Mengapa Barat Islamophobia?

Written by | Opini

Perkembangan pesat muslim Jerman membuat penduduk asli Jerman merasa terancam. Kebencian rasialis kerap ditunjukkan orang Jerman terhadap umat Islam, terutama dari kalangan muslim imigran dari Turki dan Arab. Thilo Sarrazin, seorang bangkir Bundesbank menulis buku yang berisi kecaman terhadap muslim. Sarrazin frustasi, hingga ia menuding muslim imigran bisa menyebabkan Jerman tidak maju.

Itulah sebabnya, hubungan muslim dengan penduduk asli mengalami gangguan harmonisasi. Sehingga, Angela Merkel, frustasi mengatakan bahwa multikulturalisme di Jerman menurutnya gagal total (republika 18/10/2010). Merespon fenomena ini, Partai Kristen Demokrat Jerman (CDU) menekan Kanselir untuk bertindak tegas terhadap membanjirnya imigran muslim.

Gejala islamophobia di Jerman dan beberapa Negara Eropa memang makin meningkat. Media massa Jerman menurut laporan organisasi Komunitas Islam Jerman hampir tiap hari menurunkan berita negatif terhadap umat Islam. Ketakutan Barat terhadap muslim Eropa bukan karena umat Islam di sana menunjukkan radikalisasi dan tindak kekerasan yang mengancam warga.

Sebagai minoritas, muslim Eropa jelas tidak memiliki kemampuan untuk unjuk kekuatan fisik. Dakwah muslim Eropa sama sekali tidaklah menunjukkan tanda-tanda fundamentalisme dan radikalisme. Namun, komunitas muslim menjalankan keislaman secara normal. Justru hak-hak syari’ah dibatasi. Ternyata, hal itu tidak menghalangi berkembangnya Islam. Mereka berkembang secara alami, tidak melanggar hukum-hukum yang berlaku.

Kalah Bersaing

Dalam segi perkembangan kehidupan beragama, Kristen Eropa jelas kalah dibanding muslim. Menurut laporan PBB antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen (Muslim in Europe, The Economist, 18/10/2010). Fenomena ini menjadi ketakutan bagi orang Barat. Suatu saat nanti akan mendesak warga Kristen. Itulah sebabnya, kebencian Barat Eropa terhap penduduk muslim terkadang tidak rasional. Respon yang ditunjukkan warga Eropa terkesan emosional. Sebagai masyarakat yang munjunjung tinggi rasionalitas, mestinya Barat menghadapai perkembangan muslim ini dengan cara-cara rasional.

Rencana politikus Jerman, Rene Stadtkewitz, mendirikan baru Partai Kebebasan menunjukkan emosionalitas yang dikedepankan, sebab parpol baru nanti sangat rasial, anti-Islam dan hendak memulangkan warga muslim pendatang ke Negara asal. Jika muslim berkembang pesat secara alamiah, semestinya masyarakat Kristen Eropa merasa memiliki kesempatan dan tantangan untuk meningkatkan kekristenannya.

Faktor lain yang memicu kecemburuan Barat terhadap muslim adalah menurunnya jumlah pengunjung ke Gereja. Di Inggris, selama tahun 1979 sampai 1998 jumlah pengunjung gereja menurun dari 5,4 juta menjadi 4,7 juta orang. Diperkirakan pada 2016 jumlah itu tersisa 0,8 % dari penduduk Inggris (laporan dari buku Muslimlah Daripada Liberal, Catatan Perjalan di Inggris mengutip hasil survey Dr. Peter Brierly). Dengan kondisi ini, Barat tak mampu berbuat banyak, sebab mayoritas sudah meminggirkan agama sebagai institusi yang tidak rasional.

Mengimbangi dengan mengembangkan misi juga tak mampu membawa hasil yang baik. Kekristenan orang Barat yang tersekularkan tidak bisa menyadarkan orang Barat untuk kembali pada spiritualitas Kristennya. Bagi mereka kata agama adalah problem dan traumatik. Charles Kimballs dalam buku Is Religion Killing Us? dengan sinis menuduh, agama adalah biang kerok kekerasan dan pembunuhan.

Gagal Beragama

Itulah Barat, yang sudah kehilangan ruh beragamanya. Semakin lama jumlah pengunjung Gereja makin turun drastis. Mereka sudah tidak mungkin lagi bergiat mengembangkan dakwah kekristenan kecuali segelintir. Justru dakwah mereka ramai beralih ke Negara-negara Asia dan Afrika. Sebab di negeranya Gereja makin tidak laku lagi.

Barat kini jelas akan mengalami kesulitan adu argumenatasi dalam wilayah teologi. Sudah bertahun-tahun Barat gagal menemukan kemapanan teologinya. Akhirnya, kaum postmodenisme yang mendominasi nalar orang Barat frustasi, mereka memiliki kecenderungan mereduksi teologi menjadi antropologi.

Konsep Tuhan Kristen yang gagal dirasiokan oleh para filosof digambarkan sebagai produk refleksi pikiran manusia.  Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil mengkritik bahwa Tuhan itu tidak jelas tentang dirinya, Ia tidak dapat mendengar, dan menolong. Akhirnya ia memplokamirkan, Tuhan telah mati. Konsep-konsepnya yang ateistik ini diamini oleh filosof lainya, Heidegger dan Witgenstein.

Pandangan yang ateistik ini melahirkan paham-paham baru dalam beragama. Religiuitas seseorang bukan ditentukan oleh seberapa besar kepatuhan kepada Tuhan. Tapi telah bergeser yaitu ditandai dengan kebaikan kehidupan sosialnya, misalnya partisipasi dalam kegiatan sosial dan menolong orang lain. Wilayah Teologi dan amal kemanusiaan dipisah. Inilah paham humanisme.

Seseorang yang mengolok-olok Tuhannya bisa saja disebut ‘shalih’ (orang baik) asalkan ia gemar menolong orang lain. Dimensi beramal baik bukan lagi terkait dengan atas dasar kepatuhan kepada Tuhan. Bagi mereka Tuhan telah ‘disimpan di lemari’.

Tuhan menurut Aristotle berhenti ‘bekerja’ setelah menciptakan, sebab alam akan berjalan dengan sendirinya secara teratur tanpa campur tangan Tuhan. Karena dianggap Tuhan telah ‘pensiun’ maka wajar bagi Barat postmo, agama tidak penting lagi. Apalagi, ingatan Barat terhadap tragedi inquisisi juga masih melekat kuat. Tuhan dan agama bagi kebanyakan masyarakat Barat  sekular adalah sains. Tuhan itu hadir dalam alam pikiran manusia.

Kekecewaan Barat terhadap agama juga dipicu oleh kebingungan mereka dalam merumuskan makna religion dan konsep ketuhanan Kristen. Karen Amstrong dalam The Story of God mengatakan Tuhan adalah abstrak dan penjelasan-penjelasan yang ada membosankan. “Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit” kata Amstrong.

Schleiermacher, secara kritis menyatakan bahwa doktrin Kristen tentang ketuhanan membuat keimanan menjadi rentan terhadap skeptisisme. Ia menggugat adanya tuhan tiga. Menurutnya konsep ini adalah dogma yang tidak masuk akal. Paul Tillich menuduh, agama adalah sumber masalah kehidupan orang Barat, ia mengatakan: The christological problem is historically a consequence of the trinitarian controvercy”.  

Tragedi agama, kerumitan konsep teologi dan sekularisasi yang dahsyat menyebabkan, orang Barat tidak bisa lagi menjadi pengikut agama yang baik. Barangkali, yang ada dalam nalar mereka, jika agama orang Barat telah ‘dirusak’ oleh sekularisme, maka Islam harus mengalamai itu juga. Sehingga virus sekularisme juga hendak ditularkan kepada muslim.

Respon dan reaksi yang mereka tunjukkan sebenarnya hanyalah bentuk kecemburuan yang sangat terhadap muslim. Akar-akarnya telah lama dipupuk oleh para orientalis dahulu seperti Peter Venerabilis, Martin Luther, Nicolaus Cusanus, Johannes Damascenus, William Muir hingga diteruskan oleh generasi kontemporer, Robert Morey dan Geert Wilders.

Jika respon Barat tetap seperti itu, maka harmonisasi hubungan Islam dan Barat makin sulit. Budaya Barat dengan ciri khasnya sekular, menunjukkan pandangan hidup masyarakatnya, berusaha diglobalkan untuk dianut seluruh umat manusia. Inilah faktor terjadi class of civilizations. Arogansi westernisasi justru akan membuyarkan tatanan kehidupan plural. Ini tidak lagi sekedar pertarungan ideologi, akan tetapi telah menjelma menjadi benturan peradaban.

Peradaban Barat sebenarnya mengalami krisis, yaitu ‘kering spiritulaitas’. Akhirnya mereka banyak yang lari mencari ’kesegaran’ kepada agama-agama lain yang mengajarkan aspek spiritual. Oleh sebab itu, sebenarnya di tengah phobia dan tekanan terhadap muslim di Barat, peluang mengembangkan ajaran Islam di Eropa semakin lama terbuka lebar. ’Kekeringan’ yang melanda Barat itu mesti disambut dengan menawarkan ’kesegaran’ ajaran Islam. Semoga.

 

Last modified: 26/10/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *