kyai. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan pra santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang, dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.[25]

Idealisasi pesantren semacam ini kemudian menuai kritikan dari Nurkholis Madjid. Melalui sejumlah buku yang ditulisnya, seperti Bilik-bilik Pesantren – Sebuah Potret Perjalanan; Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indoneia, dan lain-lain; Nurkholis hendak memodernisasi pesantren, yang pada akhirnya justru menimbulkan liberalisasi pesantren; sebab pendidikan dalam pemikiran Nurkholis Madjid adalah pendidikan yang mampu merubah cara berpikir peserta didiknya menjadi liberal dan demokratis. Dengan mengutip ahli pendidikan, Alan Simpson, menurut Nurkholis, apapun jenis dan bentuk pendidikan yang ingin dicarikan bentuknya yang berarti adalah pendidikan yang dapat membentuk manusia terpelajar dan bersifat liberal. Dan menurutnya lagi, ciri-ciri positif dan konstruktif yang membedakan antara pendidikan yang baik dari yang jelek atau yang sungguh-sungguh dari yang setengah-setengah terkandung dari perkataan “liberal” itu. Jadi sikap “liberal” itu cerminan utama dari wujud sumber daya manusia tersebut. [26]

Selanjutnya, aspek liberal yang menjadi tekanan utama dalam mewujudkan tujuan pendidikan akan mendekatkan pada proses demokratisasi yang menjadi cita-cita suatu bangsa. Asa liberal menumbuhkan sikap yang demokratis dan toleran terhadap pemikiran-pemikiran yang muncul; sehingga sikap ini sangat mendukung sekali dalam wacana masyarakat madani; sebab masyarakat madani tidak terlepas dari unsur dasarnya, yaitu pluralitas dan majemuk.[27]

Gambaran lugas dari usaha kalangan intelektual liberal yang berupaya melakukan liberalisasi terhadap ajaran Islam yang tertuang dalam khazanah pesantren, antara lain, adalah apa yang dilakukan oleh organisasi liberal yang menamakan diri mereka Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Forum ini dibidani antara lain oleh Sinta Nuriyah, Masdar F. Mas’udi, dan Husein Muhammad. Pada tahun 2001, FK3 meluncurkan buku kontroversial berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab ‘Uqudul-Lujain”. Sebagaimana tersirat dari judulnya, isi buku ini memang mengkritik habis tatanan relasi suami-istri dalam Islam yang dituangkan oleh penulis kitab ‘Uqûdul-Lujain, Syekh Nawawi Banten. Forum ini mengklaim telah melakukan penelitian dan kajian selama empat tahun terhadap kitab ‘Uqûdul-Lujain. Penelitian tersebut mengungkapkan sejumlah kesalahan dalam kitab ‘Uqûdul-Lujain yang dinilai bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.[28]

Menurut kelompok liberal yang tergabung dalam FK3, kitab ‘Uqûdul-Lujain sangat diskriminatif dan merugikan perempuan. Tatanan relasi suami-istri yang tertuang dalam ‘Uqudul-Lujain dinilai sudah tidak relevan dengan konteks kehidupan masa kini, dan karena itu perlu dirombak total. Di samping itu, mereka menganggap Syekh Nawawi Banten cenderung tidak objektif dalam melakukan kajian, karena beliau hanya melakukan pembelaan terhadap kaum laki-laki. Padahal Syekh Nawawi Banten adalah seorang ulama yang disepakati keabsahan kajiannya oleh para ulama di seluruh Asia Tenggara. Bahkan di Mekah, beliau mendapat julukan sayyidu ‘ulamâ’il-Hijâz (penghulu para ulama Hejaz) lantaran kepakarannya di bidang fikih dan tafsir tak terbantahkan. Tentu saja, orang yang memiliki akal sehat akan dengan mudah menolak mentah-mentah kelompok yang ingin merombak tatanan Islam terkait dengan relasi suami-istri dan rumah tangga ini, terlebih setelah kemudian kelompok liberal ini justru menjadi pembela tindakan-tindakan amoral di garda depan. Merekalah kelompok yang tidak risau jika lelaki dan perempuan non-mahram berciuman dengan alasan silaturrahim dan tradisi, membela pornografi dan pornoaksi dengan dalih kebebasan berekspresi, menolak pemberangusan lokalisasi pekerja seks komersial dengan dalih profesi, dan lain sebagainya.[29]

Di samping gerakan mengobrak-abrik ajaran Islam di pesantren, sebagaimana tergambar dengan jelas dari upaya riil yang dilakukan oleh FK3 di atas, kelompok liberalis juga berupaya menopang gerakan ini dengan cara memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran liberalisme yang sekiranya bisa diterima kalangan pesantren dengan tanpa kejanggalan atau penolakan. Upaya semacam ini rajin dilakukan oleh lembaga-lembaga dan organisasi kelompok liberalis, salah satunya adalah Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Dalam hal ini, misalnya, P3M pernah giat menyelenggarakan “Pelatihan Fikih Tasamuh” (gagasan fikih toleransi) untuk kader-kader pesantren atau para santri. Di sini, pada dasarnya P3M mengajari kader-kader pesantren tentang pluralieme agama atau paham yang menganggap semua agama adalah benar. Bagaimanapun, semua insan pesantren paham betul jika menurut mereka, agama yang benar hanya Islam. Akan tetapi tajuk pelatihan yang berupa “Fikih Tasamuh” tampaknya sengaja dipilih oleh P3M agar akrab dengan dunia pesantren dan tidak menimbulkan rasa curiga. Dengan demikian, sebagaimana mudah diduga, orang-orang pesantren menghadiri undangan pelatihan ini tanpa ada rasa keberatan sama sekali, kendati kemudian mereka diajari tentang prinsip-prinsip pluralisme agama–yang mereka istilahkan dengan toleransi beragama atau kerukunan antar-pemeluk agama.[30]

Liberalisasi pesantren bukan tidak mendapat tentangan dari kalangan internal pesantren sendiri. Kehadiran kaum santri di pentas pemikiran liberal tidak serta merta direstui atau didukung oleh para kyai. KH. Mas Subadar yang merupakan sesepuh NU mendesak agar pengikut Jaringan Islam Liberal (JIL) yang masuk dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama di pusat maupun daerah dibersihkan. Permintaan KH. Mas Subadar itu disampaikan saat menghadiri acara Halal Bi Halal dan Koordinasi PWNU dan Cabang NU seJatim di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Selasa, 23 November 2004. Hadir dalam acara itu antara lain Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, KH Masduki Mahfud (Rois Syuriah PWNU Jatim). Alasan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pasuruan ini pemikiran JIL tidak cocok dengan pemikiran NU. Bahkan KH. Mas Subadar menegaskan JIL telah melanggar Qonun Asas NU (landasan dasar NU), yakni pidato penting Rois Akbar KH. Hasyim Asy’ary pada Muktamar NU ke-3 tahun 1928 di Surabaya dan Muktamar ke-4 tahun 1929 di Semarang.[31]

NU yang nota bene lembaga kaum santri juga tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran liberal. Konferensi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum “AL-YASINI” Areng-areng Pasuruan pada tanggal 11-13 oktober 2002 mengeluarkan taushiyah atau rekomendasi yang intinya menolak pemikiran-pemikiran JIL. Di antara isi rekomendasi tersebut antara lain berbunyi:

 

”Kapasitas institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran ‘Islam Liberal’ dalam masyarakat. Apabila pemikiran ‘Islam Liberal’ tersebut dimunculkan oleh pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istiabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU).[32]

 

 

Tidak hanya kalangan internal NU yang merasa prihatin dengan liberalisasi di pesantren. Menyikapi kontroversi yang mendiskreditkan pesantren semacam ini, Dr. Adian Husaini, tergerak untuk membuat novel berjudul Kemi : Cinta Kebebasan yang Tersesat. Dengan novel ini, Dr. Adian berupaya membersihkan nama pesantren dan kyai yang sudah dicoreng-moreng oleh novel PBS; sekaligus counter terhadap virus liberalisme yang sudah masuk ke pesantren. Dalam sebuah tayangan di TV One, Prof. Ali Mustafa Ya’qub yang mewakili MUI terlihat sangat geram terhadap film dan novel PBS yang sangat membabi-buta menghujat Islam lewat penggambaran pesantren yang kolot dan sosok kyai yang konservatif. Nuansa gender sangat kental mewarnai keseluruhan isi novel.

Buku-buku terjemahan juga tidak luput dari proyek liberalisasi oleh funding-funding asing. Sebut saja buku yang ditulis oleh Khaled Abou el-Fadl[33], Speaking in God’s Name (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan Atas Nama Tuhan) dan Islam and the Challenge of Democracy (yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Islam dan Tantangan Demokrasi). Kedua buku ini mencoba memasarkan dan meyakinkan publik Muslim agar meyakini pluralisme dan demokrasi sebagai jalan terbaik bagi umat Islam guna menghadapi dunia yang semakin global. Dengan kata lain, syariat wajib dikorbankan demi terciptanya ruang pluralistik yang autentik, dengan demokrasi sebagai “the last man standing”. Abou el-Fadl ingin menyatakan, mau tidak mau, suka tidak suka, umat Islam harus menerima kenyataan bahwa Islam harus memberikan topangan budaya bagi berkembangnya demokrasi. Semua demi “rezim” globalisasi yang tidak akan sanggup dibendung oleh umat Islam.

 

 

           

 

 

 

*Penulis adalah peneliti InPAS dan Mahasiswa Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

 


[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 43.

[2]  The Washington Post, 25 Oktober 2009.

[3] Ibid.,

[5] Ibid.,

[6] Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap Al-Qur’an, dan merupakan symbol pemaksaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalizad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W.Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) khusus untuk Teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu pada tahun 1980 ia bekerja di bawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi Perang Irak tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris Menteri Pertahanan.

[7] Harian Republika, 3 Desember 2005.

[9] Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 67.

Salah satu contoh bagus buku hasil pesanan yayasan asing adalah novel Perempuan Berkalung Sorban. Novel karangan Abidah al-Khalieqy ini diterbitkan atas kerjasama antara Fatayat NU dan Ford Foundation. Novel ini sempat mengundang kontroversi ketika filmnya dibuat. Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub sampai harus angkat bicara dan melakukan penelitian terhadap film yang diangkat dari novel bergenre gender tersebut. Akhirnya MUI meminta agar film ini ditarik dari peredaran karena ceritanya sangat melecehkan Islam. Masih banyak contoh lain dari buku pesanan yayasan asing yang tidak bisa disebutkan satu-persatu di sini.

[10] www.usaid.gov/policy/cdie/notes10.html. Diakses 20 November 2010.

[11][11] Leonard Binder adalah akademisi Yahudi yang memperkenalkan istilah ‘Islam Liberal’ (Islamic Liberalism).

[12] Leonard Binder, Islam Liberal : Kritik terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, (Jakarta : Pustaka Pelajar : 2001), hal.v.

[13] Nuim Hidayat melakukan investigasi tentang  funding-funding raksasa berkantong tebal yang sanggup menyediakan dana tak terbatas bagi aktivitas liberalisme di Indonesia. Sejumlah nama funding kaliber dunia seperti The Asia Foundation, Ford Foundation dan USAID ada di balik aktivitas sekularisme dan liberalisme. Visi misi serta tujuan mereka yang tidak lepas dari agenda sekularisme dan liberalisme secara eksplisit tertulis dalam situs resminya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di buku Imperialisme Baru, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal. 104.

[14] Tercatat nama-nama seperti Nurkholis Madjid, Kautsar Ashari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF serta Mun’im A. Sirry (editor). Anehnya, tiap tulisan dalam buku ini tidak dicantumkan nama penulisnya meski di sampul bukunya tertulis nama-nama seperti yang sudah disebutkan di atas.

[15] Lihat Fikih Lintas Agama, Mun’im A. Sirry (ed.), bagian Mukadimah, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina berkerjasama dengan The Asia Foundation, 2003), hal. 5.

[16] Film PBS berhasil mendongkrak pasar karena didukung pemasaran yang gencar dan intensif, ditambah dengan sistem bintang yang dipakai oleh sutradara. Kritik terhadap novel feminis pesanan Ford Foundation ini bisa dilihat di tulisan Kartika Pemilia, Konstruksi Feminisme dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban, bisa diakses di http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:kritik-terhadap-konstruksi-feminisme-dalam-novel-perempuan-berkalung-sorban&catid=32:gender&Itemid=100

[17] Dr. HM Afif Hasan, M.Pd, Membongkar Akar Sekularisme : Fragmentasi Ortodoksi Islam, (Malang : Pustaka Bayan, 2008), hal. 43.

[18] Ibid., hal. 44.

[19] STIKA adalah Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah, dengan tiga jurusan : Pendidikan Agama Islam, Mu’amalat, dan Tafsir Hadits. Berkedudukan di dalam komplek PP Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. STIKA merupakan satu-satunya perguruan tinggi terbaik di Madura dan salah satu PTAI terbaik di Jawa Timur sejajar dengan beberapa fakultas di IAIN Surabaya, UIN Malang, dan UMM Malang. (Sumber : Buku Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Dikti Depag RI, 2005).

[20] Ibid.,

[21] Adian Husaini, Pemikiran Modern Ala Barat : Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia, http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=138:pemikiran-modern-ala-baratparadigma-baru-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=1:adian-husaini, diakses 26 September 2010 dan Fuad Jabali dan Jamhari (ed.), IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 33. Harun Nasution menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1973-1984).

[22] Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban : Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 45.

[23] Lihat Mochtar Buchori, Spektrum Problematika  Pendidikan di Indonesia, cet. Ke-1, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1994), hal. 243-244, dikutip dari Drr. Yasmadi, M.A., Modernisasi Pesantren-Kritik Nurcholis Madjid  terhadap Pendidikan Islam Tradisional, edisi revisi, cet. Ke-2, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005(, hal. 58-59.

[24] Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa dan Madura, yang dalam perjalanan  sejarahnya telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia, yaitu sejak Brumund menulis sebuah buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1857. Lihat J.F.B. Brumund, Het Volksonderwijs onder de Javanen, (Batavia : 1857). Buku Brumund tersebut kemudian diikuti oleh sejumlah karya yang lain, baik dalam bahasa Belanda maupun Inggris. Peranan kunci pesantren dalam penyebaran Islam dan dalam pemantapan ketaatan masyarakat kepada Islam di Jawa telah dibahas oleh S. Soebardi dalam “The Place of Islam”, dalam McKay (ed.)., Studies in Indonesian History, (Australia : Pitman, 1976), hal. 42; dan “The Pesantren Tarikat of Suralaya”, dalam S. Udin (ed.), SPECTRUM, (Jakarta : Dian Rakyat, 1978), hal. 215. Selain S. Soebardi, tercatat pula Profesor Johns yang juga melakukan penelitian tentang peranan pesantren dalam penyebaran Islam. Lihat A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia,” dalam Indonesia, C.M.I.P., No. 19, hal. 40. Berikut pernyataannya :

 

Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak  panah  penyebaran Islam di wilayah ini.

[25] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren-Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cet.ke-3, (Jakarta : LP3ES, 1984), hal. 20-21.

[26] Lihat Nurkholis Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, cet.ke-1, (Bandung : Mizan, 1996), hal. 30, dikutip dari Yasmadi, Modernisasi Pesantren – Kritik Nurkholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, cet.ke-2, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), hal. 155.

[27] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), hal. 156.

[29] Ibid.,

[30] Ibid.,

[32] Ibid.,

[33] Khaled Abou el-Fadl deisebut-sebut sebagai “an enlightened paragon of liberal Islam”. Setelah menggeluti studi keislaman di Kuwait dan Mesir, ia belajar di Yale University dan Princeton University. Setelah tercatat sebagai Profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat, Abou el-Fadl juga aktif dalam berbagai organisasi HAM seperti Human Rights. Karya-karyanya telah banyak dipublikasikan, di antaranya : Speaking in God’s Name. Bukunya Islam and the Challenge of Democracy yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Islam dan Tantangan Demokrasi, diterbitkan oleh penerbit Ufuk Press bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Last modified: 27/05/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *