Menelusuri Paham Kesetaraan Gender

Written by | Nasional

Pada tanggal 21 Maret 2009,  InPAS mengadakan Diskusi Ilmiah Reguler (DIR) ke-5.

Diskusi yang diadakan di Masjid Al-Akbar Surabaya (MAS) ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Henry Shalahuddin, M.A. yang mewakili  kalangan kampus dan Idrus Romli yang mewakili kalangan pesantren.

Meski kedua pemateri berangkat dari lembaga yang berbeda, tapi mereka sama-sama sedang bergelut dengan permasalahan gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Pemateri pertama, yang merupakan seorang dosen di STID M. Natsir dan peneliti INSISTS Jakarta, telah mengisi beberapa diskusi dan menulis beberapa artikel untuk mengkoreksi paham kesetaraan gender ini.

Sedang pemateri kedua, merupakan alumni Pondok Pesantren Sidogiri dan Pengurus NU Cabang Jember. Ia pernah menulis buku untuk mengkritisi buku FK3 yang “tidak sopan” meremehkan Kitab ‘Uqudul Lujain karya Syaikh Nawawi Al-Bantani. Bahkan Idrus, panggilan akrab Idrus Romli, pernah mendialogkan karyanya itu di hadapan tim penulis FK3 di Jakarta.

Tema yang diangkat dalam DIR ke-5 ini adalah “Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam.” Tema ini memang sangat urgen untuk dibahas, karena sebagaimana diketahui bersama, banyak kalangan yang menuduh bahwa agama Islam tidak menghormati hak-hak wanita.

Hasil ijtihad para ulama yang dibukukan dalam kitab-kitab Fiqh, Tafsir dan Kalam dipandang bercorak rasial karena didominasi oleh orang-orang Arab dan tidak adil karena dibuat oleh ulama laki-laki untuk menindas perempuan. Oleh karena itu, kitab-kitab ulama klasik dipandang usang (out of date) dan harus diganti dengan fiqh yang  bersifat pluralis dan menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama.

Paham feminisme ini semakin mencapai klimaks setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tesebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di setiap kampus, baik kampus Islam maupun kampus umum, banyak berdiri Pusat Studi Wanita (PSW/PSG).

Bahkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%.

Dalam paparan pengantarnya, Henri Shalahuddin menegaskan bahwa tuntutan kesetaraan gender oleh kaum feminis sebenarnya muncul sebagai respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat Barat.   

”Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita,”tegas Henri, panggilan akrab Henri Shalahuddin.

Ia juga menulis dalam makalah yang diberikan kepada peserta bahwa dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan terhadap Alkitab, pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk menguhkan dominasinya terhadap kaum wanita. Kedua, berbentuk neo-ortodok yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis) dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada kaum tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaat-jemaat Paulinius. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan semakin kabur dengan budaya patriarki”   

Henri juga mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab yang secara tekstual cenderung menindas perempuan. Diantaranya: ”larangan bagi perempuan untuk mengajar dan memerintah laki-laki” (I Timotius 2:12); ”perempuan dipersalahkan karena dialah yang terlebih dulu terbujuk makan buah terlarang” (I Timotius 2:13-14); ”anak keturunan perempuan menerima kutukan Tuhan atas rayuan Hawa kepada Adam” (Kejadian 3:16, Firman-Nya kepada perempuan itu: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”); ”tidak ada hak bagi perempuan berbicara dalam gereja” (I Korintus 14:34-35), dan lain-lainnya.

Bahkan menurut Henri, pada awalnya para filsuf Elightment hanya memfokuskan pada masalah ketidakadilan kelas sosial dan tidak membahas masalah gender. J.J. Rousseau misalnya, menggambarkan perempuan sebagai mahkluk yang tolol, sembrono dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki. Termasuk Declaration of the Right of Man and of the Citizen, yang menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis pasca revolusi 1789, ditengarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan.

Henri menyayangkan, ternyata pengetahuan terhadap hal-hal yang mendasar seperti ini tidak menjadi rujukan bagi para pemikir, sarjana dan akademisi muslim sebelum berinteraksi dengan peradaban Barat lebih lanjut. Mereka terkesan tidak perduli dengan kondisi yang berbeda antara masyarakat Barat dengan Masyarakat islam. Dalam Islam sendiri tidak pernah ada  tuntutan kesetaraan gender seperti yang terjadi sekarang, karena Islam telah menempatkan kedudukan perempuan sebagaimana fitrahnya. Bahkan jika ditilik dari sejarah, justru Islam satu-satunya agama yang memberikan kedudukan terhormat  kepada wanita.

Sedang Idrus Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. “Kita tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur’an atau hadits, tetapi harus mengikuti metodologi ulama yang sudah teruji,”ujarnya. (Mk)

 

 

Last modified: 31/03/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *