Keistiqomahan dan Kontribusi I’tikaf Rektorat UNAIR

Written by | Nasional

“I’tikaf kali ini (1432 H) merupakan i’tikaf yang ke-7 kalinya sejak digagas oleh Pak Nasih,” jelas Prof. Dr. H. Fasich, Apt., Rektor Universitas Airlangga (26/8). Luar biasa, i’tikaf Rektorat UNAIR tidak pernah absen “menyambangi” jama’ah Masjid Nuruzzaman UNAIR sejak program ini digulirkan tujuh tahun lalu sebagai bentuk apresiasi terhadap datangnya bulan Ramadhan mubarok. Charge energi spiritual memang harus terus diberikan kepada civitas akademika UNAIR agar kampus UNAIR bisa menjadi kampus yang excellent with morality. Artinya, seluruh civitas akademika UNAIR bersama-sama ingin mewujudkan morality di tengah ke-excellent­-an masyarakat kampus UNAIR.

Dosen mata kuliah Pelajaran Agama Islam UNAIR Muhammad Adib yang malam itu didapuk sebagai Master of Cheremony menjelaskan bahwa acara semacam ini harus secara istiqomah diselenggarakan mengingat arti penting 10 hari terakhir dan sayang sekali jika jajaran Rektorat serta dosen UNAIR melewatkan kegiatan agung semacam ini. “Acara semacam ini diharapkan mampu membuat UNAIR menjadi lebih baik,” tandasnya.

I’tikaf bersama Rektorat banyak diisi oleh kajian dan pembahasan seputar masalah-masalah keislaman, dzikir, tadarrus serta ditutup dengan sholat malam (tahajud dan hajat). Konsep acara i’tikaf semacam ini bertujuan agar civitas akademika UNAIR memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap Islam dan aspek-aspek yang terkait dengannya. Kegiatan i’tikaf dimulai sejak selesai sholat tarawih hingga menjelang sahur. Pihak penyelenggara menyiapkan makan sahur prasmanan dengan menu-menu pilihan hasil racikan katering terbaik di Surabaya. “Acara penting (i’tikaf) semacam ini layak mendapatkan fasilitas lebih, tentunya tanpa mengganggu kekhusyukan,” kata seorang peserta.

Salah satu tema kajian yang tersaji malam itu adalah “Istiqomah dalam Kontribusi”. Tema krusial ini disajikan oleh Dr. Ir. Abdullah Shahab, Msc., guru besar  Institut Teknologi 10 November (ITS) yang sudah sering diundang untuk acara semacam ini. Tahun lalu pun doktor lulusan Ecole Centrale de Nantes Prancis yang senantiasa berpenampilan bersahaja ini didapuk sebagai pembicara.

Sangat menarik jika menyimak ulasan Abdullah Shahab tentang istiqomah. Dimulai dengan ta’rif dari term ‘istiqomah’ yakni keajegan atau konsistensi mengerjakan sesuatu yang baik dalam keimanan dan keikhlasan, tak lupa Abdullah Shahab memberikan motivasi kepada para audience untuk istiqomah dalam kontribusi. “Kontribusi merupakan berperan bersama-sama dengan orang lain dalam kiprah yang positif,” tegasnya.

Surat Al-Fushilat ayat 30 memberikan gambaran bahwa manusia diberi Alloh SWT potensi untuk bisa istiqomah atau tidak. “Selain mampu mengatur dirinya sendiri (QS. Al-Ahzab : 72) dan mampu menjadi baik dan menjadi buruk (QS. Asy-Syam : 7-10), manusia juga mampu untuk istiqomah atau tidak istiqomah,” jelas Abdullah Shahab.

Istiqomah mengandung sejumlah keutamaan, antara lain orang yang istiqomah menjadi manusia berkarakter dengan jati diri mantap. “Indonesia mengalami banyak kegagalan karena memiliki pemimpin yang tidak jelas. Kalau saatnya sholat ya sholat, saatnya haji ya haji tapi saatnya korupsi ya korupsi,” tutur Abdullah Shahab prihatin.

Selain itu, istiqomah juga bisa menimbulkan dampak yang besar terhadap perubahan menuju ke arah kebaikan meski yang dilakukan tergolong sesuatu hal yang kecil. Bukan kecilnya yang penting, tapi keajegan pelaksanaannyalah yang menjadi eksekutor. Orang yang istqomah juga bisa menjadi panutan bagi orang lain. Contoh nyata yang kerap disebut-sebut adalah keistiqomahan seorang kyai besar di sebuah pesantren di Jawa timur bangun pukul tiga pagi untuk sholat tahajud. Keistiqomahan sang kyai bangun tiap pukul tiga pagi sampai-sampai menjadi penunjuk waktu bagi para santrinya. Jika terdengar bunyi pintu dibuka dilanjutkan gemericik air wudhu, berarti saat itu pukul tiga pagi.

Lalu, bagaimana agar kita dapat menjadi manusia yang istiqomah dalam kontribusi? Berikut tips-tips yang diberikan Abdullah Shahab : Pertama, meyakini bahwa penilaian Alloh lebih berarti dari penilaian manusia. Kedua, meyakini bahwa perbuatan jelek akan memperoleh konsekuensi langsung di dunia. Ketiga, berupaya untuk selalu “narrowing the grey area (mempersempit daerah abu-abu yang menyerempet haram)”. Keempat, berani memilih yang benar walaupun sulit. Dan kelima, memiliki kesadaran tentang kenisbian penilaian. (Kartika Pemilia)

 

 

 

Last modified: 29/08/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *