Menuduh al-Ghazali Penyebab Kemunduran Peradaban Islam itu Berlebihan

Written by | Nasional

Studium-Generale-MAHI-2zsrfm8o0dprebj1kdm874Inpasonline.com-Pada Ahad pagi, 30 Agustus 2015, Ma’had ‘Aly Hujjatul Islam (MAHI) mengadakan ‘Studium Generale II’ bertema “Tradisi Keilmuan Islam; Sejarah, Perkembangan dan Tantangannya” yang diadakan di auditorium Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an, Al-Hikam, Depok.

Mudir (pimpinan) MAHI, Muhammad Ardiansyah menyatakan acara ini diadakan untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yang pernah jaya.

“Semoga dengan mengikuti Studium Generale ini, kita lebih semangat lagi dalam menuntut ilmu, untuk membangkitkan peradaban Islam seperti di masa lalu,” ujarnya dalam sambutannya.

Studium Generale II ini menghadirkan dua pembicara. Kholili Hasib, M.Ud, peneliti INPAS, Surabaya dan Assoc. Prof. Dr. Syamsuddin Arif, M.A, Cendekiawan Muslim betawi, lulusan ISTAC Malaysia.

Dalam sesi pertama, Kholili Hasib menyampaikan materi tentang Fikih Ikhtilaf. Kholili mengingatkan hadirin untuk tahu diri sebagai seorang Muslim. Salah satunya dengan mengakui otoritas ulama madzhab dan mengikuti mereka.

“Madzhab itu seperti sekolah. Semua orang dididik supaya pintar. Tidak dibiarkan mandeg di satu level saja. Bagi yang mampu dia boleh naik tingkat, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Tapi bagi yang tidak mampu, maka jangan memaksakan diri naik ke level yang lebih tinggi,” ujarnya.

“Umat Islam dididik untuk pintar dengan mengikuti madzhab para ulama. Bagi yang mampu, dia bisa sampai level berfatwa atau berijtihad. Tapi bagi yang tidak mampu, cukuplah menjadi muqallid. Jangan memaksakan diri menjadi mufti apalagi mujtahid,” tambah Kholili

Menurutnya, mengikuti madzbah para ulama seperti madzhab yang empat adalah mengikuti jalan selamat. Karena ada mata rantai yang akan menyampaikan pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

“Tradisi keilmuan dalam Islam sangat menjaga sanad. Ini adalah anugerah dari Allah. Beda dengan tradisi keilmuan di luar Islam yang tidak memiliki tradisi sanad,” kata alumni PKU ISID Gontor yang dikenal rajin menulis ini.

Semenata dalam sesi kedua, Assoc. Prof. Dr. Syamsuddin Arif. M.A. menyampaikan materi tentang masalah filsafat dan tasawuf.

Menurutnya, disiplin ilmu tasawuf selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai. Sejak dulu, sekarang dan mungkin sampai masa mendatang.

“Ada tiga sikap terhadap ilmu filsafat. Ada yang menyatakan mubah mutlak (total acceptance), ada yang menyatakan haram mutlak (total rejection), dan ada yang menyatakan menerima dan menolaknya dengan syarat (selevtive acceptance and rejection).”

Dalam pemaparannya, Syamsuddin Arif juga meluruskan isu yang banyak beredar di masyarakat. Salah satunya tuduhan bahwa Imam al-Ghazali adalah biang keladi matinya ilmu filsafat di dunia Islam.

“Menuduh Imam al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran peradaban Islam itu berlebihan. Tidak Realistis,” tegas cendekiawan Muslim alumni ISTAC ini.

Ustadz Syams –begitu biasa ia dipanggil- kemudian mengutip kata-kata Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya al-Imâm al-Ghazâli Bayna Mâdihîhi wa Nâqidîhi.

“Kami sampaikan kepada orang-orang yang menangisi kehancuran filsafat dan telah menuduh al-Ghazali sebagai penyebab keruntuhannya. Ketahuilah, bahwa filsafat dengan sendirinya tidak dapat menghidupkan masyarakat, juga tidak akan membangkitkan umat. Kehidupan, kebangkitan dan kemajuan umat yang hakiki, hanya dapat dicapai dengan iman, akhlak, ilmu pengetahuan dan segala mediatornya. Khusus bagi umat Islam, untuk mencapai kemajuan dan kebangkitannya adalah melalui dakwah ala Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, bukan filsafat Aristoteles. Filsafat sebenarnya telah berkembang pesat di negara Andalus (Spanyol ketika masih di bawah kekuasaan Islam), dan itu dengan munculnya seorang filosof besar, Ibn Rusyd.”

Namun demikian keadaan negeri Andalus pun tidak mengalami kemajuan, bahkan akhirnya lenyap. Ketika Andalus runtuh, runtuh pula kebudayaan Islam di sana (tidak terkecuali dengan filsafatnya). Tentu saja persoalan ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti yang diteliti para sejarawan, dan telah dibuktikan oleh orang-orang yang mengerti tentang kemajuan dan kemunduran sebuah negara atau umat.

Artinya menurut al Qaradhawi, filsafat dan sains setelah al Ghazali tdk mati, justru hidup.

Sebagai penutup, dalam seminar yang dimoderatori pemerhari sejarah Islam, Alwi Alatas ini, Dr. Syam  menyampaikan bahwa seluruh filosof Muslim boleh dikatakan sepakat bahwa filsafat Islam memiliki tiga prinsip utama.

Pertama, tauhid. Sebab tidak ada seorangpun filosof Muslim yang mengingkari adanya Tuhan dan tidak ada seorangpun yang mengingkari keesaan Tuhan. Kedua, Wahyu dan kenabian.

Sebab tidak seorangpun filosof Muslim yang mengingkari kenabian. Dan ketiga, mencapai yang haq dan berbuat sesuai yang haq.*/kiriman M Ardiansyah

Ed: Kholili

Last modified: 02/09/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *