“Menghadapkan” Sukmawati ke Guru Soekarno

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani

Inpasonline.com-Sukmawati anak Soekarno. Tapi, dia tak seperti bapaknya yang suka atas nasihat ini: Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Pertama, dia (pura-pura?) lupa, bahwa semua penista Nabi dan atau Islam, dihukum. Kedua, dia (pura-pura?) lupa pernah menghina Islam pada 28/03/2018, dan pada 11/11/2019 diulanginya lagi dengan menghina Nabi Muhammad Saw. Ketiga, dia (pura-pura?) lupa bagaimana dulu gerakan Tjokroaminoto –guru Soekarno- berhasil membawa penista Nabi ke dalam penjara.

Kapan Berhenti

Pernyataan kontroversial kembali disampaikan Sukmawati. Kali ini di Focus Group Discussion (FGD) pada 11/11/2019, dengan tajuk: “Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme”. Di acara itu, dia melemparkan pertanyaan kepada peserta diskusi yang kebanyakan mahasiswa: “Sekarang mau tanya nih semua, yang berjuang di abad 20 itu Nabi yang Mulia Muhammad atau Ir. Soekarno untuk kemerdekaan? Saya minta jawaban. Silakan siapa yang mau menjawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini.” (www.vivanews.com 21/11/2019).

Ucapan Sukmawati itu adalah penistaan karena membandingkan dengan nada merendahkan antara Muhammad Saw –seorang Nabi- diperhadapkan kepada Soekarno yang manusia biasa. Akibatnya, Sukmawati dilaporkan ke polisi oleh banyak fihak, baik oleh lembaga maupun perorangan. Bisa disebut, yang melaporkan adalah Koordinator Bela Islam (Korlabi), Forum Pemuda Muslim Bima (FPMB), dan Irvan Noviandana.

Turut juga melaporkan ke polisi, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Edy Mulyadi. Menurut Edy, ada dua hal. Pertama, kalimat yang membandingkan, bagus mana Al-Qur’an atau Pancasila. Kedua, membandingkan Nabi Muhammad Saw dengan Soekarno. “Dua hal itu kita nilai penistaan dan penodaan agama,” ujar Edy (www.detik.com 21/11/2019).

Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan pernyataan resmi, menyikapi hal ini. “Pernyataan yang disampaikan Ibu Sukmawati itu telah menyinggung hati dan perasaan umat Islam. Karena telah mengusik ranah keyakinan umat bahwa Nabi dan Rasul tidak bisa dibandingkan dengan tokoh lain, dalam hal ini membandingkan Nabi Muhammad Saw dengan Bung Karno,” demikian siaran pers MUI (www.kiblat.net 20/19/2019).

Sukmawati tak jera, sebab kasus penistaan agama ini bukan yang pertama. Hampir dua tahun sebelumnya, Sukmawati juga melakukannya. Lewat puisinya, Sukmawati menista Islam. Itu terjadi pada 28/03/2018. Di Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati membaca puisi ciptaannya yang berjudul “Ibu Indonesia”: 

Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu/ Gerai tekukan rambutnya suci/ Sesuci kain pembungkus ujudmu/ Rasa ciptanya sangatlah beraneka/ Menyatu dengan kodrat alam sekitar/ Jari-jemarinya berbau getah hutan/ Peluh tersentuh angin laut.

Lihatlah Ibu Indonesia/ Saat penglihatanmu semakin asing/ Supaya kau dapat mengingat/ Kecantikan asli dari bangsamu.

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif/ Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia.

Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/ Lebih merdu dari alunan adzanmu/ Gemulai gerak tarinya adalah ibadah/ Semurni irama puja kepada Ilahi/ Nafas doanya berpadu cipta/ Helai demi helai benang tertenun/ Lelehan demi lelehan damar mengalun/ Canting menggores ayat-ayat alam surgawi.

Pandanglah Ibu Indonesia/ Saat pandanganmu semakin pudar/ Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu/ Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada Ibu Indonesia dan kaumnya.

Sontak, puisi plus video bermasalah itu viral di media sosial. Tentu saja, siapapun yang faham agama dan peraturan perundang-undangan tak bisa menerima perlakuan Sukmawati terhadap Islam itu. Simaklah –sekadar contoh- respon pengurus dari dua ormas Islam terbesar di negeri ini. “PP Muhammadiyah Nilai Sukmawati Menistakan Syariat Islam” (www.hidayatullah.com 03/04/2018). “PWNU Jatim Adukan Sukmawati ke Polisi” (www.republika.co.id 03/04/2018).

Mari kita cermati sebagian puisi tersebut. Sukmawati menulis: Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu.

Sangat mengherankan, Sukmawati –yang Muslimah- tanpa malu mengumumkan dirinya, “Aku tak tahu syariat Islam”. Bahkan, seperti ingin menegaskan, kalimat “Aku tak tahu syariat Islam” itu dia ulang dua kali.

Lewat puisinya, sulit untuk tak membayangkan bahwa Sukmawati sedang mengunggulkan konde ketimbang cadar (hijab) yang merupakan bagian dari syariat Islam. Melalui puisinya, sukar untuk mengelak dari persepsi, bahwa Sukmawati tak suka mendengar adzan. Padahal kita tahu, kalimat “Alahu-Akbar” –sebagai kalimat pembuka adzan- telah sangat lama mewarnai perjuangan panjang bangsa Indonesia. Sekadar kenangan yang paling mudah diingat, lihatlah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kental dengan seruan takbir.

Sukmawati, mari buka sejarah! Bacalah ini: “Sejak Zaman Belanda, Kasus Penistaan Agama Selalu Berakhir di Penjara” (www.okezone.com 17/11/2016). Lea Eden, Ahmad Musadeq, dan Arswendo Atmowiloto termasuk yang bisa disebutkan sebagai contoh untuk “masa kini”. Sementara, jauh sebelumnya, pada 1918 pelaku penghinaan Nabi di media cetak juga dipenjara.

Khusus untuk contoh yang disebut terakhir, mari cermati bagaimana sikap tokoh dan umat Islam kala itu. Pada Januari 1918, majalah “Djawi Hisworo” memuat penghinaan terhadap Nabi Saw. Majalah itu memublikasikan tulisan Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”. Isinya, memuat kalimat, “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium”.

Atas artikel yang memuat kalimat bahwa Nabi minum minuman keras dan mengonsumsi candu, umat Islam marah. Terjadi demonstrasi di banyak tempat. Bahkan, Tjokroaminoto lalu membentuk “Tentara Kanjeng Nabi Muhammad” dan menyerukan untuk menghadiri apel besar di Surabaya pada 06/02/1918. Maka, hadir-lah sekitar 35.000 orang dan mendesak pihak berwenang untuk segera mengadili si penista agama.

Bayangkan, itu di tahun 1918! Maka, kehadiran 35.000 orang –jumlah yang tak sedikit- di Surabaya untuk berdemonstrasi, menunjukkan sebuah sikap umat Islam yang tak main-main. Kita-pun tahu, si penista Nabi itu lalu dipenjara.

Performa dari tokoh dan umat Islam di atas, itulah yang disebut ghirah, semangat membela agama. Umat Islam, tanpa kecuali, harus memiliki ghirah yang kuat sebagaimana yang –antara lain- telah diperagakan oleh Tjokroaminoto. Siapa dia?

Tjokroaminoto adalah guru politik Soekarno. Alkisah, sebelum kuliah di ITB, Soekarno bersekolah di Surabaya. Oleh sang ayah -Raden Soekemi-, Soekarno dititipkan kepada kawannya yaitu Tjokroaminoto di kawasan Peneleh Surabaya.

Lewat interaksi yang mendalam, banyaklah ilmu yang didapat Soekarno dari Tjokroaminoto. Bagi Soekarno, pendiri Syarikat Islam itu dikaguminya karena berbagai hal yang menonjol. Misal, Tjokroaminoto memiliki kemampuan politik, trampil menulis, orator hebat, dan cekatan menggerakkan massa.

Di www.republika.co.id 07/06/2017, Fitriyan Zamzami menulis, “Bung Karno: Cerminku adalah Tjokroaminoto”. Bahwa, di buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, ada kesaksian Soekarno tentang Tjokroaminoto: “Dialah orang yang mengubah seluruh kehidupanku. Cerminku adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat gerak tangannya dan kupergunakan penglihatan ini pada pidatoku sendiri.”

Itulah Soekarno, pengagum Tjokroaminoto sang pemimpin Islam dan yang menjadikan Islam sebagai Jalan Hidup. Itulah Soekarno, yang mengidolakan Tjokroaminoto –tokoh pergerakan dan pemikiran Islam- yang antara lain karena gerakannya-lah seorang penista Nabi bisa dipenjarakan.

Sebuah Catatan

Sukmawati telah dua kali membuat masalah besar, dengan menista  Islam dan Nabi Saw. Dia harus belajar agama dan sejarah. Dalam Islam, ada larangan keras mengolok-olok Nabi / Rasul. Perhatikanlah ayat ini: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’.” (QS At-Taubah [9]: 65). Lalu, inilah ancaman bagi yang menyakiti Rasulullah: “Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih” (QS At-Taubah [9]: 61).

Terakhir, Sukmawati patut sadar, bahwa kapanpun akan selalu ada “Tjokroaminoto-Tjokroaminoto” yang akan membela agama Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati. Maka, di titik ini, dia harus bisa menerima kenyataan jika -cepat atau lambat- sejarah akan memperlakukan hal yang sama kepadanya sebagaimana yang telah dialami para penista agama sebelumnya.[]

 

 

 

 

 

 

Last modified: 24/11/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *