Kontroversi Istilah Wahdatul Wujud

Written by | Pemikiran Islam

Oleh : Syah Reza*

inpasonline.com – Istilah wahdat al-wujud sebenarnya tidak menjadi pembahasan serius dalam tradisi tasawuf, apalagi dikalangan pengamal ilmu tariqah, istilah ini cenderung dihindari untuk dibahas. Namun, konsep tersebut familiar ketika kalangan intelektual Barat mulai menaruh perhatian pada kajian agama-agama (religion studies) khususnya Islamic studies sejak abad 18 M sampai saat ini. Selain Teologi dan filsafat Islam, dimensi Tasawuf (Islamic Mystisism) adalah salah satu yang paling diminati oleh sarjana Barat terutama yang berlatar belakang ilmu filsafat dan oriental studies, seperti R.A Nicolson, Henry Corbin, William Chittick, Annemarie Schimmel, A.F.Affifi, dan lain-lain. Alasannya, karena muatan ajaran yang terkandung dalam tasawuf penuh dengan mystery yang sangat rumit dipahami dengan logika manusia.

Annemarie Schimmel dalam karyanya Mystical Dimention of Islam mengakui rumitnya menyelami kajian tersebut. Ia berkesimpulan bahwa, seorang sarjana Barat ketika dihadapkan dengan literature Islam, ia seperti melihat hamparan taman yang indah yang berada di sepanjang pegunungan. Kemudian ia merasa takjub, lalu menulis dan menyimpukan keindahan tersebut. Padahal yang ia lihat adalah keindahan yang berada diluar, bukan keindahan hakiki (yang berada dibalik fenomenana) yang melebihi apa yang ia saksikan secara kasat mata. Ini adalah pengakuan seorang sarjana barat (cukup objektif) yang secara tidak langsung menolak otoritas diri mereka sendiri (baca: di luar Islam) ketika mengkaji Islam. Namun, sekalipun demikian, hasil kajian sarjana barat justru menjadi referensi utama di berbagai universitas dunia. Bahkan sebagian intelektual menganggap sarjana Barat lebih otoritatif dan objektif berbicara tentang islam dibandingkan seseorang muslim, sekalipun sudah berilmu dan berada pada maqam tertentu dalam islam.

Beragamnya penafsiran keliru tentang wahdat al-wujud tak terlepas dari sistem liberalisasi pendidikan yang memungkinkan hilangnya filterisasi terhadap referensi yang tidak otoritatif. Maka tak heran jika muncul penafsiran yang mengatakan bahwa wahdat al-wujud adalah panteism (‘Tuhan menyatu dengan alam’), wahdat al-wujud itu sama dengan doktrin trinitas agama nasrani yaitu meleburnya Roh Tuhan pada Yesus, wahdat al-wujud adalah spirit pluralism agama yang mengakui semua agama memiliki kebenaran di’mata Tuhan’, wahdat al-wujud itu bersumber dari paham syi’ah, serta banyak penafsiran lainnya. Penafsiran- penafsiran tersebut jelas berdasarkan pandangan yang problematis dan keliru. Jika penafsiran demikian dipakai dalam keilmuan Islam, maka bisa berakibat pada kerancuan terminologis yang merusak konsep penting dalam tradisi tasawuf yang imbasnya secara tidak langsung pada kerusakan aqidah.

Memang sampai hari ini, penjelasan tentang wahdat al-wujud masih kabur, dan tampaknya butuh penafsiran yang jelas. Jika dibiarkan, istilah ini akan semakin disalahtafsirkan oleh

kalangan yang tidak mengetahui inti persoalan dalam tasawuf. Karena ilmu tasawuf adalah ilmu hakikat yang merupakan bagian dari ilmu Tauhid, dimana proses pemaknaannya harus melalui ilmu Tauhid dan latihan ruhani berupa ibadah kepada Allah secara kontinyu.

Penulis sering dihadapkan pada pertanyaan mendasar mengenai term tersebut, apa itu wahdatul wujud? dan apakah paham ini bertentangan dengan islam? Tulisan ini akan dibatasi pada dua pertanyaan tersebut.

Rumitnya Istilah

Diakui bahwa kajian tentang tasawuf bukanlah mudah, apalagi menyangkut tema wahdat al- wujud yang merupakan inti dari ajaran tasawuf. Penjelasan istilah sering tidak tuntas dibahas dalam sebagian penelitian akibatnya keliru menjelaskan konsep. Serumit apapun sebuah istilah, tetap harus di’ekstrak’ maknanya terlebih dahulu secara detail sebelum masuk dalam penjelasan wacana.

Kata wahdat al-wujud berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata wahdah ) ةدحو) artinya ‘satu’ atau ‘kesatuan’ dan wujud ( دوجولا) artinya ‘wujud’ atau ‘ada’. Diterjemahkan kesatuan wujud (yang Ada). Al-wujud menggunakan isim ma’rifah yang bermakna wujud yang sudah jelas. Artinya al-wujud yang dimaksud disini adalah Allah dan ini disepakati oleh Para ulama sufi. Kata al-wujud hanya dimiliki oleh Allah dan dinisbahkan hanya kepada Allah sebagai wajib al-wujud dan pemilik segala wujud. Kata al-wujud tidak bisa dilekatkan pada makhluk atau sesuatu selain Allah. Karena selain Allah itu bersifat sementara.

Sedangkan, secara istilah wahdat al-wujud bisa diartikan kesatuan wujud (Allah) atau satu- satunya wujud hanyalah Allah (laa maujuda illallah). Jika dipahami secara detail, maka makna wahdatul wujud adalah pemahaman Tauhid pada tingkatan khawwas (khusus). Ada pertanyaan, jika wujud itu hanya dinisbahkan kepada Allah, lalu bagaimana alam dan manusia apakah tidak memiliki wujud? Dalam istilah mutakallim (ahli kalam) maupun kalangan sufi menyebutkan bahwa Wujud makhluk ini adalah wujud majazi atau idhafi (wujud sementara), Syamsuddin as-Sumatrani mengistilahkan makhluk itu sebagai wujud fana (wujud yang tiada). Karena wujud makhluk bergantung pada wujud Allah, dan membutuhkan Allah, bukan wujud yang berdiri sendiri. Bahkan untuk membedakan dengan kata al-Wujud, biasanya para sufi termasuk Hamzah Fansuri menyebut makhluk atau alam itu adalah bayangan (zill). Karena bayangan itu bergantung pada wujud Asli yaitu Allah, dan perlu digarisbawahi bahwa bayangan (baca: makhluk) sekalipun diciptakan Allah ia bukanlah Allah dan berbeda denganNya. “Tiada yang serupa denganNya..” (Q.S. As-Syura’: 11)

Maka wahdat al-wujud bukan bermakna kesatuan wujud Tuhan dan makhluk (hulul), tetapi penafian seluruh wujud yang ada selain wujud Allah. Tidak juga bermakna bahwa semua wujud ini secara zahir adalah wujud Allah, ini jelas keliru dan menyimpang dari aqidah yang

lurus. Demikian definisi yang dimaksudkan oleh kalangan sufi yang dalam istilah Nuruddin ar-Raniry menyebutnya dengan wujudiyyah muwahhidah (paham wujud yang benar).

Bukan Pantheism

Sebagian kalangan intelektual sering menyamakan Wahdat al-wujud dengan Pantheism yaitu menyatu atau meleburnya dua eksistensi (Tuhan dan Alam) menjadi satu. Pandangan pantheism ini memiliki kemiripan dengan ajaran hulul ataupun ittihad yang ada dalam tradisi nasrani, yaitu Tuhan menyatu dalam diri Yesus, baik dari penyatuan sifat maupun Dzat. Artinya, Tuhan adalah yesus, yesus adalah Tuhan. Tampaknya makna ini yang diambil oleh sarjana Barat dan kaum pluralis menafsirkan wahdat al-wujud. Pemahaman tersebut sangat ditentang keras oleh mayoritas ulama dan ahlus sufi sejak abad pertengahan karena menyalahi aqidah yang benar.

Imam Taqiyuddin Abu Bakr Al-Hishni dalam Kifayatul akhyar mengatakan bahwa, “kekufuran seorang yang berkeyakinan hulul dan ittihad (pantheism. pen) lebih buruk daripada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan ibu (ajaran trinitas). Sementara pengikut akidah hulul dan ittihad meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhlukNya.” Artinya Allah menyatu dengan banyak makhluk.

Kenapa wahdat al-wujud oleh orientalis diterjemahkan dengan Pantheism? Tampaknya karena pantheism sebagai ‘kunci’ untuk mengakui pluralisme agama yaitu mengakui kebenaran agama-agama lain diluar Islam adalah bagian dari ajaran islam. Alasannya, jika mengakui makna tersebut artinya baik islam maupun agama lain sama-sama memiliki konsep kesatuan Tuhan dan makhluk dalam satu eksistensi. Padahal wahdat al-wujud secara bahasa dan istilah tidak sedikitpun mengarah kepada makna demikian.

Bukti bahwa wahdat al-wujud tidak sama dengan pantheism sangat jelas termuat dalam beberapa karya ulama dahulu seperti Idhah al-Maqshud min Wahdat al-Wujud karya Abdul Ghani An-Nabulusi, Ithaf adz-Dzaki karya Ibrahim al-Kurani, Hujjatul ash-Shiddiq li daf’i adz-Dzindiq karya Nuruddin Ar-Raniry, dan Kifayatul Muhtajin ila masyrabil Muwahhidin Al-Qailin bi Wahdat al-Wujud karya Abdurrauf ibn Ali Al-Jawi Al-Fansuri. Dalam semua karya ini jelas tidak ada yang menerjemahkan konsep wahdat al-wujud itu sebagai panteism bahkan mereka menentang ajaran tersebut yang tidak berasal dari Islam.

Beberapa argumentasi logis kekeliruan ajaran pantheism tersebut sudah dijelaskan oleh para ulama lain seperti Imam Al-Ghazali dalam Munqid min al-dhalal mengatakan bahwa “keyakinan hulul dan ittihad tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hambaNya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara Dzat dengan Dzat maupun kesatuan antara Dzat dengan Sifat.”

Imam Sahl At-Tustari juga menjelaskan dalil atas kesesatan faham tersebut dengan logika sederhana bahwa dua dzat manusia (yang sama-sama makhluk saja)tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan, apalagi dengan Tuhan, sangat mustahil. Keyakinan ittihad adalah sesuatu yang bathil dan tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para Nabi, para Wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam.

Jika wahat al-wujud disamakan dengan hulul atau panteism jelas bertentangan dengan aqidah islam. Menyamakan kedua istilah tersebut tidak diakui oleh sebagian besar intelektual muslim yang tradisonal terutama oleh S.M.N. Al-Attas yang bangunan keilmuan dan pemikirannya sejalan dengan ulama sufi dan mutakallim.

Penutup

Wahdat al-wujud sebagai salah satu konsep penting dalam tasawuf dikaburkan makna agar pandangan masyarakat muslim terhadap tasawuf menjadi negatif. Akhirnya masyarakat meninggalkan tasawuf atau ilmu ihsan yang merupakan ruhnya ibadah, dampak dari itu berpengaruh kepada rapuhnya kualitas pengamalan agama. Ketika amalan ibadah rapuh dan hilangnya keikhlasan karena Allah, maka secara otomatis manusia akan jauh dari Allah, dan dekat dengan dunia. Disaat jauh dari Allah, maka Islam mudah untuk dikalahkan. Ini yang diinginkan oleh mereka.

Metode distorsi, reduksi, mis-interpretasi, dekonstruksi dan lainnya terhadap istilah-istilah kunci dalam ajaran Islam memang sudah lama diperankan oleh orientalis untuk tujuan menguasai khazanah keilmuan Islam sekaligus menghancurkan. Ini bukan asumsi, tetapi sudah terbukti dalam pertarungan wacana intelektual di Barat sejak abad modern. Dimana, para orientalis beramai-ramai mengkaji Islam dengan mengkritik keotentikan wahyu Al- Quran seperti Arthur Jeffery dan mereduksi hadist seperti Ignaz Golziher dan lain-lain. Usaha ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan, tetapi kajian tersebut diteruskan oleh penerusnya sampai masuk dalam kajian islam terutama teologi dan tasawuf.

Maka perlu mengambil referensi mengenai makna-makna penting dalam ajaran islam dari tokoh islam baik ulama maupun intelektual yang otoritatif dibidangnya, agar terhindar dari penyimpagan makna. Dengan demikian, istilah dan konsep penting dalam islam tidak tereduksi. Wallahu’alam

*Penulis adalah Peneliti Filsafat dan Tasawuf di Aceh Forum for the Study of Islamic

Civilization (Afsic),alumni PKU UNIDA Gontor email : [email protected]

Last modified: 18/02/2024

2 Responses to :
Kontroversi Istilah Wahdatul Wujud

  1. Den says:

    sama aja
    orang aja yang bikin istilah sampe bingung sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *