Madzhab dan Ukhuwah

Written by | Opini

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

para-imam-madzhab-pendapatku-benar-tapi-bisa-jadi-salahInpasonline.com-Seorang hakim bernama Abu Ya’la suatu hari didatangi oleh pelajar untuk belajar fikih kepadanya. Tujuannya, si pelajar berniat pindah madzhab, karena suka dengan Abu Ya’la. Abu Ya’la sendiri adalah ulama alim yang bermadzhab fikih Ahmad bin Hanbal.

Sebelum pelajar itu diterima sebagai murid, Abu Ya’la menanyakan tentang madzhab negeri asal pelajar tersebut. “Penduduk negerimu semuanya mengikuti madzhab Syafi’i. Lalu kenapa kamu berpindah ke madzhab kami (madzhab Hanbali)?”. Pelajar tersebut menjawab: “Aku berpindah dari madzhab Syafi’ karena aku suka kepada engkau”.

Tetapi, Abu Ya’la merespon dengan bijak. “Ini tidak baik. Jika kamu hidup di negerimu dengan bermadzhab Hanbali, sedangkan seluruh penduduk negerimu bermadzhab Syafi’i, maka kamu tidak menemukan seseorang belajar bersamamu. Dan kamu akan berselisih dan menimbulkan perpecahan” (Al-Musawwadah fi Ushul Fiqh).

Sikap Abu Ya’la ini jelas berdasarkan ilmu dan hati yang ikhlas. Tidak tergiur popularitas atau kecintaan pengagumnya. Beliau ulama hebat di negerinya. Karena itu, dia faham, madzhab itu tidak untuk memecah belah umat. Tetapi urgensi adanya madzhab adalah untuk mendidik umat supaya ibadah mereka tetap dalam koridor dan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana diajarakan oleh para ulama sebelumnya.

Pelajaran penting dari kisah Abu Ya’la di atas adalah, ketika berdakwah di suatu komunitas atau daerah yang telah mengikuti madzhab tertentu, maka janganlah menonjolkkan perbedaan kita dalam hal furuiyyah dengan mayoritas komunitas atau negeri itu.

Menonjolkan perbedaan-perbedaan tata cara ibadah kita yang bersifat furu’ dengan ubudiyah penduduk negeri tentunya bisa menyulut perselisihan. Apalagi bila yang ditampilkan dalam dakwah itu gugatan-gugatan persoalan ibadah furu’ yang sudah memiliki dasar dan dalil syariat. Jika sudah berselisih, tidak jauh-jauh akan menjadi perpecahan. Tentu saja, hal ini tidak sesuai dengan adanya madzhab dan cita-cita bersama umat Islam.

Justru, pelajaran Abu Ya’la yang bisa dipetik di atas adalah dakwah berdasarkan dengan madzhab yang telah dianut mayoritas negeri itu. Sebab hal tersebut lebih menyatukan. Dekat kepada ukhuwah. Jika dalam urusan furu’iyyah utamakan ukhuwah.

Karena itu, madzhab bukanlah ‘kendaraan’ untuk memperbanyak pengaruh. Mengalahkan jamaa’ah lain. Menggugat ubudiyah jamaah lain. Jika masih ada yang berfikir seperti ini, maka ada masalah metodologis yang harus diselesaikan.

Berpindah madzhab dibolehkan. Tidak dilarang. Tetapi memandang minor madzhab lain adalah keliru. Sebab, akan menyebabkan perpecahan.

Mengikuti satu madzhab tertentu juga sah. Betapa banyak sekali ulama-ulama ahli hadis, ahli tafsir, tasawuf dan lain-lain yang mengikuti satu madzhab saja. Tetapi, yang tidak boleh adalah taashub pada madzhab.

Ciri ta’ashub adalah menyesatkan madzhab lain. Konsisten pada satu madzhab – tanpa menyesatkan madzhab lain – bukan lah ta’ashub, tetapi merupakan langkah konsisten pada satu metodologi ulama.

Sejauh ini, masih terdapat kesalah fahaman tentang madzhab di kalangan sebagian umat Islam. ‘Mengikuti satu madzhab itu dikata menimbulkan kejumudan’, ‘bermadzhab pada imam tertentu sama dengan fanatik’. Di lain pihak, ada pendapat yang memandang miring pada madzhab seperti menyatakan: ‘Di zaman dan negeri kita seperti ini, mengikuti madzhab satu akan menyusahkan dalam ibadah’, dan lain-lain.

Pendapat tersebut keliru dan jika diungkapkan justru membuat persoalan baru bahkan menyinggung umat Islam yang ber-madzhab. Jika semangatnya adalah ukhuwah, maka sebaiknya statemen-statemen miring terhadap orang yang bermadzhab itu disudahi.

Jika seseorang itu faham bahwa adanya madzhab itu karena dalilnya dzanni, maka sudah mestinya tidak perlu menggugat-gugat lagi sebuah madzhab. Persoalan furu’iyyah sebaiknya tidak ‘diteriakkan lantang’.           Karena bisa menyulut konflik dan perpecahan.

Perbedaan fikih atau ijtihadi sudah semestinya ditanggapi biasa dan bersikap secara wajar. Ragam fikih itu memang banyak. Namun, jangan sampai perbedaan fikih itu dijadikan alat untuk memecah-belah.

Sebetulnya tidak ada yang baru dalam keempat madzhab fikih kecuali penyusunan hadis dan fikih, kemudian menjadikan sebagai acuan dalam istinbath hukum (penggalian hukum). Tidak ada larangan/dalil untuk mengharamkan untuk bermadzhab. Justru tradisi madzhab adalah ijma ulama. Mengikuti ijma ulama lebih menyelamatkan.

Secara harfiah, madzhab berarti jalan. Madzhab adalah metode untuk memahami ajaran-ajaran agama. Dalam konteks kajian fikih, istilah madzhab diartikan sebagai cirri khas yang dimiliki seorang mujtahid, berupa menggali hukum-hukum furu’iyah yang bersifat ijtihadi yang digali dari dalil-dalil dzanni (Ahmad bin Muhammad al-Hamawi,Ghamz Uyun al-Bashair I/hal.30).

Karena itu, bagi orang awam, madzhab sangat diperlukan. Semua petunjuk dasar dan tuntutan syari’at telah tertuang dalam dua pusaka peninggalan Rasulullah SAW, al-Qur’an dan Hadis. Setiap Muslim wajib merujuk kepada dua sumber hukum tersebut untuk mengetahui segala kewajiban, larangan dan tuntutan syari’at lainnya.

Akan tetapi, sebagian petunjuk nash al-Qur’an dan Hadis masih bersifat global, simpel, dzanni (mengandung praduga), bahkan secara dzahir kerap dijumpai petunjuk nash yang terlihat kontradiktif. Untuk meng-istinbath (menggali hukum) nash-nash tersebut membutuhkan perangkat-perangkat ilmu yang tidak sederhana. Bagi Muslim awam, tentu tidak mampu menggali hukum yang terkandung di dalam nash-nash al-Qur’an dan Hadis.

Mengikuti ulama yang memiliki otoritas dengan segala aspek metodologi dan produk-produk hukumnya dinamakan bermadzhab. Madzhab merupakan hasil penelitian mendalam para ulama untuk mengetahui hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil yang lainnya. Karena itu, bermadzhab bukan berarti menepikan al-Qur’an dan Hadis, sebab para ulama Mujtahid meneliti hukum berasaskan pada al-Qur’an dan Hadis.

Dengan pengertian singkat di atas, maka menjadi terang, konsisten pada madzhab satu itu bukan kejumudan apalagi kefanatikan. Karena, yang diikuti bukan sembarang imam. Lihatlah tahuf wafatnya para imam madzhab empat, dapat kita simpulkan bahwa mereka hidup pada masa generasi salaf, yaitu generasi yang dinilai sebagai sebaik-baik generasi (khair al-qurun) dan sebaik-baik umat berdasarkan sabda Rasulullah : “Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian mereka yang datang setelahnya, kemudian mereka yang datang setelahnya.” (HR. Al-Bukhari (2457) dan Muslim (4603).

Maka,mengikuti madzhab yang dibangun oleh imam mujtahid yang empat berarti mengikuti generasi salaf yang dinilai sebagai sebaik-baik generasi dan sebaik-baik umat.

 

 

 

 

 

 

Last modified: 27/07/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *