Laporan Daurah PKU ISID Dari Kuwait

Written by | Internasional

Kuwait-Salah satu materi yang diberikan pada daurah adalah materi fikih.  Prof. Dr. Muhammad Abū al-Fath al-Bayānūnī, pemateri pertama mengatakan ada beberapa hal yang perlu dipahami tentang perbedaan hukum fikih. Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad SAW.

Memang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ini merupakan fenomena yang syar’i. Yang tidak syar’i itu adalah iftiraq (perpecahan). Karena iftiraq itu konteksnya perkara haq, bathil, dlalal (sesat) dan salamah. “Di wilayah ini tidak ada wasathiyyah (moderat),” tegas Abū al-Fath.

Menurutnya, fenomena ikhtilaf fikih (fikih perbedaan) ini bukanlah bid’ah tapi memang begitulah adanya karakteristik syari’ah. Oleh sebab itu, selama fenomena ini masih dalam konteks ijtihad fiqhiyyah, maka ia diterima oleh syari’at dan para ulama salaf.

Markaz al-‘Alamiy Li Al-Wasathiyyah yang berada di bawah naungan Kementrian wakaf Kuwait melihat, pada sisi ini umat Islam di dunia mulai melupakan. Sehingga persoalan yang semestinya tidak perlu diperpanjang perdebatannya tapi dikukuhkan seakan menjadi wilayah usuliyyah (akidah).

Padahal para ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah mayoritas hanya berbeda dalam fatwa bukan akidah. Jika bedanya akidah maka urusannya adalah antara sesat dan tidak. Jika fatwa fikih persoalannya cuma pada penilain benar (shahih) dan salah (khata’).

Hubungannya dengan pemahaman terhadap nash –al-Qur’an dan al-Sunnah-, perbedaan sangat mungkin terjadi karena beberapa hal.

Pertama, perbedaan bersifat fitrah dan naluriah. Kedua,perbedaan terjadi semenjak dulu dan hal tersebut bukan bid’ah. Ketiga, perbedaan tidak keluar dari aturan syar’i dan diterima oleh para salaf al-shalih. Tentunya, perbedaan persepsi tersebut terjadi pada wilayah yang bersifat

furū’iyyah (cabang) bukan ushūliyyah (pokok) dan wilayah zhanniyyah (didasarkan pada dalil zhanni) bukan qath’iyyah (yang didasarkan pada dalil-dalil qath’i).

Liberal dan hermeneutika

Lain halnya dengan kaum liberal yang mengusung hermeneutik dalam memahami nash. Dengan metodologi tersebut terjadi perbedaan persepsi, baik dalam wilayah ushūliyyah maupun qath’iyyah.

Ketika syeikh al-Bayānūnī ditanya tentang hal ini, beliau tidak menjelaskan secara detail tentang hermeneutika, hanya bersifat umum tapi cukup menjawab tantangan liberalisasi.

Perbedaan dengan kaum liberal adalah;

Pertama, perbedaan pemahaman dapat diterima jika dilakukan pada tempatnya dan oleh ahlinya (al-ikhtilāf maqbūl fī mahallihi wa ahlihi). Oleh karena itu, jika hermeneutika mengusik masalah ushūliyyah atau qath’iyyah dan bukan furū’iyyah dan zhanniyyah, maka ia tertolak secara syar’iyyah dan ilmiah. Begitu pula dengan orang yang mengemukakan pemahaman dan interpretasi terhadap nash, ia mesti seorang mujtahid, bukan asal orang yang asal ngomong tanpa ilmu.

Kedua, wilayah aplikasi hermeneutika dalam studi al-Qur’an ditempatkan pada salah satu dari tiga posisi. Pertama, wilayah takfīr yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Kasus takfīr yang dilakukan oleh ±2000 tokoh Islam Mesir terhadap Nasr Hamid Abu Zaid mungkin bisa menjadi contoh. Kedua, wilayah tadhlīl yang menjatuhkannya pada posisi sesat (dhalāl) bukan kufur (kufr). Ketiga, wilayah al-khatha’ wa al-shawāb yang berkonsekuensi pada benar atau salah, bukan kufur ataupun sesat.

Syeikh Abū al-Fath al-Bayānūnī, juga menjelaskan, hermeneutika sebagai sebuah manhaj di posisikan pada wilayah tadhlīl, yang berarti metodologi asing yang sesat dan menyesatkan apabila diaplikasikan dalam studi al-Qur’an. Oleh karena itu, tafsir sebagai sarana interpretasi dan ushul fikih sebagai filsafat hukum di dalam Islam adalah cukup tanpa harus meminjam hermeneutik yang kontraproduktif secara epistemologi dengan keduanya.

Memposisikan antara yang tsawabit dan mutaghayyirat itulah yang sedang dikembangkan Markaz al-‘Alamiy Li Al-Wasathiyyah. Pemposisian ini dikaji dalam Fikih Auwlawiyyat. Fikih ini dipelajari untuk memahami bagaiman menempatkan kasus itu dalam ushuliyyah atau furu’iyyah.

Pemahaman ini penting agar umat Islam tidak salah dalam memasukkan sebuah kasus atau memprioritaskan sesuatu yang paling penting dilakukan untuk dikerjakan.

Sedang Dr. Ibrahim Ahmad Abbas, salah satu peneliti Markaz, menegaskan persoalan-persoalan akidah itu lebih dulu disampaikan kepada umat daripada syari’ah. Begitu pula dalam beribadah, fikh awlawiyyat menjelaskan bagaimana antara yang wajib yang sunnah dan mandub itu yang didahulukan untuk dikerjakan.

Jika aqidah sudah benar, baru kemudian masalah fikih. Dalam hal ini setiap muslim seharusnya meneladani para ulama salaf dalam etika bermadzhab. Demikian salah satu nasihat Prof. Dr. Ahmad al-Hajji al-Kurdi kepada peserta daurah “Islam Wasathiyyah

“Peganglah kuat-kuat madzhab Anda, tapi jangan menjadi ta’shub”, ujarnya. Menurutnya, madzhab yang bisa diikuti adalah empat madzhab yang telah popular.

Prof al-Kurdi juga memaparkan, sesungguhnya, dahulu ada ratusan mujtahid. Hanya saja mujtahid selain empat madzhab yang diikuti umat Islam saat ini, sudah tidak bisa diikuti. Karena, fatwa-fatwanya terputus disebabkan oleh kitab-kitabnya tidak sampai kepada generasi selanjutnya dan sebagaian diinviltrasi para ahli bid’ah.

Al-Kurdi mencontohkan madzhab Ja’fariyyah dan Zaidiyyah. Dua madzhab ini telah dimasuki orang-orang yang ingin merusak madzhab. Imam Ja’far dahulunya adalah seorang Hanafiyyah, kemudian dia menjadi mujtahid. Ketika meninggal fatwa-fatwanya tidak diteruskan oleh para muridnya. Dan ahli bid’ah dari rafidlah kemudian merusak, mengatasnamakan imam Ja’far.

Saat ini orang tidak bermadzhab tidak bisa dibenarkan. Ibaratnya kita yang bukan dokter akan mengobati suatu penyakit dengan mencari obat-obatan tersendiri tanpa petunjuk dokter. Seorang yang belum mencapai tingkat mujtahid mutlak tidak bisa ‘meracik’ masalah-masalah fikih.

Kecuali di zaman Rasulullah, umat Islam tidak bermadzhab. Karena langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Di zaman Rasulullah dan sahabat tidak ada perbedaan tajam, kalaw berbeda itu berbeda dalam ijithad sahabat, jelas Prof al-Kurdi.

Ikhtilaf (perbedaan pendapat) terjadi setelah masa Rasulullah SAW. Ikhtilaf ini sesuatu yang lumrah. Sebab Rasulullah SAW terkadang menjawab satu soal yang berbeda kepada para sahabat. Tapi bukan bertentangan.

Oleh sebab itu ikhtilaf dalam furu’iyyah sesungguhnya merupakan bagian dari keindahan Islam. Para ulama salaf tidak pernah mengajarkan untuk fanatis buta terhadap madzhabnya.

Taqlid pada satu madzhab, tegas Prof al-Kurdi perlu tapi dilarang untuk fanatik. Sebab, fanatisme madzhab fikih bukan etika ulama salaf, tapi karakter orang tidak berilmu. Fanatisme kepada madzhab fikih menimbulkan perpecahan yang tidak dikehendaki agama.

Adalah hal yang lumrah dalam tradisi ulama mujtahid untuk respek terhadap pendapat imam mujtahid yang lain. Dalam menyikapi ijtihad diperlukan beberapa cabang ilmu.

Orang-orang yang menolak untuk bermadzhab dengan dalil mengambil langsung dari al-Qur’an dan hadits jelas bukan tradisi salaf shalih, tutur Prof al-Kurdi. Menyikapi jama’ah yang menolak ini, Prof. al-Kurdi menghimbau untuk tidak mencaci, tapi mendakwahi.

Menurutnya, golongan tersebut sesungguhnya orang-orang baik, imannya kuat akan tetapi ada yang kurang dari ilmunya. Makanya mereka perlu diajak diskusi dengan santun agar ilmunya bertambah, pikirannya terbuka, seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama, ujar Profesor asal Suriah tersebut.*/Laporan Kholili Hasib dari Kuwait.

 

Last modified: 31/05/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *