Penguasa, Kita, dan Urgensi Mendengar

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani

Inpasonline.com-Kita perlu terus belajar mendengar tentang apapun yang baik, termasuk kritik. Ini penting, sebab rata-rata kita belum terbiasa dengan aktivitas itu. Kita, lebih suka menjadi pembicara ketimbang menjadi pendengar. Kita betah berbicara lama, tapi malas menjadi pendengan yang tekun.

Tanda Cinta

Berbicara itu memiliki konsekwensi. Kita harus bisa menghidupkan apa-apa yang kita katakan. Harus selaras antara kata dan perbuatan. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS Ash-Shaff [61]: 2-3).

Mendengar, praktis tak memiliki resiko sebesar berbicara. Malah, sesungguhnya, mendengar memiliki posisi istimewa, karena merupakan gerbang pertama menuju ketaatan.

Aktivitas mendengar membutuhkan kesabaran dan oleh karena itu diperlukan pembiasaan. Contoh berikut ini, menarik.

Abdurrahman bin Nashir seorang khalifah yang memimpin Cordova di sekitar pertengahan tahun 900-an. Dia -antara lain- dikenal sangat mencintai buku. Terutama gabungan dari koleksi buku dia dan dua anaknya, tegaklah sebuah perpustakaan terbesar di dunia pada saat itu (Nurfitri Hadi, www.kisahmuslim.com 26/05/2015).

Suatu ketika, Abdurrahman bin Nashir terlihat tiga kali tak tampak shalat Jum’at. Kabarnya, dia tengah sibuk menyelesaikan proyek pembangunan Kota Az-Zahrah di Cordova. Proyek itu, nantinya bisa menjadi simbol kekuasaan yang megah dan mencerminkan kemajuan ilmu serta budaya.

Pada Jum’at keempat, sang khalifah hadir bersama anak lelakinya di masjid. Bertindak sebagai khotib, Mundzir bin Said. Sang Khotib mengutip QS Asy-Syu’araa [26]: 128-131. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main (bermewah-mewah dan memerlihatkan kekayaan). Dan, kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan, apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka, bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Ku”.

Khotib-pun lalu mengupas ayat itu sesuai konteks situasi waktu itu. Kurang-lebih, dia berkata bahwa sungguh tak bermanfaat semua proyek pembangunan itu, jika dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatannya, kita melupakan Allah, melanggar syariat-Nya, dan melampaui batas.

Dia meneruskan, bahwa sungguh kita telah berbuat zalim, jika dalam proyek pembangunan itu, kita menghambur-hamburkan uang negara. Kita zalim, jika atas nama pembangunan, lalu mengabaikan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan malah hanya mengerjakan sesuatu sekadar menyenangkan segelintir penguasa saja. Ketahuilah, itu pengkhianatan.

Khotib melanjutkan, apakah benar semua pembangunan itu seperti yang sering di-klaim oleh para pejabat bahwa itu untuk kepentingan rakyat, jika ternyata  menghasilkan dampak sosial yang negatif? Bukankah sangat sering terjadi: Orang kehilangan rumah karena tergusur, dengan ganti rugi yang tak memadai? Atau, lahan bermain anak-anak menjadi jauh berkurang?

Usai shalat Jum’at, terjadilah dialog bagus. Dialog antara bapak (Khalifah Abdurrahman bin Nashir) dengan anaknya.

“Aku tersinggung atas isi khutbah tadi,” kata si bapak.

“Jika Bapak tersinggung, maka saya marah besar. Saya minta agar khotib tadi tak boleh lagi tampil berkhutbah,” respon si anak.

Rupanya, si anak seperti kebanyakan manusia, cenderung menolak sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Tetapi sebaliknya, suka membenarkan sesuatu yang sesuai dengan hawa nafsunya sendiri sekalipun itu salah.

Sifat seperti yang disebut di atas itu tak seharusnya kita miliki. Bukankah, Allah telah mengingatkan, agar kita jangan memilih-milih hukum atau standar kehidupan berdasarkan ego kita sendiri? “Dan, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka mengelak untuk datang. Tetapi, jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, maka mereka datang kepada Rasul dengan patuh” (QS An-Nuur [24]: 48-49).

Kembali ke dialog bapak-anak di atas. Sesungguhnya, ketika si bapak bilang tersinggung, dia sedang menguji sensitifitas telinga sang anak dalam mendengar nasihat atau kritik. Dia sedang mendidik putranya agar justru berterima-kasih kepada siapa-pun yang mengingatkan kita.

Sang bapak lalu menutup dialog: “Tidak anakku. Tak sepatutnya khotib tadi menerima sanksi. Bahkan, sebaliknya, kita harus berterima-kasih atas semua yang telah disampaikannya. Nasihat atau kritik itu, merupakan tanda cinta dia yang tulus kepada kita.”

 

Hikmah, Hikmah!

Saling menasihati -termasuk juga saling kritik- adalah salah satu ajaran terpenting Islam. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS Al ‘Ashr [103]: 1-3).

Telinga harus lebih sering kita gunakan. Cermatilah kisah Imam Al-Ghazali berikut ini. Suatu ketika, dia pulang kampung setelah selesai menyelesaikan tahapan pendidikan tertentu. Al-Ghazali bergabung dengan sebuah kafilah dagang yang juga akan berjalan menuju kota yang sama.

Di tengah perjalanan sekawanan perampok menghadang. Semua digeledah. Giliran Al-Ghazali, diapun berujar bahwa yang dibawanya adalah buku-buku dan tulisan-tulisan yang tak berguna bagi mereka, tetapi sangat besar artinya bagi dirinya.

“Ilmu itu di dada, bukan di tulisan,” tukas si perampok.

Sontak, Al-Ghazali terkesiap mendengar jawaban tak terduga itu. Lalu, refleks Al-Ghazali berfikir: “Inilah pelajaran yang paling berharga dalam perjalanan intelektual saya”.

Konon, tersebab spirit dari kalimat tak terduga itu, Al-Ghazali tak lagi terlalu disibukkan dengan urusan mencatat ketika sedang berguru. Kala belajar, dia berusaha memahami secara kritis dan menghafal jika perlu. Maka, dia-pun melejit menjadi ulama yang andal, dengan ratusan judul karya tulis monumental.

Jadi, mari belajar mendengar! Semua kalangan, tanpa kecuali, belajarlah menjadi pendengar yang tekun. Dengan banyak mendengar, insya-Allah ilmu dan hikmah akan bersama kita. []

Last modified: 25/11/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *