JIL Tawarkan Studi Al-Qur’an Perspektif Liberal

Written by | Nasional

Dalam acara bedah buku tersebut, Ulil mengkritik buku-buku studi Al-Qur’an yang ditulis oleh ulama-ulama modern karena cenderung hanya meringkas dari karya-karya ulama klasik yang jauh lebih lengkap dan mendalam. Menurutnya, karya-karya ulama modern tersebut hampir tidak membawa perkembangan yang signifikan. Ia mencontohkan buku Syaikh Manna’ Al-Qotthon, Mabahits fi Ulumi al-Qur’an, yang menurutnya adalah repetisi atau pengulangan dari apa yang ditulis oleh ulama-ulama klasik seperti al-Suyuthi dan lain-lainnya. Oleh karena itu, ia meluncurkan buku tersebut sebagai upaya sederhana untuk melihat kembali studi Al-Qur’an dengan paradigma yang lebih segar dan baru.

Acara yang diberi tema ”Membongkar Sakralisme Al-Qur’an Perspektif Islam Liberal” ini memang terkesan mendudukkan al-Qur’an sebagai teks biasa yang tidak lepas dari banyak kesalahan dan peniruan terhadapa budaya luar. Sehingga ketika di tengah acara tiba-tiba lampu mati, salah seorang peserta nyelentuk “Ini kuwalat Al-Qur’an”.

Ulil yang menjadi pembicara utama dalam acara tersebut menegaskan bahwa al-Qur’an tidak lepas dari proses sejarah. Ia membenarkan teori Nashr Hamid Abu Zayd,yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi, yaitu produk budaya. Ulil membuktikan adanya beberapa kosakata bahasa selain Arab yang dipakai oleh Al-Qur’an jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya. Termasuk dengan mengutip Cak Nur, ia menegaskan bahwa kata “kaafur” dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu.

Di samping itu, ia juga menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan yang bersifat manusiawi, misalnya kalimat “inna hadzaani lasaahiraani”. Menurut penelusuran Ulil, jelas kalimat tersebut salah dari segi ilmu nahwu. Bahkan menurutnya, Aisyah r.a. sendiri menegaskan bahwa kesalahan tersebut berasal dari keteledoran para penulis Al-Qur’an. Mantan ketua Lakspesdam NU ini juga menunjukkan bahwa kata “waqadlaa” dalam surat al-Isra’ tidak begitu semestinya. Kata itu seharusnya “wawassha”, tegas Ulil dengan mengutip Ibnu Abbas. Kesalahan tersebut terjadi karena teks aslinya yang dijadikan sumber penulisan al-Qur’an blobor, sehingga huruf “wawu” bersambung menyerupai huruf “qaf”. Kesalahan-kesalahan tersebut, jelas Ulil, menunjukkan bahwa Al-Qur’an juga tidak lepas dari masalah meskipun itu dianggap wahyu.

Pernyataan yang agak provokasi dari Ulil adalah penegasannya terhadap tafsir al-Qur’an. Menurutnya, ada beberapa tafsiran Al-Qur’an yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Tafsir-tafsir tersebut harus dilakukan penyesuaian dengan konteks yang ada sekarang, terang Ulil. Jadi tidak hanya terikat dengan teksnya saja. Ia mencontohkan hukuman bagi pezina, misalnya, yang dihukum dengan dilempar batu hingga mati ditengah-tengah orang banyak. Menurutnya, hal itu sudah tidak sesuai dengan zamannya, karena hukum seperti itu hanya sesuai dengan kondisi masyarakat zaman dahulu. Bahkan Ulil mengaku berani jika nanti pernyataannya ini harus dipertanggungjawakan di akhirat kelak. “Saya berani bertanggungjawab jika saya ditanya di akhirat, kenapa saya mengambil keputusan ini. Saya mendapat pahala satu jika saya salah”, ungkapnya dengan percaya diri.

 Pernyataan Ulil yang tidak kalah hebohnya, pernyataannya tentang pengeomokan penafsir. Hal ini mengundang gelak tawa para peserta. Menurutnya, ada dua kelompok penafsir yang bisa dikategorikan, yaitu, penafsir profesional dan penafsir amatir. Penafsir profesional, tegas Ulil, adalah mereka yang memang dididik untuk bisa melakukan penafsiran, misalnya, mereka yang kuliah di jurusan tafsir-hadits. Sedangkan penafsir amatiran adalah mereka yang tidak berlatarbelakang pendidikan tafsir. Quraish Shihab, jelas Ulil, masuk kategori penafsir profesional dan Yusman Roy, yang memfatwakan Sholat dwi bahasa, termasuk penafsiran amatiran. “Tidak mesti penafsir profeisonal itu lebih baik daripada penafsir amatiran, bisa jadi penafsir profesional melakukan kesalahan penafsiran dibandingkan penafsir amatir”, ungkapnya. Ibnu Taimiyah, jelas Ulil, meskipun dianggap sebagai penafsir profesional, ia juga melakukan ketidaktepatan dengan mengatakan bahwa bangsa Arab lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Hal itu jelas-jelas salah, tegas Ulil.

Sementara pemateri yang lain, Prof. Dr. Husein Azis, M.Ag, Guru Besar Ilmu Balaghah IAIN Sunan Ampel Surabaya, menegaskan bahwa al-Qur’an memang diturunkan untuk manusia, sehingga bahasanya disesuaikan dengan bahasa manusia. Oleh karena itu, jika mengatakan ada beberapa kesalahan dalam al-Qur’an maka mestinya diteliti dulu sosio-historisnya dari bahasa tersebut. Bisa jadi, kesalahan-kesalahan tersebut memang sudah dilegalkan pada masa itu. Ia mencontohkan, kata “arek-arek Suroboyo” tidak harus dirubah dengan kata “anak-anak Surabaya” karena tidak sesuai dengan standard bahasa yang baku. Termasuk pula, jika dikatakan bahwa Al-Qur’an meminjam kosakata dari bahasa lain, belum tentu dibenarkan karena mungkin saja kata-kata itu sudah umum di masyarakat Arab masa itu. Makanya tidak heran jika Ibnu Abbas menyarankan untuk mempelajari syair-syair Arab untuk membantu memahami bahasa Al-Qur’an, meskipun isinya hanya berupa kemaksiatan belaka, tegas Dosen Fakultas Adab tersebut.

Dr. KH. Imam Ghazali Said, yang juga menjadi pemateri dalam acara bedah buku tersebut hanya menambahkan bahwa selama ini ide-ide Islam Liberal selalu ditolak karena tidak bersama penguasa. Menurutnya, kebenaran itu selalu berada bersama penguasa. Meskipun sebuah pemikiran itu jelas-jelas salah tapi jika didukung oleh penguasa maka akan menjadi benar, tambahnya. Dalam sejarah Islam hal seperti itu yang selalu terjadi, sehingga muncul istilah-istilah sesat, bid’ah, kafir bahkan syirik. Hal itu terjadi, jelasnya, karena ide-ide pemikiran tersebut tidak sama dengan ide pemikiran penguasa. Meskipun begitu, jelas Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama Jawa Timur ini, secara diam-diam ternyata ide-ide Islam liberal telah dipakai oleh umat Islam. Ia mencontohkan, para panitia Haji di Arab Saudi yang telah mengambil keputusan menyimpang dari ketentuan ulama-ulama fiqih zaman dahulu. Hal itu, menurutnya sebuah bukti bahwa ide-ide Islam liberal akan menjadi tren di masa yang akan datang, karena lebih sesuai dengan tuntutan zaman. (mm)

Last modified: 20/11/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *