Moral Bankir dan Corporate Governance Syariah

Written by | Opini

 

 

Moral Hazard Bankir

Moral hazard di dunia perbankan sudah sering terjadi bahkan menjadi kebiasaan dari para bankir, seperti korupsi dan penyimpangan baik di bank BUMN maupun bank swasta. Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama, bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar ( Hendi, 2009 ).

 

Bentuk korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau inventaris.

Sementara korupsi tidak langsung yang sering dilakukan oleh para bankir  berupa nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga, sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan “dana taktis”. Hal ini lumrah terjadi dikalangan para bankir.

Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum sementara anggaran tersebut merupakan dana atau simpanan masyarakat yang dititipkan.

Lalu bagaimana dengan  korupsi samar-samar yang dilakukan para bankir, kalau ini  paling potensial sering terjadi, karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar. Contoh berikutnya adalah menggunakan fasilitas asuransi jabatan yang berlebihan, mendapatkan bonus yang melebihi batas kewajaran, mendapatkan pendapatan tambahan yang ditutupi dengan label success fee dan ini membuat banyak orang tertarik untuk berkarir di bank dan  tidak bisa dipungkiri kalau bank merupakan salah satu lembaga paling basah dengan jaminan gaji yang tinggi.

Semua bentuk korupsi, baik langsung, tidak langsung maupun samar-samar adalah korupsi yang harus dihilangkan melalui aturan GCG (Good Corporate Governance) yang jelas. Karena itu, lembaga pengawasan, lembaga audit, dan masyarakat, harus tetap kritis karena menyangkut dana masyarakat yang dititipakan di bank. lantas muncul pertanyaan bagaimana model tata kelola atau GCG bank syariah ? karena bisa saja lembaga memakai label syari’ah tetapi prakteknya tidak sepenuhnya syari’ah. sebab saat ini lembaga perbankan syari’ah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini ada 29 Bank yang telah beroperasi secara syari’ah dan memiliki lebih dari 620 kantor di seluruh Indonesia.        ( Hendi, 2009 )

Good Corporate Governance (GCG) dalam perbanka syariah

Good Corporate Governance (GCG) menurut World Bank, merupakan kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

prinsip-prinsip yang diterapkan pada good corporate governance seperti keadilan (fairness), transparansi  (transparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), moralitas (morality), komitmen, (commitment), kemandirian (independent). Dalam ajaran Islam, point-point tersebut sudah menjadi prinsip penting dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim dan Islam sudah jauh mendahului kelahiran GCG (Good Coorporate Governance) yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang baik di dunia.

Bila melihat prinsip-prinsip pokok dan best practices GCG yang dikembangkan pada perbankan syariah hampir sama dengan perbankan konvensional yang membedakannya adalah pada syariah compliance yaitu kepatuhan pada syariah. Hal ini disebabkan karena secara umum, fungsi bank syariah sama dengan perbankan konvensional. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan konsep GCG diantaranya adalah kultur manajemen, akuntansi, dan pengawasan. Sebab, faktor-faktor tersebut nanti-nya dapat

mempengaruhi berbagai hal, seperti perlindungan hak stakeholder. Istilah stakeholder dalam perbankan syariah mencakup pemegang saham, manajemen bank, karyawan, dan investement account holder (IAH). Investment account holder (IAH) merupakan nasabah atau deposan dalam perbankan konvensional.( Endri, Tazkiah )

kemungkinan terjadinya korupsi dan penyimpangan di bank syari’ah merupakan hal tidak mustahil, meskipun di situ ada Dewan Pengawas Syari’ah, karena para pelakunya bukan malaikat. Apalagi sekarang ini perbankan syari’ah semakin banyak, maka para bankir syari’ah pun semakin bertambah banyak pula sementara banyak bankir syariah adalah bankir karbitan mereka berasal dari bankir konvensional yang pindah berkarir atau dipindah tugaskan ke bank syariah karena bank tempat kerjanya melakukan ekspansi disisi lain banyak yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan  ekonomi atau keuangan syariah.

Sehingga eksekutif dan pejabat bank, bahkan termasuk komisaris harus ekstra hati-hati dalam mengelola lembaga perbankan syariah yang selalu dinilai “suci” , karena berasal dari prinsip ilahiya.

Di sisi lain, simbol  agama tidak menjamin sebuah lembaga menjadi bersih dari perilaku korupsi. Karena oknum seringkali tergoda oleh harta dunia. Kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di Departemen Agama yang pernah mendapat predikat departemen terkorup di republik ini dengan adanya penyimpangan di bidang urusan haji hal itu menandakan label agama bukan merupakan sebuah jaminan .

Jika para bankir syari’ah melakukan penyimpangan dan moral hazard, hal itu tidak saja berimplikasi kepada lembaga tersebut tetapi juga kepada citra syari’ah. Meskipun masyarakat mengetahui bahwa hal itu kesalahan oknum tertentu. Tetapi orang akan dengan cepat menilai bahwa lembaga syariah saja melakukan moral hazard, apalagi lembaga konvensional

Para bankir syari’ah, harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Sebagai  pelopor penegakan moral dalam setiap aspek kehidupan sebagaimana  sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

Sebelum terjadinya kasus yang bisa mencoreng lembaga syariah , maka sejak dini perlu diingatkan kepada pihak-pihak terkait agar berkomitmen menjauhi setiap penyimpangan di bank syari’ah sehingga masyarakat dan negara tidak lagi menjadi korban seperti yang terjadi pada bank Century.

*Dosen FE Universitas Muhammadiyah Makassar sedang S2 di  International Islamic University Malaysia

Last modified: 20/09/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *