Orientalis Menyaksikan Penyembelihan Hewan Qurban di Pesma Baitul Hikmah Surabaya

Written by | Nasional

Suasana di pesantren mahasiswa (pesma) Baitul Hikmah Surabaya pada Hari Raya Idul Adha 1432 H yang bertepatan dengan 6 November 2011 tampak riuh. Keriuhan itu ditingkahi oleh kehadiran 10 ekor kambing dan dua ekor sapi yang tengah mengantri giliran untuk dipotong sebagai hewan qurban. Namun yang paling menarik perhatian adalah kehadiran sesosok “makhluk asing” yang tampak menonjol diantara para santri, warga sekitar, serta hewan qurban. Rambut coklat dan kulit putih-pucatnya menjadi objek pandangan orang-orang yang ada di sana. Penampilannya yang rapi dan good looking semakin menguatkan kesan,  bahwa dia bukan turis asing biasa.

Percakapan dengan Dr. Kostas Ratsikas berlangsung gayeng, karena dia menguasai bahasa Indonesia dengan sangat baik, bahasa yang intens didalaminya sebagai peneliti antropologi agama yang mengambil wilayah penelitian di Indonesia. Saat ini Kostas tengah melakukan penelitian seputar Zakat, Infaq, Sodaqoh (ZIS) di Indonesia dengan mengambil sample beberapa Lembaga Amil Zakat di Jakarta, Surabaya, serta beberapa kota lain. Hari ini Kostas menyaksikan proses penyembelihan hewan qurban di mushollah Nurul Hidayah yang dikelola oleh pesma. “Saya menganggap ini (ibadah qurban, red) ada hubungannya dengan sodaqoh karena dagingnya nanti akan dibagi-bagikan kepada orang-orang,” katanya.

Sebelum melakukan penelitian tentang  dia sempat melakukan penelitian tentang masyarakat ZIS, Kostas meneliti masyarakat Madura di Probolinggo. Di sana pula dia sempat meneliti santet. Kostas menggandeng Jurusan Antropologi FISIP Universitas Airlangga sebagai lembaga mitra dalam melakukan aktivitas penelitiannya.

Secara umum, pengetahuan dosen yang mengajar di Anthropology of South East Asia & Economic and Social Research Council (ESRC) Fellow tentang Islam lumayan banyak. Sayangnya, Islam sebagai sebuah agama sekaligus pandangan dunia (worldview) hanya dieksplor hanya lewat pendekatan antropologi . “Dalam studi antroplogi, kita tidak berbicara tentang benar dan salah sebuah fenomena. Itu bukan domain peneliti antropologi,” jelas Kostas yang berasal dari Yunani ini menjelaskan metodologi kajian antropologi yang hingga kini masih dipertahankan oleh School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London yang menjadi tempat bernaung ESRC.

Jauh hari Prof. SMN al-Attas sudah melakukan kritik terhadap anthropology approach semacam ini :

“Ilmu adalah kesatuan antara orang yang mengetahui dan makna, bukan antara orang yang mengetahui dan sesuatu yang diketahui. Unsur-unsur makna dikonstruksikan oleh jiwa dari objek-objek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa itu menerima iluminasi dari Allah SWT, dan ini berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam objek-objek yang ada.” (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung : Mizan, 1998), hal. 149.

 

Dari penjabaran tentang pencapaian ilmu dan pemikiran yang diberikan oleh Prof. SMN al-Attas, jelas sudah bahwa dalam Islam, ilmu dan iman adalah hal yang integral. Umat Islam tidak bisa mengkaji Islam tanpa melibatkan iman, meskipun yang mereka teliti adalah fenomena keberagamaan yang sering hanya dibingkai dalam frame sosiologi serta antropologi.

Ketika dimensi sosiologi dan cabang-cabang ilmu sosial yang lain masuk dalam kajian Islam, maka kebenaran yang dicari harus berangkat dari wahyu yang memberikan makna pada individu yang mengetahui, bukan berpatokan pada fenomena atau objek yang menjadi sumber penyelidikan. Misalnya, ketika seseorang melakukan penelitian tentang praktek keberagamaan umat Islam di kawasan Asia Tenggara, maka realitas keberagamaan itu tidak boleh dan tidak bisa dijadikan standar kebenaran. Si peneliti tetap harus menyandarkan kebenaran pada wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Artinya, wahyu harus diposisikan sebagai postulat atau aksioma; yakni sesuatu yang dianggap benar (dan tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya) serta dipakai sebagai titik tolak kerja atau aktivitas serta pemikiran umat Islam.

“Konsep utama yang digunakan dalam studi antropologi agama adalah ritual. Seluruh aktivitas keagamaan dipandang sebagai sebuah ritual,” imbuh Kostas. Jika kita menilik pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary, makna ‘ritual’ merujuk kepada aktivitas yang dilakukan dalam waktu yang sudah ditentukan dan dilakukan dengan cara yang seragam. Tidak disinggung mengenai dimensi ketuhanan dalam term ritual, padahal dalam terminologi Islam, segala aktivitas yang dilakukan umat Islam yang ditujukan untuk mendapat ridho Alloh SWT dimaknai sebagai ‘ibadah’ yang berasal dari kata ‘abada’ yang berarti menyembah Alloh SWT. Terlebih lagi, terdapat larangan baku bagi peneliti untuk memberi penilaian ‘benar’ dan ‘salah’ terhadap apa yang disebut dengan ‘ritual’ itu.

Kalau begitu, rugi sekali jika Islam dikaji hanya dengan anthropology approach. Anda bisa bayangkan, jika ibadah qurban yang hanya dimaknai sebagai ‘ritual’ disejajarkan kedudukan dan arti pentingnya dengan ritual sedekah laut, niscaya konsep-konsep yang terdapat dalam Islam akan mengalami banyak reduksi serta destruksi. “Ajur”, kata orang Surabaya. (Kartika Pemilia)

 

 

Last modified: 07/11/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *