NU dan Pandangannya Terhadap Aliran Sy’iah

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

TABLIGH Akbar menolak Syi’ah di Masjid al-Furqan-DDII pada 10 Juni 2011 lalu yang dihadiri oleh ormas-ormas Islam layak kita bicarakan kembali. Dari NU, hadir kubu muda, Gus Idrus Romli mewakili PWNU Jawa Timur. Gus Idrus, dikenal sebagai Kyai muda NU asal Jember yang rajin keliling kantong-kantong NU menjelaskan kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Sejak didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, NU melalui pendirinya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham Syi’ah ini. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.

 

Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain;  “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.

Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.

 

Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).

 

Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW.

Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi SAW itu.

 

Hadis Nabi SAW yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.

 

Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.

 

Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah SWT.

 

Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.

 

Jika Syeikh Hasyim Asy’ari mengangkat isu-isu kesesatan Syi’ah dalam “Muqaddimah Qanun Asasi”, itu berarti persoalan kontroversi Syi’ah dinilai Syeikh Hasyim sebagai persoalan sangat penting untuk diketahui umat Islam Indonesia. Artinya, persoalan Syi’ah menjadi agenda setiap generasi Nahdliyyin untuk diselesaikan sesuai dengan pedoman dalam kitab tersebut.

 

Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya.

 

Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyyadl.

 

Hadis-hadis Nabi SAW yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.

 

Pandangan yang sama pernah dilontarkan oleh KH. As’ad Syamsul ‘Arifin (alm), kyai kharismatik dari PP. Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur pada tahun 1985. Saat itu Kyai As’ad diwawancarai Koran Surabaya Pos tentang faham Syi’ah di Jawa Timur. Kyai yang disegani oleh warga nadliyyin itu menampakkan sikap tegas, menurutnya kelompok Syi’ah ekstrem harus dihentikan di Indonesia. Agar tidak meluas gerakannya, Kyai As’ad mengimbau umat Islam Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaannya (dikutip dari Majalah AULA no I/Tahun XVII/Januari 1996 halaman 23).

 

Jadi, sebenarnya sejak awal pendiri NU berpandangan bahwa paham Syi’ah telah melakukan penodaan agama. Bahkan jika mengamati butir-butir fatwa Syeikh Hasyim tersebut, penodaan Syi’ah itu telah melampau batas dan menukik jauh ke dalam keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga, sejak awalnya paham Syi’ah tidak diterima di kalangan NU.

 

Wacana-wacan NU untuk kembali ke khittah 1926 selayaknya tidak sekedar dimaknai bercerai dengan partai politik manapun, akan tetapi yang lebih terpenting lagi adalah khittah yang telah dibangun pendiri NU dilaksanakan saat ini oleh semua elemen warga NU. Yaitu khittah kembali kepada kitab Qanun Asasi.

 

Operasionalisasi khittah ini adalah membendung aliran sesat, seperti Syi’ah dan Ahmadiyyah. Khittah ini dapat dimaknai sebagai khittah untuk menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bersih dari berbagai aliran-aliran sempalan yang menodai agama Islam. Karena berdirinya jam’iyyah NU adalah untuk menyebarkan paham yang benar tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Memang sudah semestinya, NU bersikap tegas terhadap aliran Syi’ah. Wallahu a’lam.

Last modified: 26/06/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *