Meninjau Kembali Masa Hindu-Budha di Nusantara dan Gerakan Nativisasi

Written by | Artikel, Sejarah Peradaban

Oleh: M. Masykur Ismail, S.S.

Pendahuluan

nativisasi hinduInpasonline.com-Masa Hindu-Budha biasa disebut sebagai “Jaman Kuna” dalam periodisasi sejarah di Indonesia. Sebuah masa yang ditandai dengan awal masuknya pengaruh budaya India hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Majapahit. Secara spesifik periode tersebut berlangsung pada abad ke-4 hingga abad ke-15 M. Periode ini disebut sebagai masa Hindu-Budha karena berlangsung pada saat penyebaran kedua agama ini dan adanya pengaruhnya yang besar terhadap hampir seluruh aspek kehidupan di Nusantara. Pada masa inilah lahir kerajaan-kerajaan besar yang dipengaruhi oleh kedua agama ini. Salah satunya adalah Sriwijaya dan Majapahit yang mempunyai wilayah kekuasaan hingga di luar Nusantara.

Oleh karenanya, sebagian kalangan menjadikan masa Hindu-Budha ini sebagai masa keemasan Indonesia. Mereka meyakini bahwa Indonesia pernah hebat, maju dan berwibawa pada masa Hindu-Budha. Bahkan mereka dengan lantang menyatakan bahwa hanya Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu yang dapat mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara, sementara Islam tidak pernah melahirkan kerajaan yang mencakup seluruh negeri.[1] Kesimpulannya mereka ingin menegaskan jika Indonesia ingin menjadi Negara adidaya dan berwibawa maka langkah satu-satunya adalah mengantar kembali pada masa Hindu-Budha. Karena memang agama Hindu yang dapat memelihara dan mengembangkan jati diri bangsa Indonesia dan terbukti sesuai dengan kepribadian bangsa ini.

Tulisan ini mencoba mengetengahkan beberapa fakta menarik yang terjadi pada masa Hindu-Budha. Tidak seperti yang dibayangkan oleh para pengagum masa tersebut, ternyata banyak sisi gelap yang tidak mereka ungkapkan dalam sejarah masa Hindu-Budha ini. Entah itu karena faktor ketidaktahuan atau memang sengaja untuk menjalankan agenda-agenda ideologi tertentu.

 

Respon terhadap Hindu-Budha

Sebuah agama bisa dikatakan besar dan berpengaruh jika mendapatkan respon dari mayoritas rakyat penerima agama tersebut. Hal ini menjadi tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar pengaruh agama tersebut terhadap pola pikir dan tingkah laku penganutnya. Pertanyaannya bagaimana respon rakyat Nusantara terhadap agama Hindu-Budha? Mengapa terjadi konversi besar-besaran kepada agama Islam, sehingga hampir seratus persen rakyat Indonesia beragama Islam? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh para pengidola masa tersebut. Karena, meskipun secara garis besar kedua agama ini mampu menjadi agama resmi beberapa kerajaan yang muncul di Nusantara. Namun, praktek dari kedua agama ini ternyata tidaklah lepas dari pengaruh agama asli Indonesia. Stutterheim menilai bahwa di kalangan rakyat umum, agama Jawa Kuna (agama asli) lebih dominan, sedang agama Hindu sebenarnya hanya merupakan suatu selubung di luar saja. Agama Hindu yang sebenarnya hanya terdapat di lingkungan keraton di mana Dewa Siwa, Brahma, Wisnu dipuja-puja, sedang yang hidup dalam hati rakyat adalah para leluhur dan roh-roh lainnya.[2]

Senada dengan Stutterheim, Prof. Muhammad Naquib Al-Attas  menegaskan bahwa kajian-kajian yang mendalam mengenai agama Hindu dengan pasti menjelaskan bahwa agama itu adalah semata-mata merupakan amalan suatu lapisan tipis struktur masyarakat. Agama ini dianjurkan dan dipertahankan oleh golongan raja-raja serta para bangsawan, sedangkan rakyat jelata mengambil sikap tidak perduli terhadap ajaran-ajaran agama ini. Kehidupan rakyat jelata sebagai penganut agama ini hanyalah memikul tanggung jawab ibadat serta mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya yang dipengaruhi dan dibimbing oleh golongan raja-raja serta bangsawan lainnya termasuk golongan pemimpin agama Hindu.[3]

Golongan raja dan bangsawan sendiri pun juga tidak bisa dikatakan benar-benar paham dengan ajaran-ajaran murni yang terkandung dalam filsafat Hindu asli yang luhur itu. Mereka hanya mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan tata-upacara serta ajaran-ajaran yang membesar-besarkan keagungan dewa-dewa bagi kepentingan mereka sendiri yang dianggap penjelmaan dewa-dewa tersebut. Jadi, ajaran-ajaran agama Hindu mereka jadikan legitimasi untuk memperkokoh kedudukan mereka di struktur masyarakat.[4]

Agama Budha pun juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan Agama Hindu. Agama ini nampaknya tidak mempunyai bekas dan pengaruh yang mengesankan di tanah Nusantara ini. Konon, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sejarah, di abad keenam hingga kesebelas Masehi di Sumatera terdapat sebuah pusat pendidikan agama Budha. Bahkan, terdapat 1000 orang rahib agama Budha yang belajar di Sumatera dan salah satunya terdapat Atisha, yang kemudian dikenal sebagai pembaharu agama Budha di Tibet. Namun begitu, kemegahan pusat pendidikan tersebut tidak meninggalkan bekas apapun di Sumatera, termasuk bahasa dan konsep filsafat agama Budha. Tidak ada satupun bukti, baik jelas maupun tidak jelas, yang menunjukkan penggunaan bahasa Sumatera oleh golongan rahib Budha dalam melangsungkan pengajaran dan penulisannya.[5]

Menurut Al-Attas, salah satu sebab  mengapa agama Budha tidak berkembang dan meresap di masyarakat Sumatera,  karena kemungkinan besar para rahib tersebut bukan penduduk asli Sumatera, tetapi orang-orang asing yang datang dari India Selatan untuk tujuan mencari tempat sunyi sebagai media melakukan semadi yang sempurna. Selain itu, juga disebabkan kemungkinan agama Budha yang tidak mempunyai sifat anjuran untuk menyebarkan ajaran-ajarannya sebagaimana Misi dalam Kristen dan Dakwah dalam Islam.[6]

Salah satu ciri utama yang nampak dan menjadi kebanggaan dari masa Hindu-Budha ini adalah maraknya kesenian. Hal ini disebabkan karena masyarakat Nusantara pada masa itu lebih cenderung kepada hal-hal yang bersifat seni daripada filsafat. Mereka tidak mampu merangkum kehalusan metafisika Hindu-Budha ataupun dengan sengaja mengabaikann filsafat dan menuntut hanya yang kurang sulit dan kusut untuk disesuaikan dengan keadaan jiwanya. Filsafat telah diubah menjadi seni dan dengan demikian unsur-unsur rasionalitas dan ilmiah terpinggirkan.[7]

Termasuk pula karya sastra yang dihasilkan pada masa itu juga tidak bisa lepas dari dominasi jiwa seni tersebut. Karya-karya terjemahan seperti Mahabharata dan Bhagavad Gita telah diubah penekanannya dari ajaran filsafat yang luhur kepada kesusastraan epik, roman,mitos dan sastra kepahlawanan. Mengutip Pigeud, Al-Attas menegaskan bahwa hampir semua mitos, sejarah, hikayat, dan cerita-cerita dongeng yang tertulis dalam bahasa Jawa telah disalin dari masa ke masa ke dalam bentuk lakon demi keperluan pelbagai jenis wayang dan tari-tarian pewayangan. Tidak lain tujuan dari penulisan sastra  tersebut bukan untuk menerangi akal dan budi tetapi untuk mempengaruhi rakyat tentang penjelmaan dewa pada raja mereka.[8]

Karya-karya Prapanca, pujangga Majapahit, yang lebih menekankan budi dan akal semuanya digugat oleh para pengkritik keraton yang kebanyakannya terdiri dari golongan dewi-dewi keraton, sehingga karyanya yang terkenal, yaitu Negara Kertagama,tersimpan dan terpelihara hanya dalam bentuk satu naskah saja.[9] Sebenarnya, karya Empu Kanwa, yaitu Arjuna Wiwaha, mengandung nilai-nilai dan unsur-unsur filosofis, tapi sayangnya hampir seluruhnya dari karya ini tergubah dalam bentuk puisi yang tidak dibubuhi penjelasan atau penafsiran. Hal ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa karya ini bukan untuk konsumsi telinga dan mata rakyat jelata yang tidak tahu menahu tentang hal itu.[10]

Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, tidak heran jika Fa Hsien dan I-Tsing, keduanya pengembara dari Cina yang pernah singgah di Jawa dan Sumatera, menegaskan bahwa agama Hindu dan Budha yang dianut oleh orang-orang Jawa dan Sumatera pada masa itu merupakan agama yang tidak masuk akal. Bahkan Al-Attas berkesimpulan bahwa agama Hindu-Budha tidak berhasil mempengaruhi dan mengubah intelektual Nusantara. Hal itu bisa dilihat dari absennya penganut Hindu dan Budha masa itu yang muncul ke permukaan sebagai seorang ahli pikir atau filosof terkenal. Bahkan agama-agama tersebut tidak bisa melahirkan ahli-ahli pikir dan filosof dari kalangan penduduk asli, baik di Jawa maupun Sumatera.[11]

 

Persaingan dan Konflik antar Agama  

Fakta lain yang  patut dicermati dari masa Hindu-Budha di Nusantara ini adalah adanya persaingan dan perebutan kekuasaan antara kedua agama tersebut. Candi Borobudur dan Prambanan yang menjadi kebanggaan kedua agama ini ternyata menjadi saksi perebutan sengit antar elite kekuasaan pada saat itu. Sebagaimana diketahui, di Jawa Tengah pada abad ke-8 hingga awal abad 10 M, terdapat dua dinasti yang  memerintah, yaitu Dinasti Sanjaya yang dikenal sebagai penguasa lokal beragama Hindu aliran Syiwa, dan Dinasti Syailendra yang dianggap sebagai pendatang yang beragama Budha aliran Mahayana.[12]

Dinasti Syailendra yang berhasil membangun Candi Borobudur, Mendut, Sewu dan lain-lainnya  mendapat pertentangan dari penguasa lokal yang beragama Hindu. Para penguasa lokal di Mataram saat itu menganggap Dinasti Syailendra sebagai kaki tangan kerajaan Sriwijaya Palembang yang berusaha menjajah dan menancapkan kekuasaannya di Jawa. Ketika Syailendra berhasil dikalahkan pada tahun 856 M, maka Rakai Pikatan, penguasa lokal, membangun candi Prambanan sebagai monument kemenangan kekuasaan Hindu atas Budha.[13] Namun tidak lama dari masa itu, sekitar abad ke-11, Mataram Hindu dapat ditaklukkan oleh Sriwijaya, sehingga pusat kerajaan Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur.[14]

Tidak hanya antar agama, bahkan diantara sekte agama Hindu sendiri juga ada pertentangan dan perebutan kekuasaan yang sengit, yaitu pemeluk Syiwa dan penyembah Wishnu.[15] Ken Arok yang merupakan penganut Syiwa didukung oleh kaum Brahmana untuk melawan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung dan Raja Kadiri Kertajaya yang merupakan penyembah Wishnu. Peletak dasar dari agama Hindu penyembah Wishnu ini adalah Sri Erlangga, Raja Kahuripan yang menjadi nenek moyang raja-raja Kadiri dan Jenggala (Singosari). Padahal, sebelumnya para penguasa di Jawa merupakan Hindu penyembah Syiwa, sehingga kaum brahmana selalu mengutuk Sri Erlangga dan pengganti yang merupakan pengikutnya.[16]

Salah satu upaya untuk mengatasi adanya pertentangan antar agama tersebut maka para penguasa di Jawa ini melakukan penyatuan agama Hindu dan Budha. Bentuk sinkretisme Hindu dan Budha ini melahirkan kepercayaan Siwa-Budha sebagaimana dipraktekkan oleh Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singhasari. Menurut Kitab Pararaton, Prabu Kertanegara, dipanggil dengan julukan “Bathara Siwa-Budha” yaitu penganut Bhairawa tantra.[17]

Praktek yang dilakukan oleh Kertanegara tersebut sebenarnya bukan menunjukkan penyatuan atau berlakunya suatu sintesis antara agama Hindu dan Budha. Justru lebih masuk akal jika ditafsirkan bahwa ini menunjukkan cocoknya keadaan masyarakat Jawa yang pada masa itu terdiri dari penganut-penganut agama Hindu dan Budha. Dengan demikian, Kertanegara sebagai raja dari kedua penganut agama tersebut telah memuaskan kehendak masyarakatnya bahwa di dalam dirinya terjelma dewa-dewa kedua agama tersebut. Hal itu tentu akan menjadi legitimasi untuk mengokohkan kedudukannya sebagai raja. Demikianlah yang ditegaskan oleh Al-Attas, Rassers dan Pigeaud yang mengibaratkan praktek tersebut seperti cerita Gagang Aking dan Bubuksyah.[18]

Sementara beberapa peneliti lain seperti Moens, Krom, dan Zoetmulder membenarkan adanya praktek penyatuan agama Hindu dan Budha ini.[19] Faktor utama yang memberi ruang terjadinya sinkretisme antara Hindu dan Budha adalah Tantra. Menurut I Ketut Widnya:[20]

“Dalam arti tertentu, tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisasi sang diri dengan menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain, meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan sexual. (S.B. Dasgupta, 1974: 2). Elemen-elemen tersebut terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia.”[21]

Sinkretisme Siwa-Budha inilah yang melahirkan ritual yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upara Ma Lima. Ritual Ma Lima ini menurut Rasyidi terdiri dari Matsiya (memakan ikan gembung beracun), Manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), Madya (meminum minuman keras hingga mabuk), Mutra (menari sampai ekstase), dan Maithuna (ritual seks massal di tanah lapang yang disebut setra).[22] Ritual ini disebut sebagai ritual yang mengerikan oleh S. Wojowasito, karena bentuknya yang sangat tidak manusiawi.[23]

Ritual ma lima ini, selain dipraktekkan oleh Kertanegara juga dipraktekkan oleh Adityawarman, raja dari kerajaan Melayu yang juga menantu dari raja Majapahit. Menurut Wojowasito, Adityawarman menerima penobatannya di tengah-tengah lapangan bangkai. Sambil duduk di atas timbunan bangkai, sang raja tertawa sambil meminum darah,menghadapkan kurban manusia yang berbau busuk. Anehnya, bagi Adityawarman bangkai tersebut sangat semerbak baunya.[24] Ritual ini sangat jelas tergambar dari patung Adityawarman di Museum Nasional yang terlihat tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.

Gerakan Nativisasi

Meskipun masa Hindu-Budha hampir tidak memberikan pengaruh berarti dan tidak kondusif di Nusantara sebagaimana penjelasan di atas, tapi anehnya, mengapa masa ini begitu diagung-agungkan, bahkan mau dijadikan idola bangsa Indonesia? Itulah sebenarnya bukti keberhasilan para aktivis gerakan nativisasi dalam mengemas sedemikian indah masa Hindu-Budha ini. Masa ini dikesankan seolah-olah tanpa cacat dan berhasil mengantarkan rakyat Nusantara beserta para penguasanya hebat dan berwibawa. Intinya, ada usaha-usaha sengaja dan terorganisir untuk menghidupkan kembali beberapa aspek budaya pada masa Hindu-Budha ini. Hal itulah yang dimaksud sebagai gerakan nativisasi.

Menariknya, pencetus ide gerakan nativisasi ini ternyata bukanlah orang-orang pribumi sendiri, tetapi kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, usaha untuk menghidupkan kembali aspek budaya masa Hindu-Budha menjadi salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menghadapi Islam yang selalu menjadi simbol perlawanan rakyat Jawa terhadap pemerintah kolonial sebagaimana dalam perang Diponegoro 1825-1830. Dalam kajian yang dilakukan oleh Sears (1996), Pemberton (1994), Nancy Florida (1995), meskipun ketiganya menekankan fokus yang berbeda-beda, mereka mempunyai kesimpulan yang hampir serupa, yaitu: discourse Jawa masa Hindu-Budha yang kini dianggap sebagai representasi yang otentik dari ke-Jawa-an adalah sesungguhnya hasil dari konstruksi pengetahuan kolonial.

Proses Javanologisai, jelas Pemberton, sebenarnya adalah “proyek Belanda”, yang diciptakan di luar dan bersumber pada logika orientalis, tetapi lambat laun ditiru oleh orang Jawa. Florida juga menyatakan bahwa kerjasama Javanologis Belanda dan Priyayi Jawa akhirnya melahirkan “sebuah kodifikasi spiritualis dari kebudayaan elite Jawa, yang bersumbu pada kultus adiluhung”.[25] Dalam konteks politik, mengikuti pemikiran Edward Said, keterlibatan itu merupakan bagian dari “the great imperial mission” pemerintah kolonial Belanda secara keseluruhan dalam bentuk aktivitas keilmuwan, yang oleh Nancy disebut sebagai doubly defined colonial scholarship.[26] Persamaan yang lain, terutama Sears dan Florida, mereka sama-sama sepakat bahwa pengaruh Islam sebenarnya sangat besar terhadap perkembangan Jawa, tetapi sengaja ditutup-tutupi.[27]

Salah satu contoh yang mewakili semangat gerakan nativisasi ini adalah buku karya Sir Thomas Stamford Raffles, History of Java, yang terbit pertama kali pada tahun 1817 M., setahun setelah Inggris meninggalkan Jawa. Dalam buku ini, terlihat sekali Raffles begitu mengagung-agungkan masa Hindu-Budha dan sengaja berat sebelah dalam melihat kebudayaan di Nusantara. Pada bab kedelapan, yang berkenaan dengan bahasa dan kesusastraan Jawa, ia memusatkan pembicaraannya tentang kesusasteraan masa Hindu-Budha. Dalam pembahasan setebal lebih dari tujuh puluh halaman, ia hanya satu kali mengutip syair Islam dan itu pun hanya secara singkat, tetapi menyediakan empat puluh tujuh halaman untuk meringkas syair kepahlawan Mahabarata versi Jawa.[28] Di dalam pembahasannya tentang agama, ia merasa cukup membicarakan Islam dalam empat halaman, namun menghabiskan enam puluh halaman untuk membicarakan berbagai peninggalan Hinduisme dan Budhisme. Selain itu, Raffles menyajikan sejumlah gambar yang indah dari peninggalan arsitektur pra-Islam.[29] Karya Raffles ini akhirnya menjadi inspirasi bagi para pengambil kebijakan kolonial Belanda untuk mengekalkan penjajahannya di Nusantara, khususnya Jawa.[30]

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan;

  1. Agama Hindu-Budha sebenarnya tidaklah meresap dan memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Nusantara, meskipun mampu melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercirikan Hindu-Budha. Rakyat hanyalah memikul tanggung jawab ibadat serta mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya yang dipengaruhi dan dibimbing oleh golongan raja-raja serta bangsawan lainnya termasuk golongan pemimpin agama Hindu.
  2. Terjadinya persaingan dan perebutan kekuasaan antar penguasa menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi maupun sosial-politik tidak kondusif. Oleh karena itu, sangat tidak ideal jika masa ini dijadikan idola nasional bangsa Indonesia.
  3. Munculnya kesan masa Hindu-Budha sebagai masa keemasan bangsa Indonesia, tidak lain karena pengaruh wacana para aktivis gerakan nativisasi yang selalu menonjolkan segala hal dari masa Hindu-Budha ini. Tujuannya tidak lain untuk mendiskreditkan dan meminggirkan peran agama Islam di Nusantara ini.

[1] Adian Husaini, Penyatuan Nusantara: Fakta dan Fiksi,  (www. Adianhusaini.com), diakses pada 29 April 2014

[2] W.F. Stutterheim, Gids voor de Oudheden van Soekoeh en Tjeta, (Soerakarta: de Bliksem, 1930), hlm. 10; Tim Penulis SKI Fak. Adab UIN Jogjakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 14.

[3] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 29

[4] Ibid, hlm. 30

[5] Ibid., hlm. 33

[6] Loc.cit.

[7] Ibid, hlm. 30

[8] Ibid,hlm. 32

[9][9] Ulasan lebih lengkap tentang Negara Kertagama dapat dirujuk dalam Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, (tanpa kota: Ragam Media, 2010), hlm. 26-72; Ibid, hlm. 31

[10] Al-Attas, hlm. 32

[11] Ibid, hlm. 34

[12] Sartono Kartodirdjo, et.al., Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Departemen P dan K, 1975), hlm. 78

[13] Arif Wibowo, Islamisasi dan Deislamisasi Kebudayaan Jawa, dalam Jurnal ISLAMIA volume VII, no. 2, 2012, (Jakarta: INSISTS, 2012), hlm. 29-30;Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara, Jaman Prasejarah – XVI), (Jogjakarta: Media Abadi, 2009), hlm 318

[14] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),hlm. 27.

[15] Ibid., hlm. 25.

[16] Ibid., hlm. 25

[17] Tiar Anwar Bachtiar, et al., Sejarah Nasional Indonesia Perspektif baru, Jilid I, (Jakarta: AIEMS, 2011), hlm. 38

[18] Al-Attas, op.cit., hlm. 34-35

[19] I Ketut Widnya, Pemujaan Ṥiwa-Buddha dalam Masyarakat Hindu di Bali, dalam Journal of Religious Culture, (http://web.uni-frankfurt.de/irenik/relkultur107.pdf), diakses pada: Kamis, 19 Desember 2013)

[20] Staf pengajar pada Fakultas Brahma Widya, IHDN Denpasar, dan sejak tahun 2005 diberi tugas tambahan sebagai Direktur Program Pascasarjana IHDN Denpasar. Menyelesaikan program doktor pada Department of Buddhist Study, University of Delhi, India, dengan disertasi: Evolution of Śiva-Buddha Cult in Indonesia.

[21] I Ketut Widnya, Pemujaan Ṥiwa-Buddha dalam Masyarakat Hindu di Bali, dalam Journal of Religious Culture, (http://web.uni-frankfurt.de/irenik/relkultur107.pdf), diakses pada: Kamis, 19 Desember 2013)

[22] Rasyidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 95;

[23] Wojowasito. S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, (Jakarta: Penerbit Siliwangi, 1952), hlm. 148; Ibid., hlm. 30

[24] Ibid., hlm. 149

[25] Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah (Bandung: Satya Historika, 2001), hal. 129

[26] Nancy Florida, Javanese Literature in Surakarta Manuscript (SEAP, 2000), hal. 12; Sumargana, op.cit. hal. 89

[27] Taufik Abdullah, loc.it.

[28] Thomas Stamford Raffles, The History of Java (terj), (Yogyakarta: Narasi, 2008), hal. 430-487

[29] Ibid, hal.

[30] Untuk mengetahui lebih detail mengenai usaha-usaha pemerintah kolonial terkait gerakan nativisasi ini silahkan merujuk artikel penulis, Peran Kolonial dalam Konflik Islam dan Jawa, di www.inpasonline.com.

Last modified: 06/05/2014

One Response to :
Meninjau Kembali Masa Hindu-Budha di Nusantara dan Gerakan Nativisasi

  1. Jika kita kaji filosofi adat Minangkabau misalnya, sebenarnya ada pengaruh Buddha, bahkan daun bodi masih terukir di rumah gadang lama. Filosofi itu belakangan diberi unsur Islam tanpa bisa mengubah prinsipnya. Menarik juga bila dibaca Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, kitab bahasa Melayu tertua asli yg ditemukan di pinggir Danau Kerinci warisan era Adityawarman. Upacara minum darah Adityawarman sendiri baru interpretasi terhadap arca, butuh dukungan fakta lain. Tapi ini tulisan yang membangkitkan dialektika. Tks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *