Kualitas Pendidikan

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

Inpasonline.com-Ketika KH. Bashori Alwi diminta mengajar Bahasa Arab di IAIN Malang (saat itu masih di bawah IAIN Surabaya) tahun 1960 ia tidak memegang ijazah formal Pendidikan perguruan tinggi. Pertimbangannya pasti keahlian kiai ahli Al-Quran asal Singosari Malang ini dalam pengajaran Bahasa Arab. Kitab Madarij ad-Durus al-‘Arabiyyah merupakan karya beliau, yang kini sudah makin popular di madrasah diniyyah. Khususnya di Jawa Timur. Meskipun tidak pernah menjadi dosen secara formal, Habib Hasan Baharun layak dipanggil “guru besar bahasa Arab”. Saya pernah berjumpa dengan seorang guru Bahasa Arab, menyebut pendiri PP. Darullughah Wadda’wah ini dengan “profesor Bahasa Arab”. Ia mengoleksi beberapa karya  Habib Hasan Baharun; Kamus Dunia Islam, Muhawarah (kitab pelajaran percakapan bahasa Arab), Asma dan Af’al.

Suatu hari, seorang murid Imam al-Ghazali berkirim surat berkeluh-kesah atas keadaan dirinya. Sang murid itu telah bertahun-tahun belajar kepada sang Hujjatul Islam. Hingga berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu sampai pada tingkat detil dan rumit. Akan tetapi, dengan modal ilmu-ilmu itu, ia merasa ada yang kurang. Sebab, ia kebingungan mana yang bermanfaat untuk masa depannya.

“Telah aku baca berbagai macam dan jenis disiplin ilmu. Aku habiskan rentang usiaku hanya untuk mempelajari dan menguasainya. Sekarang, aku harus memilah dan memilih jenis disiplin ilmu apa yang bermanfaat untukku di masa depan serta mampu menjadi teman yang menghiburku di dalam sempit nan gelap di liang kubur, mana juga yang tidak bermanfaat hingga aku langsung menyisihkannya”, demikian kata sang murid dalam hatinya (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad,).

Renungan murid imam al-Ghazali tersebut patut kita cerna baik-baik. Pencapaian-pencapain formal jangan menjadi kepuasan. Apalagi ukuran kualitas. Ada aspek penting lainnya yang wajib dikejar, dicapai dan dimiliki.

Andaikan Habib Hasan Baharun dan KH. Bashori Alwi dinilai oleh lembaga akreditasi pendidikan pada saat beliau mengajar, kemungkinan dinilai tidak qualified. Tidak ada karya tapi mengantongi tumpukan ijazah formal, pasti akan dinilai ‘lebih’. Pada perspektif ‘formal pendidikan’ kini, karya dan pengalaman mengajar ternyata belum dinilai layak jika tidak didukung oleh ijazah formal dan bukti kertas. Belum lagi bila dinilai dari bidang jumlah murid dan kerja apa, di kantor mana murid bekarja setelah lulus belajar. Formalisme tidak selalunya menunjukkan kualitas.

Maka, pendidikan nasional Indonesia sudah semestinya keluar dari bentuk ketat ‘formalisme’. Perlu membuka diri lebih ‘inklusif’ pada penerimaan aspek-aspek penting lainnya. Seperti akhlakul karimah, kekuatan hati dan fikiran. Program ‘Merdeka Belajar’ Menteri Pendidikan sesungguhnya belum sepenuhnya ‘diturunkan’ dengan baik pada lembaga-lembaga pendidikan formal dan pejabat pendidikan pengambil kebijakan.  Program ‘merdeka belajar’ semestinya menjadi ‘kran’ bagi terbukanya model penilaian lembaga pendidikan yang menekankan kepada kebebasan lembaga dan kemandirian strategi.

Pendidikan Islam nasional harus segera berfokus pada apa yang disebut taqwa akhlakul karimah. Ibnu Mas’ud pernah mengatakan:

ليس العلم بكثرة الرواية ولكن العلم الخشية

“Ilmu itu bukan pada banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu adalah khasyyah (rasa takut kepada Allah Swt).

Maka, cara pandang pelaku pendidikan Islam harus benar tentang ilmu. Bahwa ilmu tidak semata-mata diukur oleh banyaknya hafalan, pintarnya bicara. Akan tetapi, pengetahuan yang mengantar kepada takwa itu yang dimaksudkan ilmu menurut para ulama.

Maka, konsep taqwa harus menjadi standar tertinggi dalam penilaian kualitas pendidikan. Berkas dan kertas adalah penghantar. Ada beberapa orang tanpa berkas dan kertas bisa mencapai kualitas pendidikan. Meski ada juga  yang banyak perlu penghantar berkas dan kertas. Uniknya juga ada yang sudah mengoleksi berkas dan kertas tetapi karyanya kalah dengan yang tidak bermodal formal ijazah.

Konsep taqwa menjadi standar penilaian kualitas itu penting. Mahasiswa yang skripsinya mendapat nilai A harus ditahan dulu kelulusannya jika akhlak dia dengan guru memiliki catatan buruk. Maka pelaku pendidikan Islam perlu merumuskan bagaimana taqwa dan akhlakul karima itu terinternalisasi dalam setiap fan, pelajaran atau mata kuliah. Inilah bentuk yang sebenarnya integrasi itu.

Disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Ibnu Athoillah as-Sakandari mengatakan ilmu manfaat adalah jika ilmu itu kita pelajari mengundang khasyyah (rasa takut) kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ibnu Athoillah al-Sakandari, Al-Hikam,hal.278). Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni atau salah dan bisa pula mindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.

Kata Ibnu Athoillah, ‘sebaik-baik ilmu adalah yang mengundang rasa khasyyah. Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim.

Pendidikan di perguruan tinggi harus dikembalikan kepada tujuan awalnya, yang sesuai dengan konsep-konsep ilmu Islam.  Menurut Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, pendirian universitas Islam harusnya  berdasarkan filsafat pendidikan Islam yaitu: bahwa pengetahuan itu bersifat kulli yang meliputi semua segi kehidupan dan penciptaan. Ilmu harus mencerminkan kesejagatan dan penyelidikan di bidang khusus harus dilakukan tidak hanya untuk memahami perkara-perkara yang runcitan tetapi juga untuk memahami hubungan mereka vis a vis memahami keseluruhannya (Wan Mohn Nor Wan Daud, Peranan University Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan, hal. 49).

Pemisahan fakultas menjadi beberapa bagian juga tidak sesuai dengan konsep awal sebuah universitas Islam. Menurut Prof Wan, seyogyanya universitas tidak dipecah menjadi jabatan-jabatan yang terpisah dan saling terasing seperti berlaku di fakultas-fakultas kebanyakan universitas modern. Universitas semestinya mencerminkan istilah asalahnya yaitu kulliyah, yang mengacu pada hakikat keadaan yang saling berkait dan menyeluruh.

Artinya, pendidikan tinggi Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Model pendidikan, tidak saja dimodifikasi untuk mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi lebih penting lagi, adab dan esensi konsep Islam harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan Islam.

 

 

 

 

Last modified: 25/11/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *