Lawan Kemunkaran Informasi dengan Pers Unggul

Inpasonline, 2/8/10

“Kapitalisme Pers dan Umat Islam”. Itu adalah tema seminar menarik yang berlangsung di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR, Sabtu, 31/7/2010, pukul 09.00-13.00 WIB. Acara menjadi lebih bermakna karena paparan tiga pembicara begitu mendalam, sebab masing-masing memiliki kapabilitas di tema itu.

Dr. Adian Husaini (lulusan S3 Pemikiran dan Peradaban Islam ISTAC-IIUM Malaysia, peneliti INSISTS-Jakarta dan mantan wartawan) menyampaikan makalah “UMAT ISLAM dan MEDIA MASSA”, Sirikit Syah, MA (lulusan S2 komunikasi dari salah satu perguruan tinggi di London-Inggris, pengamat media, dan mantan wartawan) mengetengahkan makalah “Ketidakadilan Media dalam Isu-isu keislaman”. Sementara, Judy Djoko Wahjono Tjahjo, M.Si. (praktisi di bidang penyiaran dan sedang menulis disertasi “Kapitalisasi Pers” di PPs Unair) memaparkan makalah “Kapitalisasi Media Pers (Massa): Pergeseran Ideologis menjadi Ekonomis”.

Acara ini hasil kerjasama InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) dengan Departemen Ekonomi Syariah FEB Unair. Saat memberi sambutan, dr. Abdul Ghofir, Sp.PD.- Ketua InPAS  – mengatakan bahwa acara ini adalah bagian dari upaya membangun kesadaran Umat Islam akan pentingnya peranan media dalam pembentukan opini publik yang sehat, cerdas, mendidik, dan -tentu saja- sesuai Islam.

Adian Husaini mengungkapkan bahwa kemunkaran informasi dapat memiliki dampak yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kemunkaran secara amaliy. Sebab, kemunkaran informasi merupakan kemunkaran di bidang keilmuan sehingga dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sesuatu. Opini atau informasi yang salah dapat menimbulkan penyesatan opini yang sangat membahayakan masyarakat, bahkan dapat merusak akidah Islam. Karena itu, informasi yang salah adalah sebuah kemunkaran yang wajib dilawan oleh setiap Muslim, baik dengan “tangan”, “lisan”, atau “hati”.

Penulis puluhan buku itu melanjutkan, bahwa pers kapitalis menjadikan unsur perburuan keuntungan sebagai tujuan tertinggi. Jika pemiliknya Muslim sekalipun, banyak yang kemudian sangat tergantung kepada tren pasar yang menuntut acara-acara yang bersifat hiburan dan menyebarkan paham hedonism dan materialism. Acara-acara keagamaan sangat terpinggirkan, karena sangat tidak diminati oleh pemasang iklan.

Menurutnya, satu prinsip utama yang harus dipegang oleh wartawan media Islam, mereka harus memandang apa yang dilakukannya adalah sebuah Jihad, bukan sekadar melakukan pekerjaan. “Sejak awal saya jadi wartawan, saya tidak pernah menanyakan berapa gaji saya. Saya menganggap profesi wartawan ini sebagai Jihad, dan media Islam adalah media perjuangan. Oleh karena itu media Islam harus konsisten”, jelas Adian yang sempat menjadi salah satu wartawan di harian nasional ini.

Menutup paparannya, pemikir muda yang aktif di kegiatan keislamannya sejak di sekolah menengah ini memberikan rekomendasi: 1). menyiapkan kader-kader pers yang tangguh, 2). Menyiapkan lembaga atau jaringan pemantau pers yang professional, 3). Mewujudkan percontohan institusi media massa yang unggul dan kompetitif dalam semua jenis media.

Sementara, Sirikit Syah menggugat “Ketidakadilan Media dalam Isu-Isu Keislaman”. Tentang berita di seputar terorisme –misalnya-  dengan didukung data kuat, dia sampaikan bahwa media yang mendewakan rating dan berorientasi profit mengabaikan etika liputan, menyesatkan publik dengan informasi ‘mentah’ tentang aksi terorisme di Indonesia.

Ketidakadilan media massa atas isu-isu keislaman – kata Sirikit – tampak di berbagi pemberitaan, seperti eksekusi Tibo dkk. (2006), dimana media mainstream ramai-ramai membela Trio Tibo dengan headlines dan opini utama antihukuman mati; kemudiann insiden Monas, dimana Munarman telah difitnah di halaman satu Koran Tempo.

Menurut Sirikit, dalam kasus dugaan penodaan agama, umat Islam yang mengemukakan dugaan penyimpangan praktik Islam oleh kaum Ahmadiyah itulah yang justru yang menjadi bulan-bulanan media. Mereka dituduh: tak punya toleransi, anti-pluralisme, fundamentalis, radikal, anti-HAM, dan sebagainya. Sementara itu, kaum yang diduga menyimpangkan praktik agama Islam itu mendapatkan perlindungan bahkan dipotret sebagai korban dan/atau pahlawan. Tak ada daya kritis media yang menelusuri atau mengajak para cerdik cendekia dan alim ulama untuk menelusuri kebenaran atau kesalahan dugaan penyimpangan agama. Umat Islam hanya dibenturkan di tataran fisik, tanpa ada dorongan atau ajakan menelaah akar persoalan dan melakukan remidi atau koreksi.

Menutup uraiannya, Sirikit menyatakan; 1). Ada banyak nilai yang lebih penting daripada sekadar freedom, liberalisme, pluralis, yaitu pengendalian diri, tepa selira, menjaga harmoni, 2). Perlu mewaspadai media massa berorientasi kapitalis yang mengajak kita menjadi bangsa konsumtif dan permisif, pop-culture yang merusak budaya bangsa sendiri, jurnalisme infotainment yang dipenuhi ghibah dan fitnah.

Yang tidak kalah penting, memandang fenomena banyaknya media Islam yang kolaps, Sirikit menghimbau agar media Islam melakukan upaya kaderisasi penulis sehingga tidak kekurangan SDM dan mampu bertahan.

Pembicara ketiga, Judy Djoko Wahjono Tjahjo dengan bersandar pada pendapat pakar mengingatkan, bahwa seiring perkembangan kapitalisme, organ-organ publik yang semula menjadi tempat diskusi lama-kelamaan mulai berubah fungsi. Pers (media massa) tidak lagi menyuarakan opini publik dan perjuangan politik, melainkan menjadi ruang iklan. Ruang publik berubah dari ruang diskusi rasional, debat dan konsensus, menjadi wilayah konsumsi massa dan dijajah oleh korporasi serta kaum elit dominan.

Publik –kata dia– sebagai pengguna ruang publik harus diberdayakan. Dalam banyak kajian disebutkan bahwa segenap pemangku kepentingan (stakeholders) hendaknya berupaya keras untuk menjadikan masyarakat “melek media”. Bila kondisi ini dapat dicapai maka publik akan dapat kembali menggunakan kepentingannya terhadap media dengan benar. Termasuk menghukum media yang menyimpang dari sifat hakikinya dalam bentuk tidak mengkonsumsi media  tersebut. Di ujungnya diharapkan media yang tetap eksis kelak hanyalah media yang mampu menyuguhkan vitamin bagi publik.

Paling akhir, dia mengingatkan bahwa dalam kajian filsafati, kebenaran agama adalah kebenaran tertinggi dan bersifat mutlak bagi pemeluknya. Oleh karena itu, sebagai pemeluk Islam, dia mengajak untuk kembali ke Al-Quran.

Secara keseluruhan acara berjalan semarak. Dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, dosen, aktivis keislaman, pengurus ormas Islam, dan lain-lain. Saat sesi diskusi, banyak catatan/komentar dan pertanyaan kritis dari perserta. []

Last modified: 12/01/2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *