Pendidikan Islam Integral Dalam Kerangka Teori (Tela’ah Konsep Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al Attas)

Written by | Pendidikan Islam

 

Makalah yang cukup sederhana ini akan menela’ah konsep Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai usaha dan upaya untuk memberikan jawaban secara teoritis akan problem mendasar pendidikan. al-Attas dalam pandangannya terhadap pendidikan berangkat dari tesis bahwa manusia selain sebagai makhluk individu dan sosial, ia merupakan makhluk spiritual. Adapun pendidikan  Islam saat ini telah mengalami semacam penyimpangan dari dimensi manusia sebagai makhluk spiritual disebabkan mengalami penyimpangan dari tradisi intelektual[2] dalam lintasan sejarah intelektual Islam. Selain itu, ia memaparkan latarbelakang masalah-masalah yang telah menciptakan krisis umum dalam pendidikan masa kini, salah satu di antara problem terbesarnya adalah sejarah kebudayaan dan peradaban Barat yang telah menghegemoni di dunia pendidikan Islam.

Oleh karena itu, ia kemudian memulai merumuskan Falsafah Pendidikan Islam dengan menela’ah serta mengkaji konsep-konsep kunci secara linguistik serta bagaimana metodologi dan penerapan kunci-kunci atau simbol-simbol tersebut dengan tepat. Selain merujuk kepada sumber aslinya Al Qur’an dan As Sunnah, al- Attas juga  merujuk kepada karya-karya para intelektual Muslim klasik maupun modern. Sehingga dapat dihasilkan suatu definisi yang diderivasi dari sumber aslinya (otoritatif) dalam bentuk konsep serta pengaplikasiannya.

Uraian dalam makalah ini akan lebih difokuskan pada pandangan al-Attas tentang Ilmu Pengetahuan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Kurikulum dan Metode Pendidikan. Sebab penulis mencoba untuk mencari jawaban permasalahan mendasar dalam pendidikan yang notabene hampir di seluruh lembaga pendidikan di mana belum mampu menghadirkan bentuk pendidikan integral yang benar-benar berwatak Islam, meski kadang dapat dijumpai sekolah berlabel pendidikan Islam Integral.

 Dalam membahas tema-tema di atas, penulis merujuk kepada karya beliau Konsep Pendidikan Dalam Islam. Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam yang diterbitkan Mizan, Bandung dengan tahun terbit 1994 dan Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas yang ditulis oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, diterbitkan oleh Mizan, Bandung dengan tahun terbit  2003.

Harapan besar setelah memahami beberapa konsep dasar pendidikan Islam dari hasil tela’ah pemikiran pendidikan Syed Muhammad Naquib Al Attas ini dapat memberikan jawaban secara konseptual akan problem yang menggeluti dunia pendidikan dan memberikan sumbangan metode-metode pendidikan terhadap proses pendidikan pada lembaga pendidikan Islam ke arah terciptanya proses pendidikan Islam yang lebih progres dan Islami yang tidak hanya sekedar labelisasi sebagai pewaris khazanah Islam.

Adapun makalah yang dihidangkan pada saat ini masih banyak dari kekurangan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis dan minimnya referensi yang tersedia, untuk itu saran dan kritik dari para pembaca, terkhusus audience acara diskusi malam kamis INPAS amat sangat penulis harapkan.

 

B.    Sifat Keilmiahan Bahasa Arab

Untuk mendapatkan definisi, metodologi serta penerapan secara tepat simbol-simbol linguistik dalam Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama pendidikan Islam, maka Al Attas terlebih dahulu melakukan pemahaman terhadap sifat ilmiah bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam,[3] dan dasar sains Islam serta alat untuk memproyeksikan visi-visinya tentang hakikat dan kebenaran. Yang ia maksudkan dengan ‘Ilmiah’ adalah aspek definitif yang menandai sains, karena sains adalah definisi, baik dalam arti had (حد) rasm (رسم) dari hakikat (حقيقة).[4]

Menurut Al Attas di antara sifat keilmiahan bahasa Arab itu sendiri terletak pada; Pertama, struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem ‘akar-akar’ kata yang tegas. Kedua, struktur semantiknya diatur oleh suatu sistem medan semantik (semantik field) tertentu. Ketiga, kata-kata, makna-makna, tata bahasa dan persajakannya telah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa, sehingga bisa memelihara ketepatan semantiknya.[5]

Al Attas menjelaskan maksud dari medan semantik di sini medan pengertian tempat diuraikannya struktur konseptual yang disimbolkan dengan sebuah kata atau istilah sentral. Lebih lanjut ia menegaskan, suatu medan semantik biasanya tumpangsuh dengan bidang-bidang lain, sehingga struktur konseptual bawaannya saling berkaitan dengan struktur-struktur itu sebagaimana diproyeksikan dalam kosakata Islami yang diatur oleh pandangan dunia Qur’an dan dicerminkan di dalam Hadist dan Sunnah.[6]

Hal ini menjadi penting, sebab kebingungan semantik akibat dari kesalahan penerapan konsep-konsep kunci dalam kosakata Islam dapat mempengaruhi persepsi tentang pandangan dunia Islam. Dewasa ini, konsep pendidikan adalah satu di antara konsep-konsep kunci dalam kosakata dasar Islam. Sekarang istilah itu disebut dengan ‘Tarbiyah’ (ثربية).

 

C.    Ilmu Pengetahuan Dan Mengetahui

            Dalam Islam ‘ Mengetahui tidak mustahil ‘. Dengan kata lain mengetahui menjadi mungkin. Setiap manusia normal, dengan segala potensi yang ada padanya, sesungguhnya dan pada hakekatnya dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah). Tidak seperti yang diklaim oleh kaum sophis (as sufasta’iyah), relativis (al ’indiyah), skeptis (al ’inadiyah), dan agnostis (al laadriyah), bahwa manusia tidak mampu mencapai suatu kebenaran yang hakiki. Dalam hal ini Imam An Nasafi menjelaskan bahwa حقائق الأشياء ثابتة , والعلم بها متحققة , خلافا للسفسطعية   Maksudnya, hakikat (quiditas/esensi) segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (segalanya bisa diketahui dengan jelas).[7]

            Pengetahuan dalam pandangan Islam memiliki makna substantif ’keyakinan’, sebab pengetahuan diwahyukan, dipahami dan dialami dalam Islam yang kemudian disebut dengan keyakinan religius atau keyakinan pengetahuan.[8] Keyakinan pengetahuan disebutkan dalam Al Qur’an ada tiga tingkatan, yaitu ’ilm al-yaqin, ’ayn al-yaqin dan haq al-yaqin.[9] Tingkat-tingkat keyakinan pengetahuan ini berkenaan dengan kebenaran, dinyatakan atau disembunyikan, empiris atau transendental dan keyakinan pengetahuan tentang apa yang dilihat. Ini juga berkenaan dengan yang dilihat oleh organ spiritual untuk kognisi, hati serta menunjuk kepada pengetahuan sebagai kepercayaan dan keimanan. Al Attas di sini menjelaskan bahwa pengetahuan tidak hanya sebatas kepada apa yang dilihat, dirasakan, dinyatakan (’alm ash-shahadah), namun juga pengetahuan yang bersifat transendental atau yang tersembunyi (’alm al-ghayb).

            Al-Attas membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu secara deskriptif ke dalam dua bagian dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah Swt. dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif.[10] Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah Swt., bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah حصول معنى او صورة الشيئ في النفس  ‘datangnya makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu’. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu diartikan وصول النفس الى معنى الشيئ ’datangnya jiwa pada makna sesuatu atau objek ilmu’.[11]

            Dari makna ilmu pengetahuan secara deskriptif di atas, dapat dipahami bahwa tujuan dari memperoleh atau mencari ilmu adalah untuk mengenal Allah Swt. Sebab ilmu menguatkan keyakinan yang menghujam di dalam hati. Al-Attas menjelaskan secara detail dalam bukunya, Islam and Secularism bahwa ”Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia”.[12]

            Jelaslah bahwa definisi deskriptif mengenai ilmu pengetahuan di atas memiliki implikasi yang penting dalam pendidikan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Di antara implikasi-implikasi ini yang terpenting menurut al-Attas adalah efek-efek yang ditimbulkannya dalam pandangan kita mengenai realitas, kebenaran, dan metodologi penelitian, serta terhadap konsep dan praktik ’pembangunan’ kita.

 

D.    Makna Dan Tujuan Pendidikan Islam

            Pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Makkah, pada April 1971, ketika tampil sebagai salah seorang pembicara utama dan mengetuai komite yang membahas cita-cita dan tujuan pendidikan, secara sistematis al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib.

            Secara tegas, menurut al-Attas pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Dalam hal ini, “suatu proses penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai ‘pendidikan’ secara bertahap. Sedangkan, “sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, yang ini disebut dengan ta’dib.[13]  

            Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia dari pada mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal; bahwasanya fardu ‘ain adalah jauh lebih tinggi dari pada fardu kifayah; dan bahwasanya segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia dari pada segala sesuatu yang dipakai dalam kehidupan.[14]

            Adab dalam ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap para sarjana dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Dengan demikian tujuan yang sebenarnya dalam upaya pencarian ilmu dan pendidikan adalah agar seseorang bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat.[15]

 

E.    Kurikulum Dan Metode Pendidikan

            Al-Attas berpendapat secara konsisten bahwa muatan pendidikan itu sangat penting dan karena itu merupakan prioritas utama dibandingkan metodenya. Al-Attas ketika membahas muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang bersifat permanen dan spiritual. Kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.[16]

            Dalam hal ini, al-Attas sependapat dengan al-Ghazali bahwa kemuliaan sebuah ilmu ditentukan oleh buahnya dan keaslian prinsip-prinsipnya, dan yang pertama itu lebih penting dari pada yang kedua. Sebagai contoh, walaupun tidak setepat ilmu matematika, ilmu kedokteran lebih penting bagi seseorang. Begitu juga, ilmu agama adalah lebih mulia dari pada ilmu kedokteran.[17]

            Pendapat al-Attas bahwa struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakekatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas, yang kemudian secara bertahap diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakekat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan ‘aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.[18]

 

F.     Kesimpulan

   Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Attas mendefinisikan pendidikan integral adalah pendidikan yang berorientasi pada aspek alami manusia (dual nature) dengan kurikulum yang disajikan secara konprehensif, yaitu aspek fisikal dan aspek spiritual dengan suatu proses penyemaian dan penanaman adab kedalam diri seseorang secara bertahap. Sehingga mampu menghasilkan manusia yang sempurna dalam konteks negara yang paripurna. Dengan tujuan agar dapat mencapai kehidupan dunia dan akherat yang baik.

 

 

           

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Naquib al Attas, Muhammad, Dilema Kaum Muslimin cet.1.(Surabaya : PT. Bina Ilmu,1986)

 

­­­_______________________, Konsep Pendidikan Dalam Islam : Suatu Rangka Fikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV. (Bandung : Mizan,1994)

 

­­­­­­­­­­­ Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Muhammad Naquib al-Attas,cet.1(Bandung : Mizan, 2003)

 

 

            Jurnal Islamia, Thn II No 5 April – Juni 2005

 

 

 


 


*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan    Konsentrasi Magister Pemikiran Islam (M.P.I). Selain itu, penulis juga aktif sebagai peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (INPAS) dan anggota peneliti di Institute for Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). 

[1]Al-Attas menjelaskan ini disebabkan adanya kebingungan dan kekeliruan dalam pengetahuan, yang kemudian menciptakan kondisi bagi hilangnya adab dalam umat (komunitas). Kondisi yang timbul dari hal itu adalah lahirnya pemimpin-pemimpin yang kurang cakap untuk mengemban kepemimpinan umat Muslim, yang tidak mempunyai standar-standar moral, intelektual dan spiritual tinggi yang disyaratkan dalam kepemimpinan Islam, yang melestarikan kondisi di atas dan  menjamin kontrol atas urusan-urusan umat yang terus berlanjut oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai lapangan. Lebih lanjut baca dalam karyanya Muhammad Naquib al Attas, Dilema Kaum Muslimin cet.1.(Surabaya : PT. Bina Ilmu,1986)hal.91-126    

[2]Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam : Suatu Rangka Fikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV. (Bandung : Mizan,1994).hal.14

[3]Dalam hal ini al-Attas menegaskan bahwa struktur ilmiah bahasa Arab telah cukup terbukti sebagai bahasa yang dipergunakan untuk mewahyukan Qur’an suci. Jika Allah berfirman bahwa Qur’an dalam bahasa Arab tidak mengandung penyelewengan makna (az-Zumar : 28), maka yang dimaksudkan bahasa dalam ayat itu adalah; karena Qur’an merupakan sumber ilmu yang benar, maka bentuk linguistik yang menjadi tempat mengalirnya dan alat dialirkannya ilmu itu pasti juga mempunyai sifat sedemikian rupa, sehingga ia juga tidak mungkin salah (عوج), yaitu tidak mungkin menyimpang dari jalan lurus (قيم), dari makna sebenarnya yang menyampaikan kebenaran secara langsung, tidak melenceng ke mana-mana dan juga tanpa distorsi.    

[4]Sebab definis bersifat universal (kulli) dan menghimpun esensi dari suatu objek ilmu pengetahuan. Mengikuti langkah Ibn Hazm, al-Ghazali, dan sarjana-sarjana Muslim zaman dahulu, al-Attas juga membagi definisi dalam dua kategori. Kategori pertama disebut dengan hadd, yaitu definisi yang menspesifikasikan ciri-ciri utama yang membedakan objek yang didefinisikan dari objek lainnya, seperti “manusia adalah hewan yang berpikir (hayawatun nathiq)”. Dalam hal ini, kemampuan berbicara (nuthq), yaitu manifestasi yang jelas dari daya berpikir, merupakan sesuatu yang membedakan manusia dari spesies-spesies lain yang terdapat dalam genus hewan. Kategori definisi kedua disebut dengan rasm, yang bersifat menerangkan ciri-ciri utama, bukan esensi, suatu objek, seperti “manusia adalah hewan yang tertawa”. Jika dalam kategori definisi yang pertama manusia dipisahkan dari hewan-hewan lain, definisi kedua pula menerangkan salah satu aspek dari manusia.  

[5]Op.cit.hal.16

[6]Op.cit.hal.26

[7]Jurnal Islamia, Thn II No 5 April – Juni 2005,hal.27 

[8]Muhammad Naquib al-Attas, Dilema Kaum Muslimin.cet.1(Surabaya : PT. Bina Ilmu,1986),hal.129 

[9]Adapun yang dimaksud dengan Ilm al-yaqin adalah keyakinan yang diperoleh dengan kesimpulan, baik deduktif maupun induktif (al-Takasur : 5). ‘Ayn al-yaqin adalah keyakinan yang diperoleh dengan penglihatan langsung (al-Takasur : 7). Haq al-yaqin adalah keyakinan yang diperoleh dengan pengalaman langsung (al-Haaqah : 51).     

[10]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Muhammad Naquib al-Attas,cet.1(Bandung : Mizan, 2003),hal.147. 

[11]Ilmu adalah sifat orang yang mengetahui, sementara datangnya bentuk sesuatu adalah sifat dari sesuatu itu sendiri, dan ini bukan sesuatu yang sama. Dan datangnya bentuk sesuatu itu juga merupakan efek dari sifat Allah Swt. Oleh karena itu, dalam definisinya yang pertama penekanan lebih diberikan kepada Allah, sumber segala ilmu. Sedangkan dalam definisinya yang kedua kepada manusia, si pencari ilmu. 

[12]Al-Attas ketika mengaitkan dengan konsep negara, ia menambahkan bahwa di dalam sebuah negara paripurna mencari ilmu (pendidikan) tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan oleh pemikir-pemikir Barat, seperti Plato, melainkan lebih penting dari itu, adalah membina manusia yang sempurna, dan pada itu pendidikan diarahkan.  

[13]Al-Attas mengatakan “struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah).

[14]Wan Daud.Op.Cit.hal.178

[15]Wan Daud.Op.Cit.hal.179

[16]Wan Daud.Op.Cit.hal.274

[17]Wan Daud.Op.Cit.hal.274 

[18]Wan Daud.Op.Cit.hal.276 

Last modified: 16/05/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *