Identitas Peradaban Nusantara dan Politik Nativisasi Belanda

Written by | Opini

Usaha sistematis untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam dengan cara menyanjung budaya-budaya setempat non-Islam ini disebut politik nativisasi. Kebudayaan Islam di sini ditampilkan sebagai produk peradaban asing yang diposisikan berseberangan secara diametral dengan Hindu-Budha yang selanjutnya diakui sebagai kebudayaan lokal asli pribumi.

Hal tersebut dapat dilihat dalam teks-teks sejarah Nasional. Masyarakat Indononesia lebih mengenal nama Patih Gajah Mada daripada Syarif Hidayatullah. Lebih populer Majapahit daripada Kerajaan Demak, Samudra Pasai dan lain-lain. Ia dikenal dengan sumpah Palapanya dan tokoh Majapahit yang mampu menyatukan Nusantara.

Tapi kita tidak banyak yang tahu bahwa Majapahit melakukan invasi ke daerah lain dengan kekerasan. Menarik upeti yang menyulitkan daerah yang ditaklukkan. Mirip sistem penjajah. Pendekatan ini menimbulkan kemarahan rakyat Sunda yang melahirkan peristiwa Sunda pada tahun 1351 M.

Candi-candi peninggalan Hindu juga lebih populer daripada masjid-masjid sebagai warisan budaya bangsa. Replika-replika candi dapat mudah ditemui di tempat-tempat penting seperti kantor pemerintah, lembaga pendidikan, pintu-pintu gerbang di jalan-jalan dan gedung-gendung penting. Tapi di tempat-tempat itu sulit ditemukan replika masjid-masjid kuno.

Padahal masjid-masjid dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahun ke masyarakat, pusat balai kesehatan, sekolah dan basis perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi menjadi tempat penyimpanan abu raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi rakyat bawah pada zaman dahulu. Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi merupakan tempat elit dikhususkan oleh raja-raja dan bangsawan menyembah. Tidak terlalu membekas kepada rakyat bawah. Tidak heran jika kemudian candi-candi di Nusantara ketika ditemukan di abad modern ini ternyata telah terpendam tanah selama berabad-abad. Sebab, setelah kerajaan runtuh, tidak ada yang merawat ataupun sembahyang di tempat itu.

Sementara itu, masyarakat rantau Nusantara telah lupa warisan berupa karya-karya keilmuan yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Nawawi al-Bantani, Seykh al-Tirmasi, Daud Ibrahim bin Abdullah al-Fatani dan lain-lain. Karya-karya mereka tidak saja menasional tapi telah diakui internasional memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat sejarah, mengatakan bahwa politik nativisasi itu merupakan rekayasa  sarjana-sarjana Barat. Tujuannya, untuk menghilangkan warisan Islam di Nusantara, sehingga generasi selanjutnya tidak mengenal identitas Islam di rantau Melayu.

Dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, al-Attas menjelaskan: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka” (hal. 41).

Ahli-ahli sejarah Belanda, sejak masa kolonialisme, sudah membuat rekayasa sejarah mengutamakan kebudayaan Jawa dan Bali sebagai puncak kejayaan Melayu-Indonesia. Di antaranya sejarawan Belanda bernama Brandes dan Douwes Dekker. Keduanya menulis buku tentang Nusantara dengan wawasan yang sempit.

Keduanya menggunakan kata ‘Nusantara’ yang artinya kepulauan antara Jawa dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus. Yakni memunculkan Jawa dan Bali -yang beragama Hindu- sebagai pusat peninjauan utama kajian sejarah di rantau Nusantara.

Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha tidak memberi bekas terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar. Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kepada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.

Dalam hal ini al-Attas menulis: “Kita harus tahu bahwa kedatangan agama Hindu itu tidak merubah pandangan hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu weltanschaung atau pandangan hidup yang berdasarkan seni dan bukan falsafah.  Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat”.

Sejalan dengan analisis al-Attas tersebut, Van Leur juga berkesimpulan sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya hanya golongan bangsawan sajalah yang meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu.

Karya sastra Nagara Kartagama ­yang ditulis Prapanca pada masa Majapahit, misalnya, ditulis justru untuk kepentingan keraton dan istana. Ia tersimpan dan terpelihara hanya dalam satu bentuk naskah saja, tidak diperbanyak. Karya ini tidak menyorotkan falsafah luhur yang menyerap akal budi. Karya lain seperti Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa merupakan karya sastra yang mengandung falsafah namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang bisa dipahami rakyat, sehingga mengisyaratkan karya ini khusus untuk elit raja-raja dan bangsawan.

Karya-karya tersebut dinikmati dan memang diingini oleh kalangan raja, namun gagal ‘membumi’ di kalangan rakyat jelata. Dan tidak membawa pengaruh dan kesan apa-apa. Sehingga, keberagamaan rakyat sesungguhnya lebih cenderung kepada kebudayaan animisme khas Jawa daripada Hinduisme.

Dalam catatan al-Attas, sarjana-sarjana Barat keliru dalam mengesankan kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa mitologi dan teori kebudayaan yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi Nusantara telah wujud dalam bentuk animismse sebelum Hindu-Budha datang. Ketika Hindu-Budha dianut raja-raja, para pemuka agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat pribumi. Dalam legenda-legenda Hindu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan tersebut diklaim sebagai Hindu.

Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak pandangan kebanyakan sarjana Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap Hindu dilakukan dengan paksaan raja. Sehinga ia berkesimpulan bahwa Masyarakat Melayu-Indonesia bukanlah masyarakat yang di-Hindukan. Adapun pengaruhnya, terlalu dibesar-besarkan oleh orientalis Belanda dan Inggris.

Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah pandangan hidup yang filosofis dan rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha mewarisi seni arsitektur India, candi dan kesusastraan yang berbau mitos.

Menurut al-Attas, selama abad ke-6 sampai 11 Masehi, konon  Sumatera merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun para pemukanya tidak memberi kesan apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni. Sampai kini, rakyat Sumatera tidak mewarisi tradisi falsafah Budha itu, justru mayoritas beragama Islam taat.

Sedangkan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Jazirah Arab telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat. Salah satu kontribusi nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua franca penduduk Melayu-Indonesia, bahkan sampai kepada daerah Filipina dan Thailand.

Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa Melayu untuk diislamkan. Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu yang diambil dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon (pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia dan hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Tapi di Malaysia masih digunakan dalam tulisan-tulisan di ruang publik.

Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada pengislaman konsep-konsep kehidupan masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga sedari dulu, bahasa Melayu identik dengan Islam. Para mubaligh Arab juga mengenalnya sebagai salah satu bahasa dunia Islam waktu itu, bahkan tercatat sebagai bahasa Islam nomor dua terbesar setelah bahasa Arab.

Kehadiran Islam berlangsung sistematis, gradual dan terencana, tanpa kekerasan. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan. Dari abad ke-15 sampai ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview), yang melahirkan filsuf dan pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot. Dalam catatan al-Attas, Islam di Nusantara ini hadir sejak lama, sejak zaman kekhalifahan Islam abad ke-7. Islam lebih mudah diterima, karena pendekatannya kepada masyarakat bawah cukup hangat.

Selain itu, kebudayaan Islam melahirkan corak berpikir rasional tidak mitologis, filosofis tidak animis serta membekas dalam benak masyarakat, baik kaum elit bangsawan maupun rakyat jelata. Semangat rasionalisme dan intelektualisme inilah yang menarik minat semua kalangan, bahkan kalangan istana dan keratonpun yang telah lama dalam budaya Hindu. Maka, di sinilah strategi pendakwah Islam kita lihat banyak yang menikah dengan putri-putri raja.

Risalah-risalah tentang metafisika dan falsafah begitu mudah ditulis oleh pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan umum. Oleh sebab itu, karya sastra Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh dan tanah Jawa, tidak berdasarkan mitos dan dongeng tapi lebih bersifat saintifik, serius dan rasional. Namun ketika penjajah Belanda dan Inggris datang, kebudayaan seperti ini berusaha ditutup-tutupi perannya.

Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centrik. Dipopulerkan bahwa tidak saja kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India, tapi juga berlanjut bahwa Islam juga dibawa oleh pendakwah dari Gujarat India. Al-Attas membantah teori Indian-centrik ini.

Dalam penelitian al-Attas, Islam datang langsung dari Arab.  Memang benar bahwa sebagian mubaligh yang datang itu datang melalui India. Namun harap dicatat, mereka di India hanya mampir setelah berangkat dari tanah Arab. Mereka asli berdarah Arab, bukan India. Sebagaimana mereka juga melalu Persi dan China selatan. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah saja. Persi waktu itu juga masih mayoritas Sunni. Jadi ini sekaligus membantah teori bahwa Islam dibawa mubaligh Syiah. Begitu pula karya cipta yang dihasilkan merupakan karya Arab-Islam bukan berbau India.

Jadi, politik Nativisasi Belanda ini bertujuan melanggengkan penjajah, dan mengesankan ketiadaan budaya rasional dan filosofis di bumi Nusantara. Maka, jika ingin berjaya peradaban Nusantara ini, maka harus kembali kepada Islam. []

 

 

 

 

 

 

 

 

Last modified: 18/08/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *