Pendidikan Berbasis Industri

Written by | Opini

Oleh : Kholili Hasib

inpasonline.com – Sudah beberapa tahun belakangan ini, program studi berbasis ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin) di perguruan tingg Islam mengalami kelesuan. Sepi peminat. Pada Februari 2017 Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyebutkan, minat mahasiswa yang belajar pada program studi (Prodi) agama menurun (jppn.com 1 Februari 2017).

”Ini tantangan yang harus segera diatasi oleh PTKIN. Saat ini, kita membutuhkan expertise atau ilmuwan yang ahli dalam bidang ilmu hadith, perbandingan madzhab dan filsafat agama,” ujarnya.

Apalagi sejak perguruan tinggi Islam berstatus “Institut” bertransformasi menjadi “Universitas”, program studi keagamaan kalah saing dengan peminat pada jurusan ilmu-ilmu sosial, sains dan teknologi.

Prodi filsafat agama, ilmu hadis dan perbandingan agama menjadi yang terendah peminatnya.

Pada seleksi tahun 2021 ini, UIN (Universitas Negeri) Jakarta telah menerima 888 mahasiswa. Ada sepuluh program studi yang paling banyak diminati; Manajemen, Psikologi, Ilmu Keperawatan, Farmasi, Ilmu Kesehatan, Akuntansi, Teknik Informatika, Sastra Inggris, Kesehatan Masyarakat, Sosiologi.

Proyek integrasi ilmu, yang ‘memadukan’ ilmu-ilmu berbasis syariah dengan ilmu-ilmu humaniora dan sains, yang dikembangkan sejak awal tahun 200-an di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) juga tidak mengangkat animo minat calon mahasiswa untuk memilih ilmu-ilmu keagamaan.

Secara umum, pengembangan ilmu-ilmu pada program studi, baik sains, teknologi, sosial-humaniora maupun ulumuddin, memang diarahkan pada kebutuhan-kebutuhan industri atau pengguna lulusan.

Badan Akreditasi Nasional ketika melakukan akreditasi program studi ulumuddin akan menanyakan kepada program studi tentang kurikulum atau mata kuliah yang sesuai dengan kebutuhan pengguna lulusan atau industri.

Maka, di sinilah program studi seperti filsafat agama, ilmu hadis atau sejarah Islam “ditantang” untuk menyusun kurikulum dan mata kuliahnya. Lulusan bekerja di mana? Tentu saja, program studi-program studi tersebut masih kalah dengan program studi sains, teknologi dan humaniora dalam menjawab “tantangan” tersebut.

Salah satu problematika program studi ulumuddin sejak beberapa tahun belakangan adalah soal ini. Belum lagi tantangan jauh lebih serius dari itu yaitu, framework Barat sekuler dalam studi ilmu-ilmu syariah, yang menggesar paradigma, metodologi, epistemologi dan worldview Islam.

Akan tetapi, perguruan tinggi berbasis pesantren, yakni universitas di bawah ‘payung’ pondok pesantren sepertinya tidak terlalu merisaukan tuntutan memenuhi kebutuhan industri. Meskipun, tidak sedikit pula perguruan tingggi berbasis pesantren mengikuti arus dan terjebak arus industrialisasi pendidikan ini.

Memang sudah sewajarnya, perguruan tinggi berbasis pesantren itu tidak terlalu dalam mengikuti alur model industrialisasi pendidikan tinggi. Orang pesantren biasanya tidak terlalu mikir panjang soal bekerja sebagai apa, di kantor apa setelah lulus. Mereka cuma menginginkan ridha guru atau kiainya. Cukup. Dalam cara pandang pesantren ridha Allah Swt diperoleh dari ridho guru. Itulah adab.

Dari pengamatan tersebut, ilmu-ilmu keagamaan di perguruan tinggi berbasis pesantren yang bisa bertahan dan berkembang dengan baik. Bahkan pendidikan dengan model basis pesantren dapat diandalkan pada era sekarang.

Tetapi hendaknya perguruan tinggi di pesantren dapat berdiri di atas cara pandang Islam dalam studi-studi keislamannya. Justru, distingsi pesantren adalah tidak selalu ikut metodologi dan epistemologi sekular.

Pendidikan di pesantren bertujuan melahirkan lulusan yang baik. Orang yang baik itulah menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas adalah insan adabi. Pendidikan, menurut beliau, adalah menanamkan adab ke dalam jiwa. Penanaman adab di pesantren biasanya melalui pendidikan tasawuf.

Belajar ilmu akidah atau kalam menurut imam al-Ghazali adalah:

حفظ عقيدة أهل السنة والجماعة وحراستها عن تشويش أهل البدعة

“Menjaga dan memelihara akidah Ahlussunnah wal Jam’ah dari gangguan ahlul bid’ah” (Imam al-Ghazali,Al-Munkidz min Ad-Dhalal). Selanjutnya, menurut Imam al-Ghazali, ilmu kalam dipelajari karena ilmu ini digambarkan bagaikan seperti obat. Ia mengatakan:

اعلم أن الأدلة التي نحررها في هذا العلم تجري مجرى الأدوية التي يعالج بها مرض القلوب

“Ketahuilah bawah dalil-dalil yang saya tulis dalam ilmu ini seperti obat yang dapat menyembuhkan penyakit hati” (Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, 17).

Ketika saya mengajar mata kuliah sejarah peradaban Islam dan sejarah pemikiran Islam, saya selalu menjelaskan kepada mahasiswa cara pandang yang tepat dalam belajar sejarah. Di antaranya dengan belajar sejarah orang-orang dahulu kita mengambil pelajaran. Sehingga kita bisa menempatkan dengan benar tokoh-tokoh  terdahulu. Selain itu, kita dapat belajar bersikap dengan benar dalam perkembangan zaman sekarang ini.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud telah mengingatkan problem institusi pendidikan tinggi modern sekarang telah berubah menjadi institusi yang pragmatik secara ekonomi di berbagai bidang. Tujuan pendidikan yang lebih utama demi memenuhi tuntutan industri dan perniagaan (Wan Mohd Nor Wan Daud, Peranan Universiti Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan, hal. 57).

Institusi dengan tujuan demikian akan melahirkan “tukang-tukang” bukan “ilmuan-ilmuan”. Oleh sebab itu tujuan, orientasi dan desain perlu ditelah ulang kembali.

Last modified: 03/12/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *