Perbedaan Umat tentang Kedudukan Iman

Written by | Pemikiran Islam

Tema ini, menurut penulis, terdiri dari dua wilayah yaitu satu wilayah berisi pendapat-pendapat yang perbedaannya hanya pada wilayah bahasa dan istilah. Oleh karena itu seyogyanya umat memaklumi perbedaan tersebut. Wilayah satunya berisi pendapat-pendapat yang menyimpang sampai tataran hakiki, sehingga para ulama sepakat untuk menganggapnya sebagai pendapat-pendapat yang sesat. Nah, di antara kedua wilayah tersebut tentu ada pagar pembatasnya tapi sangat tipis dan transparan. Orang yang tidak jeli dan tidak melihat pagar pembatas tersebut, akan menganggap bahwa tema ini hanya terdiri dari satu wilayah saja. Akibatnya terjadilah peristiwa saling menyesatkan di antara umat, tanpa memilah-milah pendapat-pendapat tersebut. Hal ini disayangkan, karena dalam tema ini seharusnya ada perbedaan pendapat yang boleh, dan ada yang tidak boleh.

 

Pandangan Ulama

Menurut Imam Ghazali, perbedaan yang muncul tentang  keadaan iman, apakah iman itu bisa naik dan turun ataukah hanya tetap, muncul akibat dari kata iman yang bisa mencakup beberapa makna (musytarak). Dan apabila makna-makna itu diperjelas, maka perbedaan itu akan sirna.

Kata iman, menurut Imam Ghazali, mencakup 3 makna, yaitu: pertama, pembenaran, keyakinan yang harus dibuktikan dengan dalil-dalil (at-tashdiq al-yaqiny al-burhany). Kedua, pembenaran, keyakinan yang tumbuh hanya dengan mengikuti sesuatu yang ia merasa mantap dengannya (at-tashdiq al-i’tiqady at-taqlidy idza kana jazman). Ketiga, pembenaran yang harus dibuktikan dalam bentuk tindakan (at-tashdiq ma’ahu al-’amal bimujibi at-tashdiq).

Bukti bahwa iman mencakup arti at-tashdi al-burhany adalah ketika orang telah mengenal Allah ta’ala dengan disertai dalil-dalilnya kemudian meninggal, maka kami menganggapnya meninggal dalam keadaan beriman (mukmin).

Bukti bahwa iman mencakup arti yang kedua (at-tashdiq at-taqlidy) adalah bahwa sesungguhnya orang Arab pada umumnya beriman kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya karena melihat kebaikan dan kelembutan Rasulullah kepada mereka, dan pengamatan mereka terhadap tanda-tanda di sekitar mereka. Mereka tidak memperhatikan dalil-dalil tentang ke-esa-an Allah (wahdaniyyatih) dan tanda-tanda mu’jizat. Namun demikian, Rasulullah tetap menghukumi mereka sebagai orang yang beriman. Hal ini nampak pada cerita Dlomam bin Tsa’labah (Bukhari: 63) dan lain-lainnya.

Sedangkan bukti bahwa iman mencakup arti yang ketiga adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:”Tidak berzina seorang pezina, ketika berzina dia dalam keadaan beriman”, dan sabda Rasulullah,”Iman itu memiliki lebih dari dari tujuh puluh pintu, yang paling ringan adalah menyingkirkan bahaya (yang ringan) dari jalan.”

Menurut Imam Ghazali, ketika iman menggunakan arti yang pertama, yaitu iman itu harus dibuktikan dengan dalil-dalil, tentu iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Ketika seseorang telah meraih keyakinan yang sempurna, berarti dia sudah yakin (beriman). Sedang bila keyakinan tersebut belum sempurna, berarti belum dianggap yakin (masih ragu-ragu). Di sini hanya ada dua, yaitu yakin atau belum yakin. Jadi, iman di sini tidak bertambah atau berkurang. Menurut Imam Ghazali, yang ada hanyalah bertambahnya ketenangan jiwa (ziyadatu thuma’ninah an-nafsi).  

Sedang apabila iman diartikan dengan makna yang kedua dan ketiga, maka tidak bisa dipungkiri bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa umat Yahudi, Nasrani dan Islam yang iman mereka bersifat taklid (mengikuti sesuatu yang ia merasa mantap tanpa harus mencari dalil-dalilnya), karakter mereka berbeda-beda. Ada di antara mereka yang tidak terpegaruh sama sekali meskipun mereka diberi kabar gembira, ancaman-ancaman, dan lain sebagainya. Tapi ada juga di antara mereka yang hanya dengan beberapa pendekatan sudah menjadi beriman. Menurut Imam Ghazali, iman itu seperti ikatan, ada yang kuat dan ada yang lemah.

Demikian juga iman yang harus dibuktikan dengan amal perbuatan. Semakin sering dan lama orang tersebut melakukan aktivitas-aktivutas ketaatan maka akan menjadi kuatlah keimanannya. Dan sebaliknya, bila ia justru sering melakukan kemaksiatan, berarti keimanannya semakin berkurang.[1]

Sedangkan Imam Abu Hanifah menjelaskan definisi iman sebagai berikut:

Pertama, ketika iman bermakna keyakinan, ma’rifat, pembenaran (at-tashdiq), dan pengakuan (al-iqrar), maka iman kita sama seperti iman para malaikat, karena tashdiq (pembenaran) kita terhadap ke-wahdaniyyahan Allah, kerububiyahan Allah, kequdrohan Allah dan segala sesuatu yang dari Allah itu seperti pengakuan para malaikat terhadap hal tersebut dan juga sama dengan tashdiqnya para nabi dan rosul terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini, kita beranggapan bahwa sesungguhnya iman kita sama dengan imannya para malaikat karena kita mengimani terhadap segala sesuatu yang diimani oleh para malaikat.[2] Hal tersebut karena yakin itu hanya satu tingkatan (derajat), tidak bertingkat-tingkat. Yakin itu berarti tidak ragu (syakk). Tidak ada irisan di antara keduanya. Sedangkan ragu adalah lawan dari yakin.[3]

Kedua, sesungguhnya iman itu bisa naik dan bisa berkurang bila dilihat dari sudut pandang amal dan pahalanya, tidak dari sudut pandang keyakinannya. Oleh karena itu para Nabi dan para malaikat lebih takut dan taat pada Allah dan tentu pahala mereka lebih utama.[4]

Ketiga, kemaksiyatan tidak bisa mengeluarkan seorang mukmin dari keimanannya menjadi kafir, sebagaimana pendapat Khawarij. Atau tidak bisa juga mengeluarkannya dari keimanan menjadi berada di posisi manzilah bainal manzilatain sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun, ia tetap sebagai seorang mukmin, tetapi mukmin yang berbuat maksiyat dan ia disebut sebagai mukmin yang fasik. Oleh karena itu, ia tidak kekal di neraka sebagaimana pendapat khawarij dan Mu’tazilah, akan tetapi Allah akan mengadzabnya di neraka kemudian mengeluarkannya. Abu Hanifah ra berkata: Orang yang membunuh tanpa alasan yang diperbolehakan syara’, atau mencuri atau merampok atau berbuat kefasikan, zina, minum khomr atau mabuk, maka status nya adalah mukmin fasik. Ia tidak kafir. Ia disiksa di neraka, kemudian dikeluarkan dari neraka karena keimanannya.[5]

Ibnu Abi Al-’Izz al-Hanafi berkata:

”…Nampak jelas bahwa ahlus sunnah berbeda pendapat dalam hal istilah (khilafan lafdziyyan) yang tidak sampai menyebabkan kepada kerusakan (fasad), yaitu apakah kafir itu bertingkat-tingkat, sehingga ada istilah kafir di bawah kafir (kufr duna kufrin). Demikian juga perbedaan apakah iman itu bertingkat-tingkat, sehingga ada istilah iman di bawah iman (iman duna iman)? Perbedaan ini muncul karena perbedaan di antara mereka tentang definisi iman. Apakah iman itu ucapan dan perbuatan serta bertambah dan berkurang ataukah tidak?”[6] 

 

Demikian juga Syaikh Abdul Qadir al Jilani, meskipun beliau berpendapat bahwa iman itu bisa naik dan bisa turun karena amal perbuatannya, beliau tidak menyesatkan kelompok Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa iman itu tetap.[7] Karena beliau menyadari bahwa perbedaan pendapat antara beliau dengan Asy’ariyyah hanyalah pada tataran bahasa dan istilah, bukan pada tataran makna yang hakiki. Mereka sama-sama meyakini bahwa manusia akan mendapatkan balasan di akhirat dari setiap amal perbuatannya di dunia.

 

Pandangan kelompok Murji’ah dan Jahmiyyah

Hal tersebut di atas berbeda bila dibandingkan pandangan Syaikh Abdul Qadir al Jilani terhadap keompok Murji’ah dan kelompok Jahmiyyah. Beliau menyesatkan kedua kelompok tersebut karena pendapat mereka yang berbeda dengan pendapat para ulama. Kelompok Murji’ah berpendapat bahwa iman itu cukup diucapkan dengan lisan saja (ada juga di antara mereka yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pembenaran di hati dan diucapkan dengan lisan). Sedangkan kelompok Jahmiyyah berpendapat bahwa iman itu cukup hanya dengan pembenaran oleh hati (tashdiqul qalbi faqoth). Menurut kedua kelompok tersebut, iman itu tidak akan naik dengan ibadah atau amalan baik dan juga tidak akan turun dengan melanggar berbagai kemaksiyatan. Seseorang ketika sudah berikrar dengan mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat), berarti dia telah beriman seperti imannya para malaikat dan nabi, dan tidak akan masuk neraka walaupun melakukan berbagai tindakan kemaksiyatan.

Bila dihubungkan dengan ”dua wilayah” dalam tema ini, maka pandangan kelompok Murji’ah dan Jahmiyyah terdapat dalam wilayah dua. Sedangkan pandangan para ulama yang berbeda-beda tetapi hanya dalam tataran bahasa/istilah saja, terdapat dalam wilayah satu. Dengan demikian umat Islam bisa mengambil sikap, kapan dan kepada siapa mereka harus tetap menghormati pendapat yang berbeda, dan kapan tidak mentolerir perbedaan. Ihdinash shirotol mustaqim. Wallahu a’lamu bish-showab.

 


[1] Al-Ghazali, 2008, Al-Iqtishad fil I’tiqad, Beirut: Darul Minhaj Lin-Nasyr wat-Tauzi’, hal 283-285,

[2] Abul Yazid, 2007, Al-Aqidatul Islamiyyah ‘indal Fuqoha’ al-Arba’ah, Kairo: Darussalam, hal.167;Abu Hanifah, al-‘Alim wal Muta’alim, hal. 14.

[3] Ibid.

[4] Abu, Yazid, op.cit., hal. 168; al-Fiqhul Akbar, hal. 182.

[5] Abu, Yazid, op.cit., hal. 168

[6] Ibnu Abi al-‘Izz, Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 249.

[7] Al-Jailani, Al-Ghunyah, hal. 135.

Last modified: 24/06/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *