Islamisasi Jawa Mengangkat Martabat Peradaban

Written by | Nasional

daurah-inpas-islamisasi-jawaInpasonline.com – Peradaban Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat Indonesia yang berada di Pulau Jawa. Aneka studi tentang budaya jawa terus dikembangkan oleh banyak peneliti. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Islam bukan bagian dari masyarakat Jawa. Dari isu tersebut, InPAS mengadakan Dauroh Peradaban Islam selama dua hari yaitu sabtu dan Ahad, 10/12/16 & 11/12/2016, bertempat di Aula Ikhwan masjid Nuruzzaman, Universitas Airlangga.

Pada hari pertama, Ustad Arif Wibowo, M.PI. selaku Direktur Pusat Studi Peradaban Islam menyampaikan materi yang berjudul “Islam dan Peradaban Jawa”.

Budaya Jawa mengalami kompleksitas unsur yang menjadi pembentuknya karena jika dilihat dari bahasa, bentuk kesenian, seni arsitektur, aneka ritual bahkan pandangan teologi berbeda dengan suku atau komunitas lain di Indonesia. Menurut Prof. Dennys Lombard, masyarakat jawa mengalami tiga periodisasi yaitu pertama, Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi, kedua, Zaman Islamisasi, dan ketiga, Zaman Hindu-Budha.

“Dalam perkembangannya, Peradaban Jawa mengalami tiga periodisasi yakni Zaman Modern, Zaman Islamisasi dan Zaman Hindu-Budha”, Ujar Ustad Arif menerangkan.

Kebudayaan Jawa masih sering dikaitkan dengan kebudayaan Hindu-Budha. Namun pendapat tersebut dibantah oleh Syed Naquib Al-Attas, sebab Hindu dan Budha di Indonesia bersifat elitis. Perkembangan dan pengajarannya pun hanya berkutat di sekitar istana. Selain itu, bangunan-bangunan besar seperti Candi Borobudur dan Prambanan yang selama ini dijadikan argumen dasar dalam menunjukkan eksistensi Hindu-Budha di Jawa, ternyata kedua bangunan tersebut mencerminkan pertarungan antar elit kekuasaan. Waktu itu, yang paling menderita adalah rakyat jelata dari Kasta Sudra dan Paria. Mereka dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi selama puluhan tahun. Akibatnya, penduduk memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi.

”Keruntuhan candi dan Kerajaan Hindu-Budha akibat ditinggalkan oleh masyarakat waktu itu karena masyarakat ditindas dan dipaksa untuk kerja bakti membangun candi”, Pungkas Ustad Arif.

Ustad Arif berpendapat bahwa terjadinya eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat Kerajaan Hindu-Budha ke daerah pelabuhan mengantarkan mereka bertemu dengan para pedagang muslim dan Ulama. Keramahan para Ulama menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa. Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di pulau Jawa yaitu tahap pertama dimana orang menjadi Islam sekedarnya dan tahap kedua adalah tahap pemantapan untuk menjadi orang Islam yang taat sehingga secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama.

Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para Ulama menggeser era Hindu-Budha di Indonesia. Sehingga mayoritas masyarakat Jawa memeluk Islam. Pada abad ke XIX, Islam tampil sebagai inspirasi utama dalam perlawanan yang terjadi di berbagai daerah, baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1821-1831), Perang Aceh (1873-1904) hingga perlawanan berskala kecil seperti pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya dengan melakukan politik etis. Salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari politik etis yaitu politik pengkristenan (Kerstening Politiek). Dalam politik ini, pemerintah kolonial mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa Kuno (Jawa Pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang menemukan, mengembalikan dan memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang jawa ingin kembali ke masa lalunya, meraka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda.

Peran Belanda dalam membuka kembali tradisi Jawa Kuno bermaksud untuk menjadikan masyarakat Jawa bingung dengan identitas mereka yang sebenarnya dan juga untuk menghilangkan Islam dari keyakinan mereka. Inilah yang disebut “Capive Mind” artinya pikiran seseorang dibuat bimbang akibat skenario yang dilakukan Belanda sehingga benak mereka menjadi terbelenggu.

“Maksud dan tujuan Belanda dalam menggali kebudayaan asli masyarakat Jawa adalah untuk membuat masyarakat terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban yang lama”, Tutur Ustad Arif dengan penuh semangat.

Dengan demikian, Kebudayaan Jawa atau Kejawen bukan merupakan sebuah agama tersendiri, akan tetapi lebih merupakan sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran masyarakat Jawa. Ketika bersentuhan dengan agama, maka mistisme Jawa akan membentuk suatu corak teologi tersendiri, yang pada hakikatnya merupakan suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan dalam mengatasi keanekaragaman religius.(Laporan : Pito Budi Prasetyo – Pesma Baitul Hikmah).

Last modified: 17/12/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *