Otoritas dalam Islam dan Pentingnya Madzhab

Written by | Fikih dan Syariah

Oleh: Kholili Hasib

KutubHadeethSittahSalah satu ciri khas tradisi ilmu Islam adalah tidak pernah melepaskan dari otoritas keagamaan. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, umat Islam dengan mudah langsung merujuk kepada Rasulullah jika ada persoalan-persoalan agama. Begitu beliau wafat, para pembesar Sahabat menjadi referensi umat Islam dalam menyelesaikan urusan agama. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak ditemui persoalan-persoalan dalam agama yang belum ditemui pada zaman Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Urusan-urusan baru yang ramai diperbincangkan adalah persoalan yang tidak ditemukan dalil qath’i-nya.

Sementara pada sisi lain, semakin banyak umat Islam yang lemah dalam metodologi penggalian hukum. Bahkan sama sekali awam terhadap hukum Islam. Semua petunjuk dasar dan tuntutan syari’at telah tertuang dalam dua pusaka peninggalan Rasulullah SAW, al-Qur’an dan Hadis. Setiap Muslim wajib merujuk kepada dua sumber hukum tersebut untuk mengetahui segala kewajiban, larangan dan tuntutan syari’at lainnya.

Akan tetapi, sebagian petunjuk nash al-Qur’an dan Hadis masih bersifat global, simpel, dzanni (mengandung praduga), bahkan secara dzahir kerap dijumpai petunjuk nash yang terlihat kontradiktif. Untuk meng-istinbath (menggali hukum) nash-nash tersebut membutuhkan perangkat-perangkat ilmu yang tidak sederhana. Bagi Muslim awam, tentu tidak mampu menggali hukum yang terkandung di dalam nash-nash al-Qur’an dan Hadis. Jangankan menggali hukum, memahami bahasa Arab saja umat hari ini banyak yang masih awam.

Di sinilah pentingnya otoritas dalam hukum Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya seperti Fisika, Kedokteran, Psikologi, Ekonomi dan lain-lain yang memiliki pakar-pakar untuk dijadikan referensi dalam studi. Dalam Islam, juga terdapat ulama otoritatif yang menjadi rujukan dalam persoalan hukum Islam. Prinsip ini bertumpu pada firman Allah SWT: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika kamu semua tidak mengetahuinya” (QS. An-Nahl: 43).

Mengikuti ulama yang memiliki otoritas dengan segala aspek metodologi dan produk-produk hukumnya dinamakan bermadzhab. Madzhab merupakan hasil penelitian mendalam para ulama untuk mengetahui hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil yang lainnya. Karena itu, bermadzhab bukan berarti menepikan al-Qur’an dan Hadis, sebab para ulama Mujtahid meneliti hukum berasaskan pada al-Qur’an dan Hadis.

Semua hasil ijtihad keempat mazdhab yang populer di dalam Islam semuanya sumber kepada al-Qur’an dan Hadis. Artinya dengan bermazdhab kita sedang kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis dengan cara dan manhaj yang benar, yaitu mengikuti ulama yang dikenal keluasan ilmu otoritas bidang hukum Islam. Jika setiap orang kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung, tanpa bertanya kepada pakarnya, apa yang akan terjadi? Yang terjadi adalah setiap orang, termasuk orang awam, akan menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah menurut akal sendiri, jalan pikiranya sendiri, tentu ini akan sangat berbahaya. Sehingga berpotensi mengikuti metode liberal, yang anti-otoritas.

Madzhab dalam Islam muncul karena pada persoalan-persoalan tertentu tidak ditemukan dalil yang qath’i. Jika saja ada dalil qath’i semua niscaya tiada madzhab. Dr. Ugi Suharto, mengatakan bahwa mengikuti ulama Mujtahid merupakan sesuatu yang lumrah. Sebagaimana halnya kita bertaklid dengan dokter, sopir, pilot dan lain-lain.

Imam Bukhari yang kepakaran hadisnya tidak diragukan ulama pada masanya, dikenal mengikuti madzhab Imam Syafi’i dalam fikih. Seperti informasi Syaikh Mustafa Muhammad Imarah dalam Jawahir al-Bukhari: “Imam Bukhari itu mengikuti madzhab Imam Syafii”. Jika dianalogikan, Imam Bukhari merupakan pakar “bahan baku”, sementara metode pengolahannya (pengolahan hukum) tetap mengikuti teori Imam Syafii. Sedangkan Imam Syafii, disamping ahli “bahan baku” juga ahli mengolah “bahan baku” menjadi produk hukum.

Madzhab juga merupakan sekolah. Sehingga, untuk berdisiplin dalam beragama, memang seharusnya kita ikut madzhab dulu, kemudian terus belajar mengetahui dalil-dalil yang digunakan madzhab kita. Jika terus belajar pada taraf keilmuan tertentu, baru seorang Muslim bisa membuat perbandingan dalil antar madzhab. Jika umpama, seorang yang awam, di permulaan belajar sudah membuat perbdandingan dalil-dalil, mungkin ia akan menjadi keliru dan mengeliruakan orang lain.

Seorang Muslim awam tidak mungkin mampu meng-istinbath hukum sendiri. Imam al-Zarkasyi dalam al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqih IV hal. 488 mengatakan, seorang bisa mencapai level mujtahid jika telah memenuhi delapan syarat keilmuan:

Pertama, memiliki pemahaman atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an secara etimologis dan epistemologis. Kedua, mengetahui hadis-hadis tentang hukum, secara epistemologis maupun epistemologis sebagaimana dalam penalaran ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Ketiga, mengetahui objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, sehingga seorang mujtahid tidak mencetuskan suatu hukum yang menyalahi garis consensus pendahulunya. Keempat, mengetahui tata cara qiyas, syarat-syarat penerapannya, illat hukum serta metode penggaliannya. Kelima, memiliki pengetahuan tata cara penalaran dengan megetahui syarat-syarat penerapan berbagai bentuk argumentasi, pendefinisian, metode, dan penyimpulan. Keenam, memiliki cakrawala luas dalam penguasan bahasa Arab dari sisi gramatika, gaya bahasa dan lain-lain. Ketujuh, mengetahui nasikh dan mansukh. Kedelapan, mengetahui kepribadian para periwayat, sehingga dapat memastikan status periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak shahih diterima atau ditolak.

Bahkan Imam al-Syaukani menambahkan, bahwa tidak cukup seorang calon mujtahid hanya mengetahui permasalahan-permasalah ushul fikih dari pendapat para imam Mujtahid. Namun ia harus mampu menemukan dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah ushul fikih madzhabnya. Dan memposisikan dirisinya secara seimbang dalam menilai dan menimbang kebenaran teori ushul fikihnya (Wahbah Zuhaily,Ushul Fiqh fi al-Islam II hal. 1046). Syarat-syarat tersebut dibuat demi menjaga keilmuan Islam agar tetap pada koridornya. Dan persyaratan tersebut berdasarkan pengalaman para Imam Mujtahid dalam meneliti hokum.

Dalam bermadzhab, seorang terbagi menjadi empat golongan. Pertama, Muqallid. Kebanyakan Muslim berada pada golongan pertama ini, dan ini wajar. Kedua, orang yang bermadzhab tapi juga mempelajari dalil-dalilnya. Golongan ini lebih baik dari yang pertama, karena dia telah mengiringi madzhab dengan ilmu yang lebih tinggi. Ketiga, golongan yang lebih terpelajar lagi yaitu yang sudah mulai membuat perbandingan dalil dan ushul fikih antar madzhab, maupun dia masih dalam bermadzhab lagi, namun sudah tinggi lagi ilmunya. Dalam beberapa isu furu dia bisa ikut madzhab lain yang ia timbang sendiri lebih kuat, seperti contohnya Imam al-Ghazali. Keempat, adalah para hali ilmu yang hamper menjadi mujtahid muthlaq, walaupun sampai saat ini belum ada, tapi tidak bisa kita tutupi pintu ijtihad untuk para ulama yang memang benar-benar layak sampai ke maqam mujtahid mutlak (tentang tingkata mujtahid, baca Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami II hal. 1079).

Adapun madzhab fikih yang saat ini bisa diikuti adalah empat. Seperti dikatakan oleh Ibnu Sholah: “Mengikuti madzhab dapat dilakukan pada madzhab empat saja, sebab madzhab imam empat sudah menyebar luas, dalil-dalil yang mutlak sudah ditakhsish, dalil yang bersifat umum juga telah dikhususkan dan pengembangan masalahnya juga sudah tersebar luas, yang berbeda dengan selain empat madzhab empat”. Selain empat madzhab sebenarnya dulu pernah ada madzhab lainnya, seperti madzhab Daud al-Dzahiri, al-Auza’i, Ibnu Jarir, Sufyan al-Tsauri dan lain-lain. Namun madzhab tersebut punah, karena kitab-kitabnya tidak ditransmisi dengan baik dan tidak diikuti para khalifah sehingga tidak tersebar.

Dalam tradisi ulama dahulu, tidak ada seorang yang anti-bermadzhab. Kita lihat misalnya, nama-nama para ulama kita biasanya ditambah dengan nisbat madzhab. Karena mamang mereka bermadzhab.

Jika ada orang yang mengatakan mengapa harus menggunakan mazhab dan tidak langsung saja mengacu kepada al-Quran dan Sunnah, jelaslah bahwa orang tersebut belum memahami tradisi ijtihad para salaf kita. Dan ketika orang ini nantinya mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Quran dan Sunnah, sesungguhnya tanpa sadar dia sedang mendirikan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab dirinya sendiri, padahal belum memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan di atas.

Last modified: 23/01/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *