Pembawa Pesan Bernama Merapi dan Mentawai

Written by | Opini

Tanda-tanda

Gunung Merapi meletus pada 26/10/2010 pukul 17.02 WIB. Ketika tulisan ini dibuat, 29 korban meninggal. Sang Juru Kunci, Mbah Maridjan (yang desanya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari puncak Merapi dan memilih tidak mengungsi padahal ada instruksi untuk segera mengungsi), termasuk yang meninggal. “Inna-lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Sungguh, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu (QS An-Nisaa’ [4]: 78).

Sehari sebelumnya, 25/10/2010, gempa 7,2 SR mengguncang Kota Padang dan daerah pantai di Sumatera Barat, sekitar pukul 21.45 WIB. Sempat ada peringatan tsunami, tapi 25 menit setelah itu peringatan tersebut dicabut karena petugas berkeyakinan bahwa potensi gempa susulan yang lebih besar, kecil kemungkinannya. Tapi?

Ternyata, gempa tadi menimbulkan tsunami di Mentawai. Gelombang setinggi enam meter menyapu kawasan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Saat tulisan ini dibuat, korban tsunami Mentawai 154 jiwa dan sekitar 400 warga hilang.

Sebelumnya, banjir bandang menerjang Wasior pada 4/10/2010. Bencana itu menghancurkan wilayah tersebut dan menelan banyak korban. Tercatat, 162 orang meninggal, 146 warga hilang, 86 orang luka berat, dan 3.374 orang luka ringan. Bencana Wasior juga mengakibatkan sekitar 9.000 orang mengungsi. Sejumlah warga stres berat karena kehilangan anggota keluarga dan hartanya.

Bagi kaum beriman, sejumlah musibah itu akan dibaca sebagai bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Lihat, misalnya, tsunami di Mentawai. Terlihat bahwa kalkulasi manusia tentang kecilnya kemungkinan datangnya tsunami, ternyata berbeda dengan Kehendak Allah.

Dengan berbagai tanda itu kita diminta merenung, bahwa jika ayat-ayat-Nya yang tertulis sudah mulai kita lupakan maka Allah (akan) menghamparkan ayat-ayat tak tertulis-Nya. Ada ayat gempa, ayat tsunami, ayat gunung meletus, ayat banjir bandang, ayat lumpur panas, dan sebagainya. Bisakah kita menangkap pesan di balik berbagai ayat Allah itu?

Di Porong-Sidoarjo, bencana semburan lumpur panas berlangsung sejak 29/5/2006 dan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Musibah itu ‘menenggelamkan’ apa saja yang ada di sekitarnya, termasuk berbagai usaha yang –katanya- ilmiah.

Lily Pudjiastuti (mantan Koordinator Studi Amdal Pengembangan / Eksploitasi Gas Lapindo), berkata: “Semua pakar sudah dikerahkan. Otak ibarat sudah tidak sampai. Bikin begini, begitu, seolah bisa selesai. Ternyata, tidak.” Lily lalu menyerukan tobat, yang harus dilakukan seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali, “Bersimpuh di hadapan Allah meminta ampunan, melakukan taubatan-nashuha” (majalah Hidayatullah, Juli 2007).

Dulu, Nabi Muhammad SAW mengajarkan dan memberi contoh bertobat. Sebelumnya, para Nabi –seperti Nabi Musa AS, Nabi Hud AS, Nabi Shalih AS, dan Nabi Syu’aib AS- juga meminta kaumnya bertobat. 

Sekarang? Sudahkah berbagai bencana itu dibaca sebagai teguran Allah? Sudahkah kita bertobat atas semua dosa kita? Sudahkah kita meluruskan berbagai kemunkaran yang ada di sekitar kita, sebab jika itu tidak kita lakukan sudah ada warning dari Rasulullah SAW, bahwa: Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan di antara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah  meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Teguran Allah akan turun jika di sekitar kita ada kemaksiatan/kemunkaran dan itu kita biarkan. Lebih dari itu, azab Allah bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Semua akan merasakan pedihnya musibah seperti ulama, cendekiawan, pemimpin, pengusaha, bahkan termasuk rakyat awam. Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum (HR Abu Dawud).

Mana kemunkaran itu? Banyak sekali! Di sekitar kita, praktik korupsi terus marak dan pornografi tak surut. Di dekat kita, semakin banyak yang setuju dengan pluralisme, sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama sama benarnya. Di sekeliling kita semakin banyak penganut kesetaraan gender yang berpendapat pria dan wanita dalam hal hak dan kewajiban ‘sama dan sebangun’. Di lingkungan kita, kaum homoseksual/lesbian semakin berani menampakkan diri lantaran banyak yang melindunginya.

 

Pelajaran-pelajaran

Saat bencana datang, tak ada yang bisa menghindar. Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” (QS Al-Ahzab [33]: 17).

Saat bencana datang, Allah penyelamat kita. Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur” (QS Al-An’aam [6]: 63).

Setelah selamat, kita jangan lalu melupakan Sang Penyelamat. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu dariku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga (QS Huud [11]:10). Setelah selamat, hendaklah kita tak kembali membangkang Allah seperti warning ini: Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya” (QS Al-An’aam [6]: 64).

Jadi, bencana itu harus kita jadikan media untuk kembali ke kebenaran Islam. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang shalih dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran) (QS Al-A’raaf [7]: 168). Sungguh, ampuni kami Yaa Allah! []

 

Last modified: 28/10/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *